Bagian 8

1056 Words
Ketika tahu aku hari ini sudah kembali masuk kantor, Ramli segera masuk ke dalam ruanganku. Raut wajahnya nampak serius. Di saat bersamaan ia juga terlihat khawatir.  Ia pasti ingin tahu kenapa aku tidak masuk kerja dua hari ini, tanpa keterangan pula. Dan aku tidak bisa dihubungi sama sekali karena ponsel aku non - aktifkan. Aku benar - benar tak ingin diganggu siapa pun selama aku merasa dalam fase terhancur dalam hidupku akibat penyesalan yang begitu besar. Ramli menatapku beberapa saat. Seakan ingin aku mulai bicara duluan. Baik, aku akan mulai bicara duluan.  "Maaf, Pak. Saya absen dua hari tanpa ngasih kabar sama sekali." Aku akhirnya berkata demikian. Aku berusaha profesional seperti sedia kala. Karena biar bagaimana pun, kami berada di lingkungan kerja. Ramli menggeleng. "Bukan itu yang ingin aku bicarakan, Nara. Kamu pasti juga udah ngerti, kan? Gimana sama Arkana? Dia baik - baik aja, kan?"  Aku kembali menunduk. Sepertinya aku tidak bisa terus bertahan untuk bersikap profesional saat ini. Aku memang butuh bicara dengan Ramli sebagai seorang teman.  "Belum tahu, Ram," jawabku akhirnya. "Tapi kata dokter, kondisi Arka saat ini mengarah ke tumor, di otak bagian belakang. Arka belum sadar gara - gara aku suruh dia tidur saat dia bilang ngantuk. Ternyata itu nggak boleh. Harusnya dia tetep sadar. Tapi aku malah menyuruhnya tidur."  Ramli menatapku dengan mata yang nanar. Ia sepertinya begitu prihatin dengan kondisiku saat ini. Aku yakin Ramli sebenarnya ingin marah. Tapi melihat aku yang hancur, ia mengurungkan niat itu.  "Jadi prediksi dokter untuk melakukan CT - scan saat itu karena ini?"  "Iya, tapi aku malah menolak anjuran dokter Lugas. Aku memang bodoh. Nggak seharusnya aku merasa terlalu percaya diri dengan kepercayaanku sendiri. Sekarang Arka yang tanggung akibatnya, Ram. Padahal Arka nggak salah apa - apa. Kasihan dia, Ram. Pasti ... pasti rasanya sakit banget, kan?"  Setelah mengatakan hal itu, air mataku akhirnya lolos. Akhirnya aku bisa menangis setelah aku pikir air mataku sudah kering saking kerasnya hatiku.  "Arka pasti kesakitan. Tapi dia tidak pernah bilang apa - apa ke aku. Kalau dia nggak jatuh di sekolah waktu itu, mungkin sampai sekarang dia masih nggak mau ngomong. Aku tahu kenapa dia nggak ngomong. Pasti karena tahu aku hanya akan menyepelekan sakitnya. Aku memang jahat, Ram. Aku bukan Ayah yang baik. Aku nggak layak punya anak sebaik Arka. Arka anak baik yang sial karena punya ayah seperti aku."  "Sst ... Kamu ngomong apa, sih, Arka?" Ramli akhirnya menerobos kata - kataku dengan pertanyaan dengan nada tinggi. Ia nampak marah.  "Kamu yang tenang, dong. Saat ini buka saatnya kamu gegabah dan menyalahkan diri sendiri seperti itu. Ya, kamu memang merasa bersalah. Tapi kalau kamu sendiri terpuruk seperti ini, bagaimana dengan Arka nanti? Bagaimana dengan Mama Aida, siapa yang akan menguatkan beliau nanti? Ya, kamu udah menyesali semua kesalahan kamu. Maka hal terbaik yang bisa kamu lakukan saat ini adalah, mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhan Arkana. Dan berjanji akan menjadi seseorang yang lebih baik, ayah yang lebih baik."  Kata - kata Ramli seakan merasuk dalam hatiku yang paling dalam. Ramli benar. Tidak seharusnya aku merengek menyesali kesalahanku yang sudah jelas. Dengan merengek tidak aka mengubah apa pun. Aku harus kuat, dan mengusahakan pengobatan yang terbaik bagi Arkana.  "Kapan hasil pemeriksaan Arkana keluar, Nara?" Ramli lanjut bertanya.  "Kata dokter Lugas mungkin hari ini atau besok."  "Kabarin aku kalau hasil tesnya udah keluar."  "Ya."  "Kalau boleh aku tahu, kenapa Arkana seharusnya nggak boleh tertidur saat dia ngantuk, hm?"  "Karena kata dokter Lugas, rasa mengantuk itu sebenarnya diakibatkan oleh sesuatu yang ada dalam otaknya itu. Jika keadaannya benar - benar suda gawat, ia bisa jatuh dalam koma yang berkepanjangan. Atau bahkan mengalami mati otak. Aku bener - benar hancur setelah tahu itu, Ram. Tapi aku nggak kasih tahu Mama. Aku takut Mama makin syok. Tapi aku bilang ke Mana untuk ajak komunikasi Arka terus. Buat merangsang kesadarannya."  Ramli mengangguk mengerti. "Semoga dugaan dokter tentang tumor itu meleset ya. Semoga Arkana segera sadar, dan segera sembuh, kembali seperti sedia kala. Kamu yang kuat. Demi Arkana."  Aku mengangguk. "Aamiin. Insya Allah."  "Nanti sore sepulang kerja aku mau nengokin Arkana. Dia boleh dijenguk, kan?"  Aku mengangguk lagi. "Boleh, Ram. Makasih banget ya."  "Ngomong apa sih kamu. Ini udah jadi keharusan. Ngapain terima kasih segala. Eh, Nara. Kalau kamu perlu lebih banyak waktu buat menenangkan diri, silakan ambil cuti lebih banyak. Itu bukan bagian dari tidak profesional. Bukan karena aku adalah teman kamu, makanya aku izinkan kamu ambil cuti banyak. Tapi cuti itu kan hak kamu. Dalam satu bulan, kamu punya 1 hari jatah cuti. Kalau diakumulasi, satu tahun kamu punya 12 hari masa cuti. Tapi kamu nggak pernah ambil itu. Ambil, lah. Hitung - Bitung quality time sama Mama Aida, sama Arkana juga."  Bibirku menarik sebuah senyuman tipis. "Makasih, Ram. Akan aku pikirkan. Sebenarnya aku memang butuh waktu lebih banyak buat menenangkan diri. Tapi mau nunggu hasil pemeriksaan Arka keluar dulu."  "Ya, terserah kamu aja. Jangan terlalu keras sama diri kamu sendiri. Boleh jadi perfectionist, tapi juga jangan berlebihan. Oke?"  Aku kembali tersenyum. "Makasih, Ram."  ~~~ BBLM - Sheilanda Khoirunnisa ~~~  Sore harinya aku kembali ke rumah sakit. Ramli ingin pulang dulu, ingin mengajak anak istrinya untuk menjenguk Arkana. Sehingga aku duluan ke rumah sakit.  Saat sampai, aku segera mengecup kening Arkana. "Papa udah pulang kantor, Sayang." Aku kini berusaha membiasakan diri mengucapkan kata - kata yang menunjukkan afeksi pada putraku sendiri.  Aku sudah berjanji ingin berubah menjadi lebih baik. Juga untuk merangsang kesadarannya. Siapa tahu setelah tahu aku menjadi lebih ekspresif dalam menyampaikan rasa sayang, Arkana terpacu untuk segera sadar.  Mama sedang tertidur di sofa panjang. Aku tidak membangunkannya. Mama pasti lelah menunggu Arkana sendirian.  Tapi ternyata kehadiranku di sini bisa Mama rasakan. Padahal aku sama sekali tidak berbuat gaduh. Tapi Mama tiba - tiba bangun begitu saja.  "Udah balik kamu, Nara." Mama segera bangkit dari posisi berbaringnya. "Udah, Ma." Aku menghampirinya untuk bersalaman dan cium tangan.  "Oh iya." Mama teringat sesuatu. "Tadi kamu dicariin dokter Lugas, Nara."  "Lho, kenapa? Apa hasil pemeriksaannya udah keluar?"  "Kurang tahu juga. Tapi dia nyariin kamu. Katanya penting. Kalau udah pulang suruh langsung nemuin dia."  Detak jantungku segera terpacu untuk berdetak lebih kencang. Ada apa kira - kira. Semoga ini bukan sesuatu yang buruk.  "Kalau gitu aku langsung temuin dokter Lugas ya, Ma." Aku berpamitan sembari kembali beranjak.  "Iya, Nara. Mama doakan hang terbaik."  "Aamiin."  ~~~ BBLM - Sheilanda Khoirunnisa ~~~  T B C 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD