Ramli datang bersama Rahmi istrinya, dan juga Femila putri semata wayangnya. Femila seusia dengan Arkana. Mereka pun duduk di tingkat kelas yang sama. Dulu saat masih kecil mereka sering bermain bersama. Setelah remaja, mereka jadi tidak seakrab dulu. Mereka jadi sedikit canggung.
Pertama karena lama tidak bertemu. Kedua karena ya ... namanya juga sudah menuju dewasa. Sudah ada ketertarikan pada lawan jenis. Makanya malu untuk berinteraksi seakrab dulu.
"Jadi Arkana besok aka dioperasi?" Ramli mengulang kembali penjelasan yang sudah aku lontarkan panjang lebar ke padanya.
Aku jadi agak kesal. Ke mana saja dia saat aku menjelaskan tadi. Sehingga ia harus bertanya lagi setelah aku selesai menjelaskan.
"Iya, Ram. Kan udah aku jelasin tadi." Aku berusaha meredam kesal.
"Wah ... keren lho kamu, Arkana. Kamu berani banget. Kamu adalah seorang gentleman." Ramli memuji Arkana dengan gaya khasnya sembari mengacung - acungkan jempol. Ya begitu lah, si Ramli.
"Semangat ya, Arka. Tante doain yang terbaik buat kamu. Insya Allah kamu bakal segera sembuh setelah ini. Semangat terus." Ini dia, penyeimbang Ramli. Rahmi yang selalu adem nan anggun pembawaannya.
"Makasih, ya, Oom, Tante. Aku sebenarnya deg - degan banget. Tapi insya Allah aku siap." Seperti biasa Arkana menjawab dengan bijaksana serta gayanya yang selalu membumi.
"Femila, nggak mau kasih semangat buat Arkana, Sayang?" Ramli bertanya pada putrinya. Lebih seperti menggoda sih sebenarnya.
Sebagai informasi, sejak dulu Ramli selalu bergadang - gadang bahwa ia akan menjodohkan Femila dengan Arkana. Karena menurut Ramli, Arkana adalah sosok calon mantu yang ideal untuknya. Paling pas untuk berdampingan dengan putri cantiknya.
Aku belum pernah menanggapi dengan serius kelakar Ramli itu. Kalau aku sih terserah anak - anak saja. Kan mereka yang menjalani. Toh mereka berdua masih sangat muda. Masih jauh menuju pernikahan. SMA saja belum lulus.
Kalau mereka ditakdirkan berjodoh ya pasti akan menikah pada waktunya. Tergantung garis takdir dari Tuhan.
Femila nampak malu karena kelakuan sang ayah. Gadis itu hanya diam sembari menatap sengit pada sang ayah.
"Lhah, kenapa natal ayah begitu?" Ramli malah protes. "Ayo kasih semangat buat Arkana. Dulu kalian akrab banget lho. Apa - apa bareng. Main bareng, makan bareng, renang bareng, bahkan mandi bareng juga pernah. Kok sekarang Hadi awkward begitu." Ramli malah meneruskan acara penggodaannya.
Aduh, memang dasar bapak yang tidak tahu diuntung. Jelas Femila semakin malu kalau kelakuan bapaknya saja seperti itu.
Tuh, Femila sekarang menunduk. Aku yakin wajahnya sudah memerah, Makanya ia malu dan menyembunyikannya.
Arkana hanya tertawa saja karena kelakuan Ramli.
"Duh, Ayah, mah." Rahmi buka suara akhirnya. "Kalau ayah vokal kayak begitu, Femila bukannya kreatif kasih ucapan semangat ke Arkana, yang ada juga malah malu. Nggak peka banget sih sama perasaan perempuan." Rahmi melancarkan aksinya memprotes sang suami.
Entah mengapa aku merasa sangat puas melihat Rahmi mengomeli Ramli. Ini tontonan yang menarik.
Aku hanya sedang membayangkan, bagaimana seandainya para karyawan di kantor tahu jika atasan mereka kerap dimarahi oleh sang istri seperti ini. Mana langsung kikuk tiap kali habis dimarahi istrinya. Ya, memang Ramli adalah sosok suami yang takut istri. Langsung bilang segala wibawa yang selalu ia banggakan ketika berada di kantor.
"Terus Ayah harus gimana, dong?" Ramli menatap Rahmi takut - takut.
"Ya Ayah harus main alus. Ya kali udah nikah sama perempuan hampir 20 tahun, masih nggak hafal juga sama sifat perempuan. Payah, deh." Rahmi masih mengomeli Ramli habis - habisan.
Aku dan Arkana tertawa puas. Femila juga kedapatan terkikik sesekali.
Ngomong - ngomong Mama sedang pulang. Aku yang memintanya pulang dulu supaya bisa beristirahat dengan baik. Maklum lah, usia Mama juga sudah tidak muda lagi. Aku hanya tidak mau Mama sakit. Toh saat ini kepada Arkana sudah jauh lebih baik. Gantian aku yang akan menjaga Arkana sampai besok pagi. Mama akan ke sini lagi sebelum Arkana masuk ke dalam ruang operasi.
"Ayah kan mau Femila ngasih Arkana kata - kata semangat. Nah, berarti kita semua harus pergi dari sini. Aku, Ayah, sama Mas Anara harus pergi dari kamar ini. Kita biarkan Femila sama Arkana berdua saja. Biar mereka bisa ngobrol dengan leluasa. Juga temu kangen setelah lama tidak bertemu. Mengenang kembali masa kecil mereka yang indah. Begitu."
Rahmi menjelaskan bagaimana Ramli seharusnya bersikap. Wah, Rahmi memang ahlinya dalam hal seperti ini. Aku langsung setuju dengan ucapannya itu. Dengan membiarkan Arkana memiliki waktu dengan temannya, itu akan membantu ia untuk lebih rileks juga. Ramli sepertinya juga setuju.
"Iya, deh, iya. Ya udah kita tinggal dulu mereka berdua. Biar ngobrol empat mata." Tuh, kan. Ramli juga langsung setuju.
Akhirnya kami bertiga benar - benar keluar dari kamar. Femila pasrah ditinggal di dalam. Arkana menatap kepergian kami. Tatapannya itu mengantarkan kami keluar dari ruangan.
Aku sebagai orang yang terakhir keluar, sempat melihat Arkana dan Femila saling tersenyum. Aku tak sengaja ikut tersenyum, sebelum akhirnya aku menutup pintu.
~~~ BBLM - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
"Nara ...."
Aku menoleh ketika mendengar Ramli memanggilku. Aku berjalan menghampirinya. Kami duduk berdampingan di kursi panjang yang berjajar di depan lorong.
Rahmi duduk di sebelah kanan Ramli, sementara aku di sebelah kiri Ramli.
"Kenapa, Ram?" tanyaku begitu aku duduk.
Ramli menarik napas dalam. Sepertinya yang akan ia bicarakan adalah hal serius.
"Anu ... Uhm ...." Ramli terbata - bata menjelaskan apa yang akan ia katakan. Maka sudah jelas yang akan ia bicarakan adalah hal serius.
"Nara ... besok Arkana akan menjalani sebuah operasi besar. Dan itu karena sebuah penyakit yang nggak main - main. Penyakit yang serius. Tentu dia butuh didampingi oleh seluruh anggota keluarganya."
Ramli berhenti sejenak dalam penjelasannya. Aku sebenarnya sudah gatal ingin memotong ucapannya. Arkana kan sudah didampingi oleh seluruh anggota keluarganya. Yaitu aku dan Mama.
Tapi aku membiarkan Ramli untuk meneruskan bicara terlebih dahulu. Aku belajar dari pengalaman. Untuk tidak lagi menjadi orang yang selalu merasa paling benar.
"Ya, memang sudah ada kamu dan Mama Aida. Bahkan adik kami juga pasti besok ke sini untuk mendampingi Arkana juga. Tapi Nara ... apa kamu tahu, siapa sosok yang paling dibutuhkan oleh Arkana sebenarnya?"
Jantungku mendadak berdetak begitu cepat. Teramat sangat cepat. Kini aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan Ramli.
Lidahku bahkan langsung kelu, sampai - sampai aku tak kunjung menjawab ucapan Ramli.
"Dia butuh Ardina, Nara. Dia paling butuh ibunya saat ini."
Ramli malah mempertegas ucapannya.
Dan itu membuat detak jantungku semakin terpacu saja. Mendengar namanya saja sudah cukup untuk mengembalikan seluruh trauma masa laluku.
Jika ia ke sini, berarti otomatis aku akan bertemu dengannya kembali.
Pertanyaannya adalah ... apa aku siap?
~~~ BBLM - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
T B C