Hambar

2103 Words
Hubungan Nirina dan Tio sudah berjalan hampir satu tahun. Mereka masih bersama namun sekarang ada kebiasaan yang mulai tidak lagi dilakukan seperti dulu. Tio yang biasa selalu makan di rumah Nirina, sudah enam bulan ini memutuskan untuk makan di rumah saja. Entah apa alasannya. Tio juga jadi jarang menyamper Nirina untuk berangkat ke sekolah bersama. Hubungan mereka memang masih bertahan, namun rasa yang ada di dalamnya sudah mulai hambar. Nirina baru saja turun dari mobil. Pandangannya menyapu tempat parkir barangkali ada mobil yang dikenalinya. Mobil Tio. Tidak ada. Ah, mungkin Tio belum berangkat. Nirina memutuskan untuk langsung masuk kelas saja. Beberapa bulan kebiasaannya yang selalu bersama Tio sekarang Nirina kembali sendiri. Setidaknya sebelum Tio datang, Nirina sudah pernah menghadapinya. Jadi tidak perlu terlalu canggung. Banyak dari mereka yang awalnya mengernyit melihat Tio dan Nirina tidak lagi bersama saat ke sekolah. Menebak bahwa hubungan keduanya kandas. Tapi dugaan itu salah karena ada saat-saat mereka kembali bersama. Mendudukkan dirinya di kursi depan seperti biasa. Sekarang sudah menduduki kelas dua belas. Sebentar lagi ujian akan diadakan. Huh, Nirina bahkan belum memiliki rencana akan melanjutkan ke mana. Kalau Diana masih ada pasti akan memberi pengarahan ke mana dirinya harus berada. Walau terkesan mendikte, tapi Nirina tahu bahwa tujuan Diana pasti baik. Buktinya sampai saat ini Nirina selalu mendapat yang terbaik dari keputusan Diana. Nirina ingin mengejar cita-citanya menjadi seorang dokter. Di universitas mana yang bagus? Sepertinya mulai pulang sekolah nanti harus mulai mencari info mengenai universitas dan jurusan kedokteran. Dan mempelajari soal-soal untuk ujian masuk. Nirina bertekat untuk bisa meraih apa yang dicitakan dari dulu juga dicitakan oleh Diana. Menunggu bel masuk, Nirina merebahkan kepalanya di atas meja. Nirina kurang tidur Mendekati ujian, ya masih ada sekitar lima bulan lagi sih. Nirina makin giat belajar. Kemampuan gadis itu yang di atas rata-rata tidak menjadikan Nirina bisa bersantai. Nirina tidak mau ketinggalan. Saat dirinya santai dan malas-malasan, ribuan pesaingnya sedang belajar mati-matian. Sifat Nirina yang terlalu ambisius membuat berpikir tidak boleh ada yang berhasil menyainginya. Ambisi dalam hal positif tentu saja baik. Dengan begitu Nirina akan makin berusaha. Ingat ya, dalam hal baik dan mencapainya juga dengan cara yang baik. “Na, nih buat lo.” Nirina mendongak. Melihat Tio yang mengulurkan minuman dengan bungkus kotak. Nirina menerimanya dan tersenyum. “Terima kasih.” Walau Tio agak cuek, tapi pria itu tetap memberikan perhatian-perhatian kecil seperti ini. Nirina yang diberi minuman yang harganya kurang dari sepuluh ribu rupiah saja rasanya sudah bahagia. “Kalau malam jangan begadang lagi ya. Enggak baik. Belajar seperlunya saja,” pesan Tio. Sudah tahu jelas kebiasaan Nirina mendekati ujian. Terlihat juga dari mata gadis itu yang terlihat lelah. “Iya,” jawab Nirina singkat. Menganggukkan kepalanya menurut. Dalam hati meneruskan ucapannya bahwa Nirina tidak bisa berjanji. Belajar itu kan kewajiban Nirina sebagai pelajar. Kalau belajar sampai larut malam juga merupakan hak Nirina. Nirina kan memiliki tujuan yang haris dicapai. Yang cara meraihnya tidak bisa jika hanya leha-leha. Butuh perjuangan keras untuk sebuah impian yang besar pula. Butuh pengorbanan. Waktu dan tenaga. Tapi daripada nanti malah makin panjang mending mengiyakan saja. Tio juga tidak memiliki hak untuk melarangnya. Dia hanya berstatus sebagai kekasih. Tidak lebih. Tio kembali ke tempat duduk setelahnya. Tidak ada basa-basi atau sekedar mengobrol. Huh, menghela nafas, Nirina makin yakin bahwa Tio memang sudah berubah sepenuhnya. Hubungan keduanya juga makin terasa hambar. Nirina tidak masalah jika mereka terus berdebat seperti awal bertemu saja. Daripada seperti ini. Saling diam. Nirina jadi enggan juga berbicara saat respons yang Tio beri seadanya. Jadi ya keduanya sekarang jatuhnya saling diam. Kalau seperti ini mending putus saja sekalian. Nirina mencoba mengesampingkan masalah pribadinya. Menganggap bahwa Tio sudah bukan lagi bagian dari hidupnya. Tio sama saja seperti papanya yang berkata menyayangi tapi tetap meninggalkan. Huh, Nirina yakin bahwa Tio memang secara perlahan tengah melepaskan diri dari jangkauan Nirina. Padahal kalau berbicara secara langsung, Nirina juga akan langsung melepaskan. Bukan karena sudah tidak ada rasa. Tapi Nirina enggan menahan orang yang sebenarnya sudah ingin pergi. Kalau boleh jujur, Nirina masih sama mencintai Tio. Rasanya mungkin malah makin besar. Tio lelaki pertama yang berhasil menggetarkan hatinya. Ditambah Tio yang selalu ada di samping Nirina saat kaki Nirina belum sembuh. Membantu berjalan dan membantu hal lainnya saat di sekolah. Selain cinta, Nirina juga merasa dirinya berhutang budi. Hal yang nantinya akan menyulitkan Nirina untuk terbebas sepenuhnya dari Tio. Jika lelaki itu menginginkan sebuah perpisahan, Nirina mungkin akan berat namun berusaha untuk mengikhlaskan. Toh itu keinginan Tio sendiri. “Anak-anak, seperti tahun sebelumnya, menjelang ujian akan diadakan tambahan jam pelajaran khusus membahas materi yang akan diujikan ya.” Ya, agenda tahunan yang terus terulang pada siswa kelas akhir saat mendekati waktu ujian. Di sekolah ini persiapan dilakukan dalam jangka waktu yang lumayan panjang. Dengan tujuan siswa jadi makin memahami dan mendapatkan nilai yang memuaskan nantinya. Kebanyakan siswa yang sebenarnya sudah mengetahui ini pasti akan terjadi mengeluh. Mereka beranggapan bahwa semua itu malah akan makin membuat mereka tertekan dan tentunya kehilangan waktu bebas mereka. Nirina mendengus melihatnya. Apa mereka tidak menyadari bahwa itu juga demi kebaikan mereka sendiri? Coba saja diberi pertanyaan dengan materi yang berkaitan saat kelas sepuluh atau sebelas. Pasti sudah pada lupa. Sedangkan disuruh mengulang malah enggan. Manusia macam apa sih. Kok ada yang seperti mereka. “Oh iya. Ada siswi pindahan di kelas ini. Masuknya mulai besok pagi. Tolong berteman dengan baik ya,” pesan guru mata pelajaran yang merangkap sebagai wali kelas. Murid pindahan? Padahal ujian nasional sudah dekat sekali. Kok masih sempat-sempatnya pindah sih? Ada-ada saja. Nirina mengedikkan bahunya tidak peduli. Bukan urusan Nirina juga kok. Pelajaran hari ini selesai. Nirina berjalan santai menuju tempat parkir. Tempat di mana mobil jemputannya berada. Tio? Tadi sudah pulang terlebih dahulu. Alasannya ada keperluan penting. Nirina tidak mau ambil pusing. Mungkin itu berkaitan dengan cafe yang baru dibukanya. Tempat itu kan sekarang sedang ramai-ramainya. Menjadi tempat tongkrongan favorit remaja. Nirina sudah beberapa kali ke sana. Cafe dua lantai dengan penataan yang luar biasa nyaman dan kekinian dengan adanya banyak spot foto. Istilahnya, instagramable. Nirina sudah beberapa kali datang. “Pak, ke cafenya Tio dulu ya. Pengin beli es nya,” ucap Nirina pada pak Ardi. Ingat tentang cafe, Nirina jadi ingat dengan minuman favoritnya. Milkshake rasa coklat. Setiap datang, pasti itu yang Nirina minum. Rasanya pas di lidah. Tiba di cafe, benar saja. Tempat ini sudah ramai oleh remaja seusianya. Banyak yang masih menggunakan seragam dan langsung datang. Kebanyakan bersama teman atau kekasih. Bersantai sejenak. Ada juga yang sambil mengerjakan tugas. Nirina masuk dan disambut beberapa pelayan yang memang sudah mengenalinya. Mendekati kasir dan memesan pesanannya. Nirina tidak ada niat untuk duduk di sini terlebih dahulu. Ingin langsung pulang saja. “Tio di atas ya?” tanya Nirina pada salah satu pelayan di sana. Agak lama duduk, tidak melihat kehadiran pria itu. Sepertinya memang benar bahwa Tio tengah berada di ruangannya yang terletak di lantai dua. Entah mengurus laporan atau malah sedang tidur. Tempat ini sekarang menjadi rumah kedua bagi pria itu. Salah satu alasan Tio jarang ke rumah Nirina ya karena ini. Tio lebih sering berada di cafe yang jaraknya lebih dekat ke sekolah daripada ke rumah Nirina. Pelayan wanita dengan nama Lala itu mengernyitkan keningnya. Lala kira Nirina datang bersama Tio. Ternyata malah tidak. “Loh, gue kira lo datang bareng Tio,” jawab Lala bingung. Pelayan di sini yang kebanyakan masih seusia Tio dan Nirina dibebaskan memanggil menggunakan nama saja. Tidak perlu terlalu sopan karena ya memang seumuran. Laura menggeleng mendengar ucapan Lala. “Enggak. Tadi Tio balik dulu katanya mau langsung ke sini. Gue mah datang cuman karena pengin beli minuman saja.” “Tapi kayanya belum datang kok. Dari kemarin juga enggak ke sini.” Lala meringis. Barangkali kelepasan bicara. Pasalnya, wajah Nirina langsung bingung saat mendengar ucapannya. Apa jangan-jangan mereka sedang dalam keadaan saling diam? Kok aneh sih. Kan pacaran, setidaknya ya saling tahu keberadaan pasangannya kan. Lala jadi bingung sendiri. Memilih pamit melanjutkan tugasnya berjaga di depan meja kasir. Mending mengurus p********n daripada percintaan bos dan kekasihnya. Nirina terdiam mendengar jawaban Lala. Ah, bisa saja Tio mampir lebih dulu ke tempat lain dan nanti baru ke sini. Tapi kata Lala juga dari kemarin Tio tidak datang. Biasanya kalau tidak datang berarti Tio sedang ada di rumah. Kalau ada di rumah bisa kan datang menyamper Nirina untuk berangkat bersama. Kenapa kemarin beralasan berangkat dari cafe? Nirina bingung. Ada apa sih? Apa Tio membohonginya? Tapi untuk apa dan kenapa? Kalau kemarin saja bohong, bisa jadi alasan tadi juga berbohong. Kemungkinan, Tio tidak ke cafe. “Gue balik ya mbak,” pamit Nirina saat sudah mendapatkan pesanannya. Nirina mau langsung pulang saja. Di sini dirinya malah seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa mengenai di mana Tio berada. Saat mobil hendak berjalan, mata Nirina mendapati mobil Tio yang baru saja tiba di cafe. “Ternyata kali ini enggak bohong,” gumam Nirina. Nirina memejamkan matanya. Mengistirahatkan dirinya sejenak. Lelah juga ya menahan kesal. Nirina kesal setengah mati dengan Tio yang kemarin sudah membohonginya. Kalau memang tidak ingin berangkat bersama, tinggal bilang saja tidak usah menggunakan alasan lain yang ternyata hanya kebohongan. “Terima kasih, Tio,” ucap wanita yang baru turun dari mobil Tio. Tio tersenyum dan menggandeng masuk ke dalam cafe. Pelayan yang melihat mengernyitkan keningnya. Tio sudah sempat mengenalkan Nirina sebagai kekasih saat pembukaan cafe ini. Lalu, dia siapa lagi? “Tadi ceweknya nyari, dan sekarang cowoknya datang bareng cewek lain. Dunia memang sudah enggak baik-baik saja,” gumam Lala yang melihat jelas kedatangan Tio dan wanita lain. Turut prihatin pada Nirina. Sepertinya dugaan Lala benar, hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. “Kerja saja Lala. Lo dibayar bukan untuk ikut campur masalah percintaan bos lo.” Lala memukul kepalanya agar tetap fokus. Tiba di rumah, Nirina langsung menuju kamar. Melanjutkan tidurnya tadi di mobil. Nirina tidak memedulikan seragam yang harusnya masih di pakai besok. Matanya sudah tidak kiat untuk sekedar berganti pakaian. Biar saja. Masih ada seragam lain kok. Malamnya, Nirina berencana menelepon Tio selesai makan. Iseng saja sih. Sudah agak lama juga keduanya tidak bertukar suara. Huh, bisa dihitung jari. Saat awal-awal jarang karena Tio lebih sering berada di sini. Saat Tio sudah jarang ke rumah ini, paling lelaki itu hanya mengiriminya pesan. Itu juga sesekali. Hubungan keduanya memang bisa dibilang kurang wajar dari hubungan pacaran pada umumnya. “Nek, nanti mulai Senin depan, bakal ada tambahan pelajaran buat persiapan ujian,” ucap Nirina memberitahu nenek Anah mengenai rencana sekolah. “Berarti pulang lebih siang?” Nirina mengangguk. Mungkin akan lebih lama sekitar satu sampai dua jam di sekolah. “Sampai rumah mungkin sekitar jam empat nek,” jawab Nirina. “Bekalnya mau ditambah?” tanya Anah. Bekal yang di bawa Nirina kan untuk makan di istirahat pertama. Takutnya nanti di sekolah Nirina kelaparan. Karena Anah tahu sendiri bahwa Nirina malas kalau harus ke kantin. Malas antre. “Tambah buah sama s**u kotak saja nek. Biar lebih gampang.” Kalau bawa bekal nasi dua, tas Nirina pasti berat. Pasti juga akan sulit karena Nirina yang tidak suka jika lauk yang dimakan sama dalam dua kali makan. Ya, Nirina memang seperti ini. Satu hari makan tiga kali, ya lauk harus berbeda tiap kali makan. Kalau sama, mending Nirina tidak makan atau memasak mi instan saja. Kebiasaan dari dulu yang akhirnya agak menyulitkan. Selesai makan, Nirina bersantai di halaman depan rumah. Siapa tahu melihat mobil Tio yang melintas untuk pulang kan. Sudah dua kali menghubungi Tio, belum ada jawaban juga. Nirina menghela nafas. Apa Tio masih sibuk dengan cafenya? Nirina memutuskan untuk berhenti lebih dulu, berharap Tio meneleponnya balik. Sayangnya menunggu sampai dua jam juga tidak ada tanda-tanda Tio akan balik menghubunginya. Nirina menyerah. Memilih mengirimkan pesan saja. Tiiio: Yo, lagi sibuk ya? Ya sudah. Jangan terlalu capek ya. Night. Nirina masuk ke dalam rumah. Udara malam makin dingin menusuk kulit. Langsung menuju kamar. Tadi siang sudah tidur jadi sampai hampir tengah malam Nirina tidak bisa memejamkan mata. Bolak-balik mengecek handphone barangkali ada balasan masuk. Tetap saja, tidak ada sama sekali. Tio sesibuk apa sampai tidak memegang ponselnya? Perasaan sesibuknya Nirina, masih sempat kok memegang ponsel. “Pacaran tapi kaya enggak punya pacar. Kasihan banget deh gue,” gumam Nirina yang mengasihani dirinya sendiri. “Kalau sudah enggak punya rasa, mending bilang saja sih. Daripada kaya begini. Yang ada malah menyiksa,” lanjut Nirina. Huh, kalau seperti ini malah Nirina jadi serba salah. Sebenarnya apa sulit untuk menceritakan yang sejujurnya? Kalau memang sudah hilang rasa yang dulu ada, bukankah akan mudah jika mengakuinya? Akhirnya, Nirina memejamkan mata dengan tangan yang masih memegang ponsel. Masih mengharapkan balasan dari seseorang yang entah sedang apa dan di mana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD