"Masya Allah, ini bisa dikatakan adalah sebuah anugerah, Pak Anara. Sebuah keajaiban. Ini hasil dadi kekuatan doa Bapak dan Ibu Aida. Pasien dengan kondisi seperti Arkana, biasanya tidak akan sadar secepat ini. Dalam diri Arkana pun pasti terdapat keinginan yang sangat besar untuk sembuh. Makanya ini ini bisa terjadi. Sungguh di luar prediksi medis." Dokter Lugas mengungkapkan betapa ini adalah sebuah keajaiban. Ia bahkan tidak percaya ini terjadi.
Aku benar - benar bahagia dan bersyukur. Bahkan saat ini kondisi Arkana bisa dikatakan stabil.
"Lantas bagaimana kelanjutannya, Dok? Operasi itu tetap dilakukan ... atau ...." Aku tidak berani melanjutkan pertanyaan itu. Tapi aku yakin dokter Lugas pasti juga sudah mengerti.
"Ya, tentu pengobatan akan tetap dilakukan. Salah satu jalan kesembuhan Arkana adalah dengan melalui operasi pengangkatan tumornya, sebelum berkembang menjadi lebih besar lagi, dan otomatis akan lebih berisiko. Maka dari itu Opera akan segera dilakukan."
Aku mengangguk mengerti. "Baik, Dok. Kira - kira kapan operasi akan dilakukan? Saya pasti harus menyampaikan ini pada Arkana. Sehingga Arkana juga bisa menyiapkan mentalnya."
"Ya, tentu saja, Pak Anara. Kondisi Arkana sebenarnya cukup bagus hari ini untuk dilakukan operasi. Hanya saja kami juga butuh untuk mempersiapkan segala keperluan, dan juga para tim medis yang akan terlibat dalam operasi tersebut. Jadi operasi baru akan kami lakukan besok."
"Ya ... ya ... saya akan segera beri tahu Arkana tentang kondisinya. Sekalian kasih tahu ibu saja juga. Karena tadi belum sempat kasih tahu, takut beliau terlalu syok. Karena sekarang ternyata Arkana sudah sadar. Saya jadi merasa lebih lega untuk menjelaskan pada Mama."
Dokter Lugas tersenyum seolah mengerti dan memaklumi betapa memang aku takut memberi tahu Mama tadinya.
"Iya, Pak Anara. Saya ucapkan selamat sekali lagi atas kesadaran Arkana. Ini benar - benar keajaiban, terjadi di luar kuasa kami. Hanya karena bantuan Allah. Kalau begitu saya pamit. Untuk segera menyiapkan tim operasi untuk Arkana besok."
"Baik, Dok. Sekali lagi terima kasih."
"Tida perlu, Pak Anara."
~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
Ketika aku sampai di kamar Arkana, rupanya putraku itu sedang berbincang - bincang dengan Mama. Mama benar - benar nampak bahagia. Berbeda 180° dengan kondisinya tadi, saat Arkana belum sadar.
Kehadiranku segera menyita perhatian mereka berdua.
"Gimana, Nara, kata dokter Lugas?" Mama segera bertanya. "Tadi kamu juga mau jelasin sesuatu ke Mana tentang hasil pemeriksaan lengkap Arkana tempo hari kan? Ayo lanjutkan sekarang aja. Arkana pasti juga mau tahu kondisinya."
"Iya, Ma," jawabku. "Akan aku jelaskan sekarang, perkembangan kondisi Arkana. Alhamdulillah, ternyata tumor yang ada di kepala Arkana masih bisa ditangani dengan cara pembedahan. Lebih cepat dilakukan lebih baik, karena tumornya semakin lama akan semakin besar. Maka dari itu, operasi akan dilakukan besok, untuk mencegah kemungkinan dia berkembang lebih besar."
Aku sudah berusaha menjelaskan dengan cara sehalus mungkin. Aku bukan seorang profesional seperti dokter Lugas, jadi ya harap maklum saja jika penjelasan ini tidak semulus penjelasan dokter Lugas. Tapi aku sudah berusaha untuk menjelaskan dengan cara sehalus mungkin.
"Astaghfirullah, jadi ternyata penyebabnya adalah tumor?" Mama nampak syok. Tapi ia tidak akan sesantai ini bila tahu kondisi Arkana sebelum putraku itu bangun tadi.
"Iya, Ma. Ternyata penyebabnya adalah tumor. Alhamdulillah kita masih diberi keberuntungan dengan tahu lebih cepat meski sebenarnya kita punya kesempatan untuk tahu jauh lebih cepat, karena kesalahan aku. Sekali lagi Papa minta maaf ya, Nak?" Sekali lagi aku minta maaf pada putraku.
Aku meminta maaf saat ia belum sadarkan diri. Kini saat ia sudah sadar, aku segera mengutarakan kata maaf lagi, supaya ia bisa mendengar ini secara langsung.
Arkana tersenyum. Ia nampak tegar meski tahu ia ternyata mengidap penyakit yang bukan main - main. Bahkan di usia yang masih begitu muda.
"Aku udah denger Papa minta maaf berkali - kali. Mau sampai berapa kali Papa minta maaf terus?" Arkana malah meledekku.
Dan ledekannya segera disambut tawa Mama, dan aku sendiri.
"Tapi, Pa. Selama ini aku tuh nggak pernah ngerasain gejala yang ekstra. Maksudnya ya cuman sering pusing. Tapi nggak sakit kepala. Sampai aku tiba - tiba jatuh di sekolah itu. Aku nggak ngerti kenapa tiba - tiba tubuhku kayak nggak mau dengerin perintah otakku. Dia gerak kayak di luar kendali. Makanya aku jatuh. Kira - kira tumornya tumbuh karena aku jatuh, apa karena sebelumnya udah ada, ya? Soalnya sama sekali bukan gejala serius yang aku alami."
Aku tersenyum mendengar pertanyaan putraku. Wajar jika bingung. Aku pun ta menerima ini pada awalnya, karena ia memang tak pernah mengeluhkan apa pun. Karena memang tidak ada gejala yang berarti, sampai ia tiba - tiba jatuh di sekolah. Untung tadi aku sudah sempat membicarakan hal ini dengan dokter Lugas.
"Kata dokter Lugas, tumor itu sudah berkembang di dalam otak kamu sebelum peristiwa kamu terjatuh. Memang dalam beberapa kasus, tumor nggak menunjukkan gejala sakit yang signifikan, seperti yang kamu alami. Baru terasa ketika ukurannya sudah cukup besar dan mempengaruhi kondis kamu. Contohnya kondisi saat tiba - tiba tubuh kamu terasa nggak terkoordinasi. Itu karena tumornya sudah mempengaruhi bagian syaraf motorik kamu.
"Tapi Alhamdulillah, karena itu, karena kamu jatuh, itu adalah jalan Allah buat ngasih tahu kita, bahwa ada yang salah sama tubuh kamu. Alhamdulillah kita dikasih tahu sebelum keadaan kamu jadi lebih parah. Sayangnya Papa justru nggak peka dan Denial."
"Udah deh Pa. Udah jangan dibahas lagi. Yang penting kan kita sekarang udah tahu. Dan udah dapet solusinya."
Iya, kan? Putraku sendiri bahkan lebih bijak dan lebih dewasa dibandingkan aku.
Terlihat sekali Mama bangga pada Arkana. Ia tersenyum bangga sembari mengelus - elus kepala Arkana dengan begitu sayangnya.
"Kamu persiapkan diri ya, Nak. Untuk operasi besok. Tolong jangan mikir aneh - aneh. Kamu harus tetap optimis, yakin bahwa operasinya akan berhasil. Dan setelah itu kamu akan segera sembuh. Pikiran positif akan memberi sugesti positif. Sehingga tubuh kamu akan membaca sinyal itu. Kemudian insya Allah kondisi kamu akan mengikuti sugesti positif itu. Demikian pula sebaliknya. Jangan sampai pesimis ya. Papa sama Oma hanya bisa bantu doa. Kamu yang berjuang di dalam ruang operasi sama para tim medis."
Lagi - lagi Arkana tersenyum. Senyuman yang begitu menguatkan aku. Betapa luar biasa dia itu. Di saat ia sendiri pasti Sebenarnya juga syok tahu kondisinya. Tapi ia mampu nampak setegar itu.
"Iya, Pa. Aku sayang Papa."
Ia begitu tulus mengatakan itu. Tanpa sadar air mataku lolos.
Aku segera berhambur memeluknya. Mengecup wajahnya berkali - kali.
~~~ Single Father - Sheilanda Khoirunnisa ~~~
T B C