Bagian 15

1139 Words
Dua hari berlalu. Arkana sudah dipindahkan dari ruang observasi ke ruang ICU. Selama itu, Arkana belum sadarkan diri, meski sudah tidak lagi berada dalam pengaruh obat bius. Selama itu pula, aku terus - menerus dihantui oleh rasa bersalah dan kekhawatiran yang begitu besar. Seandainya saja ... seandainya saja pada detik - detik menjelang operasi, aku tidak membuat perasaan Arkana jadi kacau, seandainya saja aku bisa mengontrol emosi, demi menyenangkan hatinya. Aku yakin hal ini tidak akan terjadi. Operasi berjalan dengan lancar dan berhasil, namun kondisi Arkana justru kritis. Ini semua adalah salahku.  Hati nurani ini sudah berteriak pada diriku untuk segera melakukan sesuatu. Namun sisi lain dari hatiku melarang diri ini untuk segera bergerak. Mama pun nampak begitu sedih. Namun yang ia tahu, kondisi Arkana menjadi kritis memang karena kondisi pasca operasi itu. Seandainya Mama tahu aku dan Arkana terlihat dalam obrolan tak mengenakan sebelum operasi, aku yakin Mama pasti akan jadi orang pertama yang menyalahkan aku. Mama pasti akan berteriak padaku. Memintaku untuk segera mencari dia .... Supaya Arkana cepat pulih. Cepat sadar. Dan kembali sehat seperti semula. Namun aku tidak punya nyali untuk memberi tahu Mama tentang itu. Ya, aku akui. Aku memang seorang pengecut. "Ma ...." Aku menyentuh bahu ibuku. Mama segera menoleh. Wajahnya sembab karena terlalu lama menangis. "Kenapa, Nara?" Suaranya pun serak dan parau karena tangisnya yang tak kunjung berhenti. "Aku pergi cari kopi sebentar, ya. Mama mau nitip sesuatu nggak?"  Mama menggeleng. "Nggak, deh, Nara." "Ya udah, aku pamit dulu ya, Ma." Mama hanya menjawab dengan sebuah anggukan. Aku melenggang pergi dengan langkah pelan. Sesekali aku kembali menoleh ke arah Mana. Mama hanya diam menunduk. Sesekali melihat Arkana di dalam ICU, dari dinding kaca yang memungkinkan kami mengawasi Arkana secara bebas. Namun tidak bisa menyentuhnya karena sementara hanya tim medis yang diperbolehkan masuk. ~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~ Nyatanya aku tidak pergi cari kopi seperti yang aku katakan pada Mama tadi. Aku justru pergi ke ruangan dokter Lugas. Entah mengapa, aku menganggap orang itu bisa membantuku saat ini. Aku mengetuk pintu ruangannya. "Masuk." Ia segera memberi tanggapan. Aku pun segera memutar knop pintu. Untuk beberapa saat bukannya langsung masuk, aku hanya berdiri diam di ambang pintu. "Pak Anara," ucapnya begitu tahu bahwa aku lah orang yang datang. "Silakan masuk, Pak." Aku pun berjalan gontai masuk ke ruangannya. Dinginnya air conditioner segera menusuk setiap inci kulitku. Aku pun duduk di hadapannya. Jarak kami dipisahkan oleh sebuah meja. Ia menatap wajahku yang datar tanpa ekspresi. Namun pasti kentara bahwa aku sedang memendam banyak hal. Memendam banyak beban di hati, yang tercipta karena kesalahanku sendiri. "Kalau boleh saya tahu, ada apa Pak Anara datang ke mari?" Ia bertanya. Tentu saja ia bertanya karena aku hanya diam. Ia pasti bingung karena aku tiba - tiba datang dalam keadaan kacau. Namun bukannya bicara, malah diam seribu bahasa. Aku menarik napas dalam sebelum akhirnya bicara. "S - sebenarnya ... sebenernya, Dok. Saya terlibat obrolan yang kurang mengenakan dengan Arkana. Sesaat sebelum operasi dimulai. Saya tahu, nggak seharusnya itu terjadi. Karena saya ingat betul dengan pesan dokter. Bahwa sebisa mungkin saya harus menjaga perasaan Arkana menjelang operasi. Sebisa mungkin saya harus buat dia bahagia. Sebisa mungkin saya harus hindarkan dia dari stres. Tapi saya melanggar itu." Dokter Lugas kini menatapku. Ia pasti kesal dengan apa yang sudah aku lakukan. Tapi juga tidak bisa menghakimi aku. Karena ia tidak tahu pokok permasalahannya. Dan juga karena aku sudah mengaku salah. "Memangnya Pak Anara dan Arkana terlibat dalam percakapan apa?" tanyanya. "Tentang mantan istri saya. Arkana hanya bilang rindu padanya. Saya tahu, wajar seorang anak merindukan sosok seorang ibu. Terlebih saat ini ia sedang sakit parah. Dan saat itu menjelang ia melakukan sebuah operasi besar. Tapi ... sejak dulu saya selalu sensitif tiap kali membahas tentang mantan istri saya. Bahkan ketika pagi itu, saya tetap emosi ketika Arkana membahas tentang dia.  "Saya sudah berusaha sebisa mungkin mengontrol emosi. Namun saya tetap gagal. Saya tahu, ini benar - benar tidak bisa dimaafkan. Saya mengatakan sesuatu yang pasti sangat menyakitkan bagi Arkana. Dia sampai menangis pagi itu. Seketika saya merasa sangat bersalah. Namun semua sudah telanjur terjadi. Dan Arkana masuk ke dalam ruang operasi, dengan kondisi hati yang tidak bahagia.  "Perasaan saya sangat tidak enak sepanjang operasi berjalan. Saya takut akan terjadi sesuatu pada Arkana di tengah - tengah operasi. Atau sesuatu itu terjadi pasca operasi. Saya sangat takut. Saya terus memanjatkan doa pada Tuhan. Saya minta Arkana diselamatkan. Tuhan mengabulkan permintaan saya. Arkana selamat. Meski dalam keadaan kritis. Dan Tuhan menghukum saya, dengan menjadikan Arkana belum sadarkan diri hingga detik ini. "Dok ... karena perasaan bersalah dalam hati saya ini begitu besar ... saya sangat ingin menebus kesalahan saya ini. Hati kecil saya sudah berniat untuk mencari mantan istri saya sekarang. Dan saya akan mempertemukan dia dengan Arkana. Saya pikir dengan melakukan itu, akan merangsang Arkana supaya cepat sadar. Dan ia akan memiliki semangat untuk segera sembuh. Karena ia ingin segera bertemu dan memeluk ibunya kembali seperti dulu. "Tapi, Dok ... diri saya yang egois ini ... sisi hati saya yang lain ... dia masih ragu untuk melakukan itu. Menganggap bahwa asumsi saya tadi, hanya lah sebuah asumsi semata. Oleh karena itu, saya ingin Dokter membantu saya. Saat ini pendapat itu adalah satu lawan satu. Yaitu hati nurani saya, dan hati egois saya. Saya butuh satu opini, apakah saya harus mencari mantan istri saya. Atau saya menuruti sisi hati egois saya. Jika ada dua suara di salah satu sisi, saya akan merasa sangat terbantu. Dan saya akan sangat berterima kasih. "Dokter adalah seorang ahli di bidangnya. Dan akan mengeluarkan semua perkataan tentang kondisi Arkana secara ilmiah, berdasarkan penelitian. Bukan hanya asumsi seperti yang saya pikirkan sebagai orang awam. Tolong katakan pada saya, apakah saya harus menjadi mantan istri saya, atau saya hanya harus diam, menunggu Arkana sadar dengan sendirinya?" Dokter Lugas menaikkan posisi kaca matanya yang melorot. Ia menarik napas dalam. "Pak Anara ... saya salut karena Anda mengakui kesalahan Anda itu. Namun maaf jika saya terkesan tidak sopan. Namun saya katakan, Anda harus benar - benar mengurangi sisi egois Anda mulai sekarang. Jawaban saya, tentu saja Anda harus mencari mantan istri Anda. Tentu saja kehadirannya akan sangat membantu dalam proses kesembuhan Arkana. Jadi lebih cepat Anda membawa ibunya padanya, akan lebih cepat pula Arkana akan pulih dari kondisi kritisnya." Dari jawaban dokter Lugas itu, akhirnya aku sudah menemukan jawaban. Akhirnya aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan. Namun sekarang pertanyaannya ... di mana aku harus mencarinya? Di mana aku harus mencari Ardina? Sementara sudah belasan tahun kami berpisah tanpa saling memberi kabar sama sekali. Dan aku sudah telanjur membuang segala hal tentangnya. Termasuk nomor kontak orang - orang yang berhubungan dengan kami. Dan aku sudah mengatakan padanya untuk tidak pernah muncul lagi. Aku telah terkena Boomerang yang aku lemparkan sendiri. ~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~  T B C 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD