Bagian 21

1401 Words
Aku pun mengetik pesan serupa dengan yang aku kirimkan pada Puspita sebelumnya. 'Assalamualaikum. Saya Anara. Mantan suami Ardina. Saya tahu nomor Anda dari buku kelulusan universitas. Apakah Anda benar Rani sahabat karib Ardina ketika masih kuliah dulu?' Aku sengaja tidak terus terang bahwa aku mendapat nomornya dari Puspita. Dan mendapatkan rekomendasi untuk menghubunginya melalui Puspita pula. Aku hanya merasa, akan lebih nyaman jika aku bicara seperti ini. Akan lebih nyaman pula untuk Puspita dan Rani sendiri. Sayangnya tidak seperti Puspita yang langsung membaca dan membalas pesan, Rani tidak langsung melakukannya. Pesanku terkirim, namun urung dibaca. Aku menarik napas dalam, berusaha meningkatkan lebih banyak kesabaran. Dan tiba - tiba aku kembali disergap jalan buntu. Aku kembali merasa bagaikan kehilangan harapan. Aku berjalan gontai menaiki anak tangga demi anak tangga. Aku akan berganti pakaian. Sepertinya dari pada aku merasa sesak di rumah sendirian, akibat belum menemukan jalan terang, lebih baik aku kembali ke rumah sakit, menemani Mama bersama Arkana. ~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~  Mama menatapku dengan sengit ketika aku datang. Bisa aku tebak kenapa ekspresi Mama seperti itu. Tapi aku seakan tidak ada energi untuk menjelaskan. Jadi aku pasrah saja saat Mama meluapkan emosi padaku. "Kamu ke mana aja, ngapain aja, Nara, sampai - sampai pesan dari Mama nggak kamu bales sama sekali?"  Iya, kan. Tebakanku seratus persen benar, sama sekali tidak meleset. Ya bagaimana aku mengabaikan pesan Mama. Sementara Mama mengirim pesan saat detik - detik aku mendapatkan balasan pesan kurang mengenakkan dari Puspita. Tentang wanita itu yang ternyata sudah kehilangan kontak dengan Ardina. "Kan yang tadi siang usah aku bales, Ma." Aku coba mencari alasan. "Itu kan yang tadi siang Nara. Yang sore ini nggak kamu bales!" "Mama tadi bilang aku ngga bales sama sekali. Berarti konsep kata - katanya salah dong." "Yah, dia malah ngajarin emaknya. Ngapain aja kamu sampai nggak balas pesan Mama? Padahal aku online terus sejak tadi!" Aku menghela napas panjang. Astaga ... galak sekali ibuku ini. Rasanya jantung ini hendak melompat dari peraduannya. "Mama tanya gimana, apakah aku sudah ketemu dengan Ardina ... jawabannya masih sama, Ma. Aku belum ketemu sama Ardina. Dan belum tahu di mana keberadaannya sampai sekarang." Aku menjawab dengan lemas. "Astaga ... terus kamu ngapain aja seharian ini, Nara. Mama pikir kamu setidaknya udah tahu ke mana Ardina pindah!" Ingin rasanya aku membenturkan kepalaku sendiri ke tembok sekarang. Setelah apa yang aku lakukan seharian ini, apa yang aku hadapi seharian ini, Mama masih bertanya apa saja yang aku lakukan sampai - sampai belum menemukan Ardina. Aku lagi - lagi menarik napas panjang. Berusaha bersabar. Berusaha memulai penjelasan, supaya Mama mengerti, dan tidak marah - marah lagi. Aku tidak boleh emosi. Sekali lagi, karena aku sudah berjanji akan menjadi manusia yang lebih baik. "Pak Warsito sudah kasih aku dokumen, Ma. Tapi karena udah lama dan bertumpuk sama dokumen lain, dan cara penyimpanan yang kurang tepat, jadinya dokumen itu rusak. Tulisannya udah nggak bisa dibaca sama sekali. Pak  Warsito menyarankan aku supaya mencari dokumen tembusannya ke balai desa Pule, atau ke dinas kependudukan. Sayangnya jam segitu tadi aku udah nggak memungkinkan untuk ke dua tempat itu. "Terus aku pulang. Aku punya ide untuk coba menghubungi teman - teman Ardina saat sekolah dulu. Aku coba cari data mereka di gudang. Alhamdulillah ketemu. Aku berhasil menghubungi salah satu dari mereka, namanya Puspita. Dia bilang Ardina pindah ke Surabaya. Sayangnya dia nggak tahu alamat pas - nya. Soalnya dia nggak punya kesempatan tahu lebih jauh, karena setelah itu dia juga kehilangan kontak sama Ardina. "Tapi Puspita menyarankan aku untuk menghubungi salah satu teman mereka juga, namanya Rani. Katanya Rani ini adalah yang paling dekat dengan Ardina. Dan dia bekerja di Surabaya beberapa saat setelah kepindahan Ardina ke sana. Jadi bisa jadi, Rani adalah orang yang kemungkinan besar, adalah yang paling tahu tentang keberadaan Ardina sekarang." Aku berhasil menjelaskan dengan baik dan tenang sepanjang itu. Meski akhirnya aku ngos - ngosan. Tidak, bukan karena aku bicara panjang kali lebar. Lebih karena aku yang sedang bersusah payah mengontrol emosiku sendiri. Raut wajah Mama berubah. Sepertinya menyesal karena sudah bicara macam - macam padaku. Padahal aku sudah melalui hari yang berat. "Maafin Mama ya, Nara. Mama nggak tahu kalau kamu menghadapi hari yang berat." Mama dengan tulus meminta maaf. "It ' s okay, Ma. Aku tahu Mama begitu karena ingin segera mempertemukan Ardina dengan Arkana. Aku pun sama, Ma." Mama berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahku, kemudian menggenggam jemariku. "Yang sabar, ya, Nara. Percaya deh, usaha nggak akan mengkhianati hasil. Kamu pasti akan segera menemukan Ardina. Jadi gimana, kamu sudah coba menghubungi Rani?" Aku mengangguk. "Sudah, Ma. Tapi dia belum jawab pesan aku. Mungkin masih sibuk. Makanya aku belum tahu lagi apa yang harus aku lakukan sekarang. Misal Rani jawab malam ini, syukur lah. Misal nggak, ya berarti besok aku harus ke balai desa Pule atau ke dinas kependudukan pagi - lagi sekali." Mama masih menggenggam jemariku, seolah ingin menyalurkan energi positif melalui rangsang sentuhan itu. Dan secara ajaib, sentuhan itu memang membuatku merasa lebih tenang. "Semangat ya, Nara. Demi Arkana," ucap Mama kemudian. Aku pun tersenyum mendengar ucapannya itu. Kini mataku teralih pada Arkana di sana. Arkana yang masih terbaring lemah di atas ranjang dengan berbagai selang medis yang menyokong kehidupannya. Dan kedua matanya masih terpejam rapat. Urung jua terbuka. Melihat apa yang sedang aku lakukan, Mama pun akhirnya melepas genggamannya. Seakan mengerti apa yang sedang ingin aku lakukan. Aku pun segera beranjak setelahnya, berjalan pelan menghampiri Arkana. Kini aku berdiri di samping brankar yang menjadi penopang tubuh putraku saat ini. Arkana tidak nampak seperti orang sakit. Andai saja kepalanya tidak dibebat oleh perban putih itu, ia hanya terlihat seperti orang yang sedang tertidur pulas. Aku tersenyum menatap raut wajahnya yang damai. Aku lalu meraih jemarinya, menggenggamnya. "Hari ini, Hari pertama perjuangan Papa mencari Mama kamu, Sayang. Papa akui hari ini nggak mudah. Sampai Papa rasanya ingin menyerah. Tapi Papa nggak akan melakukannya. Papa nggak akan menyerah. Mungkin ini adalah cara Tuhan menghukum Papa. Karena dulu sudah mengusir Mama kamu. Maka setelah Papa menyesal dan mencarinya, Tuhan sengaja membuat jalur yang rumit.  "Papa tahu. Meski sedang menghukum Papa. Tapi Tuhan akan pengertian pada kamu yang sudah sangat merindukan Mama kamu itu. Sehingga Tuhan pasti akan segera mempertemukan kalian. Dengan kata lain, Papa akan segera menemukan Mama kamu. Doain Papa, ya, Nak. Supaya Papa cepat bisa ketenu sama Mama kamu. Semoga aja." Aku semakin mengeratkan genggamanku pada jemari kurus Arkana. Pikiranku masih tertuju pada ketidak pastian yang ada. Entah besok aku akan ke balai desa Pule, atau ke dinas kependudukan, atau justru ke tempat lain karena Rani sudah akan membalas pesanku tadi. Entah lah. Aku pun tidak tahu. Sungguh, aku tidak pernah berada dalam kesulitan seperti ini sebelumnya. Bahkan saat perceraian itu terjadi, tidak lah sesulit ini rasanya. Wajah tenang di hadapanku ini. Wajah putraku yang begitu teduh. Wajah yang kembali memacu semangatku untuk terus maju.  Ardina ... di mana kamu? Ardina ... tidak kah kamu bisa merasakan firasat tentang kondisi putra kita? Ardina ... Apakah kamu sudah menemukan kebahagiaan yang baru? Ardina ... meski ternyata kini kamu sudah menemukan kebahagiaan yang baru, tolong jangan lupakan Arkana. Tolong tetap sayangi dia. Ardina ... aku tidak meminta kamu memaafkan aku. Aku hanya minta ... tolong kembali ... untuk Arkana. ~ ~ ~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~ ~ ~  Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Single Father. Mau tahu kenapa dikasih judul Single Father? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         - - T B C - -          

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD