Kenyataan

1843 Words
"Selamat siang. Alhamdulillah Anda sudah sadar," ucap dokter bernama Adrian itu penuh syukur. Nirina hanya membalas dengan senyum. Sebelum suster datang untuk mengecek kondisi dan memanggil dokter, yang Nirina lakukan hanya melamun. Memandang langit-langit ruang ICU dengan tatapan kosong. Nirina menunggu kedatangan mamanya yang diyakini sudah baik-baik saja. Namun dua jam berlalu, tidak ada tanda akan hadirnya wanita yang telah melahirkannya itu. Atau kehadiran orang lain seperti papa, nenek atau temannya. Yang masuk hanya seorang suster yang terkejut karena Nirina telah membuka mata. Dengan segera suster Ana keluar untuk memanggil doker guna untuk memastikan kondisi pasien komanya sudah baik-baik saja. "Sebentar ya, daya hubungi keluarga Anda dulu," pamit suster Ana. Dokter juga sudah pergi setelah memeriksa dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nirina tersenyum. Ah, sebentar lagi dia akan bertemu mamanya. Sebenarnya sudah berapa lama dia tertidur? Kenapa rasanya rindu ini begitu menggebu. Badannya juga sulit untuk di gerakkan. Tunggu. Nirina baru menyadari bahwa kaki kanannya sulit untuk digerakkan. Sakit dan berat. Apa yang terjadi? "Sebentar lagi keluarga Anda akan datang. Apa anda perlu sesuatu sebelum saya pergi?" tanya suster Ana. "S... Sus, kaki saya kenapa susah digerakkan?" dengan lirih Nirina menyampaikan tanya. "Em... untuk kaki kanan Anda mengalami patah tulang. Jadi sementara waktu tidak bisa digerakkan," jawab Suster Ana. "Te... terus nanti saya bisa jalan kan sus?" tanya Nirina takut. "Bisa kok. Tapi mungkin agak lama. Untuk sekarang, bisa menggunakan bantuan kursi roda atau tongkat dulu ya." Suster Ana tersenyum. Senyum yang mengandung penyemangat dan berkata semua akan baik-baik saja. Nirina menghela nafas lega. Dia masih bisa berjalan nanti. Walau sekarang harus menggunakan bantuan alat. "Assalamualaikuk nduk. Alhamdulillah kamu sudah sadar." Anah memasuki kamar rawat inap Nirina beberapa jam setelah Nirina dipindahkan dari ICU. Tadi saat diberi tahu pihak rumah sakit, inginnya langsung segera menghampiri namun masih ada beberapa kerabat yang menyambangi rumah untuk mengucapkan bela sungkawa. Dengan terpaksa menunda demi kesopanan. Nirina tersenyum. Nenek Anah sudah datang. Mungkin sebentar lagi mamanya yang akan datang. Dan papanya mungkin? Ya semoga saja. Setelah beberapa jam menunggu, yang ditunggu tak kunjung datang. Nirina resah. Perasaan takut tiba-tiba menghampiri. Ingin bertanya keberadaan mamanya namun entah kenapa hatinya mencegah untuk tidak bertanya. Wajah menek Anah mendung. Tidak seperti biasanya. Wanita paruh baya itu biasanya selalu menebar suasana ceria. Kepribadiannya yang banyak bicara selalu dapat mencairkan suasana. Dan hari ini, wajah tua itu tampak banyak beban. Ada apa sebenarnya? "Nek, kok mama enggak sampe-sampe sih?" tanya Nirina akhirnya. Wajah wanita tua itu makin keruh. Bahunya terkulai lemah. Tangan-tangan keriput itu terlihat saling meremat di atas pangkuan. Jika tidak salah lihat, matanya juga berkaca-kaca. Perasaan Nirina makin tak menentu. Apa sesuatu yang buruk terjadi pada mamanya? "Nek?" panggil Nirina lagi saat tak mendapat jawaban dari nenek Anah. "Nduk." "Nenek tahu kamu itu gadis yang kuat," ucap nenek Anah mengawali. Perasaan Nirina makin kacau saat nenek Anah mendekat dan menggenggam tangannya lembut. "Nek, mama mana?" tanya Nirina sekali lagi. Apa begitu sulit untun nenek Anah memberi tahunya? Nenek Anah menghela nafas panjang "Mama kamu sudah bahagia di surga. Sudah ketemu sama oma dan opa kamu nduk," lirih Anah menunduk. Tidak berani menatap wajah gadis dihadapannya yang sudah pasti saat ini penuh dengan kesedihan. "Nek, jangan bercanda deh. Mama lagi ke kantin kan karena lapar?" tanya Nirina menggoyangkan pelan tautan tangan mereka. Bahu Anah bergetar. Tak kuasa untuk menjelaskan bahwa memang ini nyata. "Nek, jawab aku." Nirina mulai meninggikan nada suaranya. Dia butuh kepastian, bukan kebisuan akan keadaan mamanya kini. "Nduk, mamamu udah tenang di alam sana. Kamu yang sabar ya. Masih ada nenek di sini." "Enggak. Nenek pasti bohong. Mama itu lagi beli makanan di kantin karena kelamaan nunggu aku bangun. Iya kan nek? Nek, tolong bilang iya," ucap Nirina sekuat mungkin membantah apa yang keluar dari Anah. Anah tak kuasa menahan tangis melihat Nirina. Air mata gadis itu bahkan sudah bercucuran keluar. Wajahnya penuh harap bahwa yang di dengarnya tadi hanya kebohongan. "Nduk, kamu harus ikhlasin mama ya." Anah mengusap lembut bahu Nirina yang mulai bergetar. "Enggak. Mama gak boleh ninggalin Aku. Mama enggak boleh pergi," jerit Nirina tidak dapat menerima kenyataan. Tangannya menjambak rambut frustasi. "Masih ada nenek." Dengan paksa, Anah menarik tubuh Nirina ke dalam pelukan. Nirina tak memberontak. Hanya diam dengan pandangan kosong dan air mata yang terus mengalir deras. "Ini salah aku. Andai enggak maksa buat ke rumah papa malam itu. Pasti semua enggak bakalan terjadi. Mama masih ada di rumah," gumam Nirina lirih menyalahkan dirinya sendiri. "Enggak. Ini bukan salah kamu, nduk. Semua udah takdir dari Tuhan," nasihat Anah. Anah tak mau Nirina menyalahkan dirinya. "Kenapa harus mama yang pergi? Kenapa bukan Nirina aja? Harusnya Nirina aja yang mati." Nirina meratapi nasibnya. Ini semua salah dirinya dan harusnya dirinya pula yang tidak tertolong. Bukan malah mamanya. Nirina makin tak terkendali. Jeritan penuh penyesalan keluar dari mulutnya. Tangannya tak henti memukuli diri sendiri. Kakinya yang tidak sakit bergerak tak tentu arah sampai membuat selimut jatuh. Anah yang melihat makin tergugu dalam tangis. Kesedihan ini begitu dalam terasa. Anah yang hanya orang asing saja bisa merasakan kesakitannya. Apalagi Nirina yang selama ini menggantungkan hidupnya. Dengan segera Anah berlari memanggil dokter untuk menenangkan dan memasang infus yang terlepas dari pergelangan tangan Nirina. "Sus, tolong suntikkan obat tidur," perintah dokter yang langsung diiyakan. Suster menyuntikkan obat tidur. Tak lama, Nirina terlelap lagi. Damai. Gadis itu begitu damai. Seakan tidak ada masalah yang menerpanya kini. "Dokter, bagaimana kondisi cucu saya?" tanya Anah yang mengkhawatirkan kondisi Nirina pasca mengetahui berita kematian ibunya. "Dia begitu terkejut mendengar berita mengenai ibunya. Sekuat tenaga menyangkal kebenaran tersebut. Dan saat mempercayainya, dia menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kecelakaan. Kondisi jiwanya sedang tidak baik-baik saja. Tolong terus beri dukungan agar bisa kembali seperti sedia kala," pesan dokter pada Anah. "Tapi, akan baik-baik saja kan dok?" tanya Anah penuh harap. "Ya semoga saja. Saat seperti ini, peran keluarga begitu penting. Sesering mungkin tolong di ajak berbicara. Agar pikirannya tidak selalu tertuju pada masalahnya sekarang." Anah hanya mengangguk. Berjanji akan melakukan yang terbaik untuk Nirina. Dokter meninggalkan ruang. Menyisakan Anah dan Nirina. Anah merasa sedih. Di saat seperti ini, harusnya sosok yang disebut papa oleh Nirina hadir untuk menemani dan memberi dukungan. Namun lihat, pria itu bahkan hanya datang ke rumah sakit ini sekali saat pertama kali Nirina dilarikan di rumah sakit. Sebenarnya terbuat dari apa hatinya? Dia seakan tidak peduli pada darah dagingnya sendiri yang sekarang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Anah ingin mengutuk mantan majikannya itu. Untuk anggota keluarga yang lain, Nirina tidak memilikinya. Nirina hanya memiliki mama dan papa. Dan sekarang tersisa sosok ayah yang sayangnya kehadirannya abu-abu dalam hidup Nirina. Pantas saja gadis itu begitu frustasi saat mengetahui kenyataan Mamanya telah meninggal dunia. Karena hanya Mamanya keluarga satu-satunya yang begitu peduli dan menyayangi. Oma dan opa dari pihak ibunya sudah meninggal dunia. Ibunya anak tunggal keluarga itu. Sedang untuk keluarga qyahnya, Nirina tidak mengetahui asal usulnya. Saat bertanyapun tidak ada jawaban pasti yang keluar. Teman? Nirina bukan seperti remaja seumurnya yang memiliki banyak teman. Nirina terlalu tertutup dan menarik diri dari circle pertemanan. *** Nirina masih diam. Tenggelam dalam lamunan yang penuh pengandaian. Andai malam itu dia tidak bersikeras memberikan kejutan ulang tahun ayahnya. Andai malam itu dia menuruti ibunya untuk tetap di rumah. Andai malam itu menolak dengan keras usul ibunya untuk ikut mengantar. Kepala Nirina penuh dengan beberapa kemungkinan yang terjadi jika malam itu dia tidak pergi meninggalkan rumah. Pasti sekarang tengah menyantap makan siang dengan mamanya di rumah. Atau mamanya yang mengirimkan pesan agar tidak lupa makan karena Nirina sedang di sekolah. Namun nasi sudah menjadi bubur. Sebanyak apapun berandai, semua tidak akan kembali seperti semula. Ini sudah terjadi. Waktu tidak akan berjalan mundur, melainkan akan terus maju. "Nduk, jangan begini terus yah. Mamamu pasti sedih lihat kamu yang sekarang." Anah tak berhenti mencoba. Kali saja Nirina mau mendengarkan ucapannya dan mau memakan makan siangnya. Gadis itu sudah melewatkan makan malam dan makan pagi. "Nek, aku kangen mama," lirih Nirina dengan suara bergetar. Air mata yang sempat berhenti, keluar lagi. "Kalo kamu kangen, jangan putus buat kasih doa buat mama kamu." "Terus makan. Mama kamu pasti bakalan sedih di sana kalau anak satu-satunya enggak mau makan. Kamu harus bangkit nduk, jangan buat mama khawatir sama keadaan kamu yang sekarang. Memang enggak mudah. Tapi coba, pelan-pelan saja. Kamu enggak sendiri. Masih ada nenek di sini," lanjut Anah. Nirina bergeming. Rasanya Nirina enggan melanjutkan hidup saat sosok pahlawannya telah pergi jauh meninggalkan dirinya. Sosok yang menjadi alasan Nirina hidup dan semangat menjalani hari. Sosok itu telah pergi. Lantas untuk apa Nirina tetap ada di dunia saat alasannya tetap berdiri telah tiada? Kenapa mamanya tidak membawa serta dirinya? Apa wanita yang telah melahirkannya itu bosan dan ingin terbebas dari beban selama ini? "Kenapa mama enggak ajak sku nek?" tanya Nirina tiba-tiba. Anah terkejut mendapat pertanyaan dadakan itu. Hatinya ikut nyeri. Nirina terlihat jelas tidak bisa menerima kenyataan yang ada. "Nduk, enggak boleh begitu. Tuhan ngasih kamu kesempatan kedua buat hidup. Kamu harus mensyukurinya," jawab Anah sebisa mungkin mencari kata yang dapat dengan mudah diterima Nirina. "Apa mama sudah enggak sayang sama aku? Mama bosen direpotin terus sama aku? Atau ma-" tanya beruntun Nirina terhenti karena isak tangis yang sudah tidak bisa dipendam. Anah mendekat dan memeluk Nirina sayang. Membisikkan kata penenang. "Nduk. Enggak boleh ngomong kaya begitu. Mama kamu itu sayang banget sama kamu. Jadi, jangan pernah raguin lagi. Kamu boleh nangis. Kamu boleh terpukul. Boleh ngerasa kehilangan. Semua boleh kamu lakuin. Kamu manusia biasa, yang pastinya bakal sedih waktu ditinggal orang yang di sayang apalagi mama. Tapi tolong, jangan berlarut yah. Nenek enggak mau lihat kamu kaya begini terus." Anah masih memeluk Nirina. Dengan sama-sama mengeluarkan air mata. *** Hari berlalu dengan cepat. Nirina telah menghabiskan hampir 2 minggunya di kamar rumah sakit. Setelah melalui rentetan proses panjang untuk memastikan kakinya akan baik-baik saja ketika digunakan, akhirnya Nirina diizinkan pulang. Dengan catatan tidak boleh melakukan kegiatan yang nantinya dapat membahayakan. Dan harus menggunakan alat bantu untuk berjalan. "Ayo, mau langsung mampir ke makam kan?" tanya Anah menenteng tas berisi keperluan selama di rumah sakit. Nirina di bantu salah satu suster untuk mendorong kursi roda. Nirina bergeming. Memang dia belum pernah ke makam mamanya sampai hari ini. Rasanya takut goyah dan enggan meninggalkan tempat peristirahatan terakhirnya. Hari ini, Nirina meminta diantar ke makam mamanya. Namun ragu kembali menyelimuti. "Kalau enggak jadi mampir juga ndak papa nduk. Kan masih ada lain waktu," ujar Anah yang mengetahui kebimbangan hati Nirina. "Enggak papa nek, sekarang saja. Aku sudah kangen banget sama mama." Nirina menyetujui untuk mampir. Perjalanan dari rumah sakit ke pemakaman umum lumayan lama. Pemakaman umum ini jaraknya lebih dekat dengan rumah yang Nirina tinggali. Batu nisan berjajar hampir memenuhi seluruh tempat. Ada satu makam yang tanahnya masih menjulang. Makam yang usianya kurang dari hitungan bulan. Hati Nirina sesak. Air mata dengan bebas menerobos keluar. Rasa sakitnya lebih hebat dari yang tadi dibayangkan. Dan Nirina ingin pergi meninggalkan tanpa nanti akan kembali. Nirina tertampar kenyataan saat Nenek Anah menuntun menuju makam bertuliskan nama Mamanya. Ternyata benar. Mamanya telah tiada. Padahal selama perjalanan Nirina masih mensugesti diri bahwa semua ini hanya omong kosong belaka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD