4. Raib

2054 Words
“Permisi, Pak.” “Iya, Mas. Ada yang bisa dibantu?” sahut salah seorang security yang tengah berjaga di pintu gerbang masuk sebuah pabrik makanan yang cukup terkenal. “Maaf, Pak. Betul di sini sedang membuka lowongan pekerjaan untuk bagian administrasi?” “Iya, betul Mas.” “Ini pak, saya mau memasukkan surat lamaran,” ucap Adi sambil menyerahkan sebuah amplop besar berwarna coklat yang sudah berisi beberapa persyaratan yang tertera dalam pengumuman yang ia lihat di surat kabar beberapa hari yang lalu. Sebagai seorang lulusan fakultas ekonomi manajemen dari universitas yang cukup ternama, membuat Adi cukup percaya diri. Ia yakin cepat atau lambat ada yang mau menerimanya bekerja di perusahaan mereka. “Baik Mas, saya terima ya surat lamarannya. Nanti biasanya akan dihubungi langsung oleh bagian HRD kalau persyaratannya sudah memenuhi,” jawab security bertubuh tinggi dan besar itu sambil menerima amplopnya. “Oh, iya Pak. Terima kasih banyak kalau begitu. Saya pamit dulu,” ucap Adi samil menganggukkan kepala “Baik. Silakan mas,” jawab security itu ramah. Baru saja berjalan beberapa langkah menuju ke tempat parkir sepeda motornya, tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namanya. “Adiii!!” Adi pun segera menghentikan langkahnya dan menoleh ke sumber suara tersebut. Terlihat dari kejauhan seorang laki-laki berpakaian celana panjang hitam dan kaos oblong dengan logo beberapa merek makanan yang diproduksi oleh perusahaan tersebut. Tanpa menanyakan hal itu pun Adi sudah bisa menebak bahwa pria itu bekerja sebagai buruh pabrik di sana. Adi menyipitkan matanya karena tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. “Astaga, Roni?!?” pekik Adi begitu pria itu semakin mendekat ke arahnya. Adi pun ikut berjalan mendekat ke arah Roni sambil mengulas senyumnya. Ia benar-benar tak menyangka bertemu dengan Roni di tempat itu. “Lo kerja di sini?” tanya Adi ketika mereka sudah saling berhadapan dan berjabat tangan. “Iya. Yaa … beginilah, cuma seorang buruh pabrik,” jawab Roni. “Ngga kayak lo, punya usaha sendiri. Sukses lagi. Lo tau sendiri, kuliah gue berantakan. Ngga ada yang bisa dibanggakan dari gue, sampai gue pernah diusir dari rumah sama bokap gue,” cerocos Roni panjang lebar padahal Adi tidak menanyakannya. “Nggak boleh gitu lo. Gitu-gitu juga pekerjaan, halal, daripada ngga punya pekerjaan sama sekali,” sahut Adi. Bagi Adi yang sudah mengenal Roni sejak lama tentu tidak heran dengan sikap Roni yang ceplas ceplos dan banyak bicara. Roni adalah teman kuliah Adi saat ia menimba ilmu di fakultas ekonomi. Tapi sayangnya kuliah Roni terhenti karena ia tak bisa membayar biaya kuliah. Bukan, bukan karena orangtua Roni tidak mampu, tapi karena uang yang diberikan ayahnya untuk membayar kuliah dipergunakan Roni untuk kehidupan malamnya yang tidak jelas. Pantas saja jika ia sampai di usir dari rumah. “Eh, terus lo ngapain ke sini?” tanya Roni sambil menatap Adi dari ujung kepala sampai ujung kaki. Terlihat pakaiannya sangat rapi dengan setelan kemeja lengan panjang dan celana panjang berwarna hitam. Lengkap dengan sepatu pantofel yang membuatnya terlihat gagah. “Gue, gue mau cari kerja di sini,” jawab Adi pelan. “Cari kerja? Bukannya lo udah punya usaha tempat makan sendiri? Oh, maksudnya lo pengen cari tambahan lain karena rumah makan lo udah punya banyak pegawai? Wah, luar biasa nih temen gue yang satu ini.” “Adi tak menjawab. Ia hanya tersenyum simpul. Mungkin saja Roni beranggapan bahwa apa yang baru saja dikatakannya adalah benar karena Adi tak menyanggahnya sama sekali. “Ya udah ya, gue cabut dulu. Gue masih ada urusan lain,” ucap Adi berpamitan. Ia tidak ingin membuang banyak waktunya untuk hal yang tidak menguntungkan baginya. Saat ini ekonomi keluarganya sedang terancam dan ia sebagai kepala keluarga harus berjuang untuk hal itu. “Eh, bentar dulu dong. Buru-buru amat lo. Gue lagi kerja aja bisa santai begini. Eh gimana motornya, amankan? Lancar?” tanya Roni. Ya, saat itu Adi membeli motor honda verza 150 itu dari Romi saat mereka tak sengaja bertemu di sebuah pusat perbelanjaan yang tak jauh dari warung makan Adi. Saat itu Roni menawarkan sepeda motornya karena ia mengatakan tengah membutuhkan sejumlah uang untuk menjalankan bisnis barunya, begitu pengakuan Roni kepada Adi. Apa pun itu, Adi merasa itu bukan urusannya. Adi pun sama sekali tidak pernah menanyakan pekerjaan Roni dan bisnis apa yang akan dijalankannya. Menurutnya itu terlalu bersifat pribadi dan sensitif, seperti halnya saat ini ketika Roni menanyakan bisnis rumah makan padangnya. Adi merasa malu untuk mengakui bahwa bisnisnya kini telah jatuh bangkrut. “Aman kok, aman. Tuh, gue ke sini juga pake motornya. Motor bebek yang biasa gue pake, gue kasih ke bini gue. Kasian bini gue kalo naik angkutan umum terus,” jawab Adi. “Wah, bener-bener nih suami idaman. Semua kebutuhan anak sama istri semua dipenuhi.” “Yaa ... berusaha aja sih jadi suami dan ayah yang baik. Trus kapan lo mo nikah?” tanya Adi lagi. “Gue mah santai. Umur segini tuh dipuas-puasin aja dulu nyenengin diri sendiri. Nanti kalo udah nikah, punya anak, ah ... repot, harus mikirin beli popok, beli s**u, beli make up. Trus kapan dong kita seneng-senengnya? Bener ngga, Bro?” Lagi-lagi Adi hanya tersenyum simpul. Tidak membenarkan, tidak juga menyalahkan. Tapi, kalau dipikir-dipikir lagi, memang benar apa yang dikatakan Roni. Sekarang ia sama sekali tidak memiliki waktu untuk sekedar menyenangkan dirinya sendiri. Atau orang-orang zaman sekarang menyebutnya “me-time”. Dulu saat belum menikah, pasti minimal sekali dalam seminggu, ia habiskan untuk bermain futsal bersama teman-temannya, tapi sekarang waktunya lebih banyak ia habiskan untuk bekerja, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hampir tak ada waktu untuk menjalankan hobby-nya. Terlebih sekarang, saat usahanya terpaksa harus gulung tikar, maka ia harus mencari pekerjaan lain. Mencarinya dari satu perusahaan ke perusahaan lain dan berharap ada yang mau mempekerjakannya. “Hei! Begong aja lo!” celetuk Roni sambil menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajah Adi karena melihat Adi sepertinya tengah memikirkan sesuatu. “Ooh, gue tau ... lo lagi mikirin apa yang barusan gue bilang? Kenapa? Lo baru sadar sekarang kalo dunia lo sekarang terkungkung? Itulah, Di, kenapa gue belum mau nikah.” Dengan seenaknya Roni mengambil kesimpulan tanpa mendengar pernyataan Adi. “Ah, ngga juga. Lo punya istri, punya anak, itu bikin kepercayaan diri lo semakin meningkat. Di situlah lo merasa hebat dan dibutuhkan. Cara berpikir lo aja yang kurang menantang,” sambar Adi yang langsung membuat Adi skak-mat. Yaa ... mungkin bukan itu yang ada di dalam pikiran Adi, tapi setidaknya ia berusaha membela diri agar Roni tak terlalu menyudutkannya. Memang saat ini, kehidupan ekonomi keluarganya sedang kacau, tapi ia tetap akan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan agar bisa menyambung hidup. Ada Arsila yang harus ia bahagiakan dan ia cukupi segala kebutuhannya, malaikat kecilnya yang selalu membuat semangatnya tumbuh dan ingin menjadi pria yang lebih baik. “Iya, iya ... sorry deh, sorry.” “Ya udah deh, gue mau cabut dulu. Gue mau berjuang buat anak sama istru gue,” kata Adi yang sengaja menekankan ucapannya. “Eh eh, tunggu bentar lah, buru-buru amat.” Dengan cepat Roni menarik tangan Adi hingga ia berbalik arah, kembali menghadap ke arahnya. “Kita ngopi-ngopi dulu lah di kantin pabrik. Gue yang traktir.” Tanpa menunggu jawaban Adi, Roni dengan seenaknya merangkul bahu Adi dan membawanya ke arah kantin. Adi pun tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti langkah Roni. Sekilas Adi melirik ke arah jarum jam di tangannya, masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, masih ada waktu sekitar satu jam sebelum jadwal interview-nya di perusahaan otomotif. Ya, Adi tidak boleh terlambat. Inilah perjuangan terakhirnya untuk bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan itu. Jika ini gagal maka ia harus berjuang dari awal lagi. Itu pun belum tentu ia mendapatkannya di perusahaan sebagus ini. “Tapi gue nggak bisa lama-lama, karena nanti jam sebelas gue ada interview di perusahaan lain,” jawab Adi. “Iya, lo tenang aja. Kita cuma ngopi-ngopi sebentar doang kok. Lagian waktu itu kan kita cuma ketemu sebentar karena lo sibuk dengan bisnis rumah makan lho itu.” Sampai di kantin pabrik, mereka pun langsung duduk di salah satu meja yang berada di sudut ruangan. Namun baru saja keduanya duduk, tiba-tiba Roni kembali berdiri. “Eh bentar ya …gue ada urusan sebentar. Lo tunggu dulu di sini sebentaaarr aja,” ucap Roni sambil berdiri dan terlihat sangat tergesa-gesa meninggalkan meja mereka. Sambil beranjak pergi, Roni merogoh kantong celananya dan mengambil ponselnya. Sepertinya ia hendak menelepon seseorang. Ya, Roni terlihat menelpon seseorang dan sesekali pandangannya melirik ke arah Adi. Adi bisa melihatnya dengan jelas dari jendela kaca kecil yang berada di sisi samping. Sambil menunggu Roni kembali, Adi pun memesan secangkir kopi s**u terlebih dahulu agar ia tak terlalu lama menunggu dan bisa menghemat waktunya agar tidak terlambat datang ke tempat interview. “Mas, mas … pesan kopi susunya satu ya,” ucap Adi sedikit keras kepada menjaga kantin yang usianya masih terbilang muda. “Oh, iya baik mas. Ditunggu sebentar ya.” Segera penjaga kantin itu masuk ke dalam ruangan kecil yang digunakan untuk membuat berbagai jenis minuman. Bisa dilihat sebuah termos dan beberapa toples gula yang tergeletak di atas meja kecil di sudut ruangan kecil itu. “Ini mas kopinya.” Tak berapa lama penjaga kantin itu pun datang sembari membawa namlam berisi secangkir kopi yang masih mengeluarkan uap panas. “Eh sory banget ya Di, gue baru ingat kalau gue harus hubungin saudara gue yang mau datang ke rumah. Soalnya nyokap gue tiba-tiba harus pergi karena temannya ada yang meninggal di daerah bandung. Jadi di rumah ngga ada orang sama sekali,” ucap Roni yang baru saja kembali setelah menelepon seseorang. “Iya ngga papa kok,” sahut Adi. “Oke, makasih ya mas,” ucap adi setelah penjaga kantin itu meletakkan cangkir kopi pesanannya di atas meja. “Iya, sama-sama mas,” jawab penjaga kantin yang langsung pergi meninggalkan mereka. Keduanya pun mulai terlihat asyik mengobrol. Namun tak membuat Adi melupakan jadwal interviewnya. Sebentar-sebentar ia melirik ke arah jarum jam di tangan kanannya. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukan pukul setengah sebelas siang. Dua cangkir kopi di hadapan mereka pun sudah habis mereka minum, ditemani dengan beberapa pisang goreng yang masih tersisa di atas piring. “Udah ya, gue harus balik sekarang soalnya gue takut macet di jalan,” kata Adi sambil meraih kunci motor yang tergeletak di atas meja. “Yaah, ngga seru amat sih lo. Baru juga sebentar. Pease dong sebentar lagi,” pinta Roni sedikit memohon. “Yah gimana dong, gue bener-bener harus pergi.” “Lima menit. Oke, lima menit aja. Please, habis itu lo boleh pergi. Gue janji,” ucap Roni. Sepertinya Adi tak bisa menolak karena Roni bersikeras menahannya. Ia pun dengan sedikit terpaksa kembali duduk. Mungkin lima menit lagi ia duduk, ia todak akan terlambat datang ke temoat interview. Mereka kembali mengobrol banyak hal, walaupun Adi terlihat sangat tidak nyaman. Dan tepat lima menit berlalu, Adi segera beranjak dari tempat duduknya. “Udah, ah. Udah lima menit. Gue mau balik sekarang. Makasih ya jamuannya.” “Iya, sama-sama. Thanks ya udah mau ngobrol-ngobrol. Kapan-kapan bisa dong kita ngobrol lagi.” “Iya, atur aja.” “Eh, tapi sorry ya Di. Kayaknya gue ngga bisa nganterin ke depan. Gue harus balik kerja lagi,” ucap Roni. “Iya ngga papa. Ya udah ya. Bye,” sahut Adi sambil beranjak pergi. Namun, betapa kagetnya Adi ketika keluar dari pintu gerbang pabrik itu. Ia sama sekali tidak melihat sepeda motorrnya terparkir di sana. Padahal jelas-jelas ia memarkirkannya di samping warung kecil, tepat di samping pintu gerbang. Di sana pin tak hanya sepeda motornya yang terparkir, ada puluhan sepeda motor lain yang terparkir berjajar. Beberapa kali ia mondar mandir untuk memastikan, tapi tetap ia tak melihatnya. “Permisi, Pak. Saya mau tanya. Tadi liat speda motr Verza warna merah yang dipatkir di sini ngga ya, Pak?” tanya Adi pada pemilik warung yang tengah duduk-dudum di depan. “Verza merah?” pemilik warung itu terlihat mengibgat-ingat. “Ooh, ya inget, mas. Tadi kayaknya orangnya udah pergi.” “Udah pergi???” Adi benar-benar syok mendengrnya, karena dialah pemilik sepeda motor itu. “Kenapa Mas?” tanya pemilik warung itu heran. “Itu motor saya, Pak. Motor saya hilang!” ucap Adi dengan nada bergetar. “Aduh, gimana Mas? Saya pikir tadi itu orang yang punya motor karena ngga mencurigakan sama sekali,” jawab pemilik warung itu. Seketika tubuh Adi terasa lemas. kedua kakinya rasanya tak mampu menopang berat tubuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD