Bagian 12

1268 Words
Aku menggeleng begitu saja. Kemudian aku jawab ucapan Ramli. "Aku rasa dia nggak butuh ibunya, Ram. Mungkin untuk sebagian besar orang, sosok ibu memang lah seseorang yang paling penting, yang paling kita butuhkan dalam hidup. Tapi khusus untuk Arkana, dan beberapa anak lain di dunia mungkin, sosok ibu bukan lah sosok yang penting. Karena sejak kecil, mereka nggak pernah diberi kasih sayang oleh sosok ibu itu sendiri.  "Kamu inget sendiri, kan ... apa yang dilakukan wanita itu dulu. Bahkan saat itu Arkana masih sangat kecil. Dia melakukan hal yang sama sekali nggak pantes dilakukan oleh sosok orang tua. Terlebih seorang ibu. Kamu tahu sendiri itu adalah penyebab perpisahan kami. Bahkan hal asuh pun nggak jatuh ke tangan dia. Seharusnya kamu nggak perlu bawa - bawa dia lagi dalam kehidupan kami, Ram."   Terputar Aku meluapkan seluruh isi hatiku. Peliknya masa lalu itu terputar kembali dalam otak ini. Keluargaku hancur. Anakku menjadi korban.  Kami jadi bahan gunjingan orang - orang. Kami sudah hidup seperti dalam neraka. Lambat laun kami bisa menjadi lebih baik. Namun luka itu masih ada. Jika diingatkan lagi, luka itu akan terasa kembali sakitnya. Atau mungkin justru akan lebih parah.  "Tapi, Nara. Apa yang kamu katakan itu, adalah menurut sudut pandang kamu. Apa kamu sudah bertanya pada Arkana, dia ingin bertemu ibunya atau tidak, ingin didampingi ibunya atau tidak. Aku yakin, Arkana sebenarnya ingin bilang ke kamu yang sejujurnya. Tapi ya seperti itu lah kamu. Kamu selalu nge - gas tiap kali masalah Ardina dibahas. Makanya Arkana udah takut duluan tiap kali mau nanyain ibunya."  Tidak bisa aku ungkapkan bagaimana rasanya hatiku mendengar ucapan Ramli sekali lagi. Bagaimana Ramli bisa dengan begitu mudah mengucap kata - kata menyakitkan itu?  "Emangnya kamu tahu apa perihal kehidupan kami, Ram? Kamu memang pernah mendengar cerita dari aku sendiri? Memangnya aku pernah cerita sama kamu? Memangnya kamu pernah mengalami apa yang kami alami? Harusnya kamu nggak sok tahu."  "Kamu yang terlalu menganggap diri kamu benar, Nara. Padahal kamu sebenarnya masih sayang, kan, sama Ardina. Kamu hanya terlalu cemburu sama sesuatu yang belum benar adanya. Kamu marah karena persepsi kamu sendiri. Akhirnya Arkana yang jadi korban."  "Kamu tahu apa, sih, Ram? Aku yang menjalani kehidupan aku sendiri. Kamu tahu apa? Kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu? Dia hanya bagian dari masa lalu kami. Masa lalu yang kelam."  "Coba sesekali tanya pada hati kamu sendiri, Nara. Jangan melulu egois. Jangan melulu merasa paling benar sendiri. Dan sesekali coba tanya juga sama Arkana. Apa dia rindu sama mamanya atau enggak. Pasti dia akan jawab iya. Aku jamin itu."  Aku terdiam dengan napas yang memburu. Aku menatap Ramli dengan tajam. Ramli pun menatapku dengan pandangan yang sama.  Rahmi di belakang Ramli mencoba menenangkan sang suami dengan mengelus punggung bagian atasnya. Rahmi tidak berusaha menjadi penengah di antara kami. Jadi Rahmi pasti berada dalam satu pikiran yang sama dengan suaminya.  Kenapa mereka ini? Aku dan Arkana sudah berhasil menjalani kehidupan yang cukup baik tanpa wanita itu selama ini. Lalu sekarang kenapa mereka mengingatkan kembali tentang penyebab utama luka lama kami?  Ya, aku sudah bertekad untuk berubah. Aku sudah tidak mau lagi bersikap layaknya orang yang paling benar di dunia ini.  Tapi kalau untuk masalah itu ... mana aku bisa merasa tidak benar. Karena aku dan Arkana memang benar adalah korban. Wanita itu sudah menyebabkan luka yang begitu besar dalam kehidupan kami.  Aku hanya diam, bukan berarti aku tidak mau menjawab lagi ucapan Ramli. Semakin aku jawab, Ramli akan semakin mengeluarkan sisi sok tahunya. Aku sudah malas mendengar ucapan - ucapannya tentang wanita jahat itu.  "Yah ... udah malem banget ini. Sebaiknya kita cepet pamit aja, yuk. Pak Anara pasti juga udah capek, mau istirahat. Arkana juga harus menyiapkan diri untuk operasi besok. Femila juga pasti udah puas ngobrol berdua aja sama Arkana." Akhirnya Rahmi buka suara. Meski bukan kalimat penengah antara perdebatanku dengan Ramli.  Ia hanya ingin perdebatan kamu segera berakhir. Sehingga tidak membuat suasana gadis yang menggangu pasien lain.  Ramli segera beranjak dari posisi duduknya. Ternyata ia belum selesai bicara denganku.  "Aku pamit, Mata. Aku harap kamu bisa menggunakan waktu yang ada untuk berpikir, Nara. Tenangkan diri kamu supaya kamu bisa berpikir jernih. Tanyakan pada hati Nurani kamu. Dan jangan lupa tanyakan pula pada Arkana. Apakah dia rindu mamanya atau enggak. Aku yakin dia akan jawab iya. "Tumor bukan penyakit main - main, Nara. Aku aja yang udah setua ini, sakit dikit aja, pasti nyariin Mama. Meskipun udah asa Rahmi di samping aku. Tapi rasanya aku belum tenang kalau belum ketemu Mama. Mama sekadar telepon atau video call. Itu udah lebih dari cukup. Kamu pasti juga gitu, kan. Sebadung - badungnya kamu, kalau lagi dalam masa sulit, pasti orang pertama yang kamu cari adalah mama Aida. Iya, kan?  "Sedangkan Arkana ... dia masih sangat muda. Dia harus menghadapi perceraian orang tuanya, hidup tanpa ibunya bertahun - tahun, satu rumah dengan manusia kolot macam kamu. Dan sekarang, dia masih harus sakit parah. Dia pasti menderita banget karena harus menghadapi ini semua tanpa sosok ibunya. Dia pasti rindu banget. Tapi nggak berani bilang. Karena pasti nggak akan kamu bolehin. Itu namanya apa, kalau kamu bukan egois, Nara?"  Aku masih terdiam menunduk. Aku sama sekali tidak ingin mendengar ceramah panjang Ramli. Tapi suaranya terlalu keras untuk tidak masuk dalam telingaku. Telingaku masih terlalu sehat untuk tidak mendengar kata - katanya.  Tapi aku masih bungkam. Sekali lagi, bukan karena aku tak mau menjawab. Tapi karena aku tidak mau lagi mendengar ceramah panjangnya. Semakin aku jawab, akan semakin banyak pula ceramahnya. Dan itu akan membuat aku semakin pusing.  Rahmi melangkah melewati aku, ia menuju kamar Arkana, lalu membuka pintu.  "Astaga ... asyik banget kalian ngobrolnya. Gitu ya, beraninya kalau lagi berduaan aja." Rahmi langsung menggoda Femila dan Arkana di dalam sana.  Ramli lalu melangkah menyusul istrinya. Sementara aku baru beranjak, agak malas mengikuti mereka sebenarnya. Tapi kalau tidak ikut nanti dibilang tidak sopan. Arkana dan Femila juga pasti aka curiga. Mengingat tadi kami baik - baik saja.  Saat masuk kamar Arkana, aku lihat mereka semua sedang tertawa bersama. Sepertinya karena menggoda Arkana dan Femila yang akhirnya menjadi akrab kembali setelah dibiarkan berinteraksi berdua saja tanpa orang tua yang terlibat.  Rahmi kemudian mewakili keluarganya untuk berpamitan. Aku berusaha bersikap sebiasa mungkin. Tak ingin Arkana curiga.  Aku mengantar mereka sampai di depan pintu, sampai mereka sudah tidak terlihat lagi karena sudah keluar ujung lorong.  Aku kembali ke dekat Arkana, duduk di kursi plastik di sebelahnya.  "Udah malem, Nak. Buruan tidur kamu. Istirahat yang banyak, persiapan besok." Aku segera menasihatinya sembari mengelus rambutnya.  Kata - kata Ramli terngiang - ngiang di kepalaku. Dia menyuruh aku untuk bertanya pada Arkana tentang apa yang sebenarnya ia rasakan. Tapi aku tidak akan pernah menanyakan itu.  Aku kemudian beranjak dan berbaring ke sofa panjang.  Arkana tampak sedang menatapku.  "Kenapa, Arka?" tanyaku. "Jangan bilang kamu kebayang - bayang wajah manis Femila, jadi nggak bisa tidur." Aku menggodanya.  Ia pun terkikik. "Enggak lah, Pa."  "Lah, enggak gimana? Femila nggak cantik maksudnya?"  "Ya enggak lah. Dia mah cantik banget. Maksudnya bukan nggak bisa tidur karena kebayang muka Femila. Tapi karena belum ngantuk aja."  "Astaga ... anak Papa udah tahu cewek cantik." Arkana lagi - lagi terkikik. "Kalau Papa cape, Papa tidur aja. Aku boleh main hp sebentar kan, Pa. Biar kepancing ntar ngantuknya."  "Astaga ... mau ngobrol lagi sama Femila pasti, ya. Tadi belum puas pasti. Hayo ngaku."  Arkana kembali tergelak. "Astaga Papa ...." Ia mengulurkan tangan mengambil ponsel di nakas.  "Jangan malem - malem tapi tidurnya. Maksimal jam 10, udah harus tidur pokoknya." Aku berakhir memperbolehkan ia main ponsel. Tapi diiringi dengan ancaman.  "Oke ... oke ... siap bos."  ~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~  T B C 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD