“Alangkah baiknya kita enggak lari dari kenyataan, karena itu hanya membuat masalah semakin melebar.”
Episode 7 : Des yang Mulai Aneh
***
Lily memilih diam dan memang sengaja menunggu Des berbicara lebih dulu. Akan tetapi, pria itu masih diam dan bahkan terkesan sengaja mengabaikan Lily. Bahkan hingga mobil memasuki kawasan perusahaan, semuanya masih sama.
Des tak sedikit pun melirik Lily meski seharian penuh, wanita tersebut sibuk menjadi asisten pribadinya. Kata “terima kasih” atau “maaf” yang biasanya menghiasi kebersamaan, juga tidak terdengar dari bibir berisi Des. Pun mengenai keteledoran yang menimpa Tya kemarin. Des sama sekali tidak membahasnya.
“Ly, ... sebenarnya, kamu ini manusia apa patung, sih?” keluh Des tiba-tiba.
Lily mengerling sambil mencoba mencermati maksud Des, hingga akhirnya ia melirik Des. Pria itu masih menatap lurus ke depan. Dan sepertinya, suasana hati Des memang sedang tidak baik.
“Apakah aku sudah melakukan kesalahan?” tanya Lily sambil menatap bingung Des.
Des mendengkus sambil menepis tatapan Lily. Ia bahkan memunggungi Lily dan lebih tertarik menatap ke luar melalui jendela kaca di hadapannya. “Jangan ke arah rumah. Aku enggak mau langsung pulang.”
Sekalipun Des memang enam tahun lebih tua dari Lily, tetapi pria itu lebih sering bersikap seperti bayi. Manja seperti sekarang ini. Anehnya, Lily nyaman-nyaman saja dan dengan sabar selalu bersikap seperti “mama” yang begitu menyayangi anaknya.
“Ini malam minggu. Kakak-kakakmu pasti datang dan menunggu di rumah.” Lily sengaja mengingatkan Des perihal kebiasaan kakak-kakak Des. Mengenai malam Minggu yang akan selalu menjadi ritual rutin kakak berikut keluarga besar Des, yang biasanya akan berkumpul di kediaman keluarga Des.
Des menatap Lily dengan tatapan datar. “Tapi aku sedang tidak ingin pulang, apalagi bertemu mereka,” batinnya.
Diamnya Des membuat Lily mengerutkan dahi.
Yang Lily tahu, Des tidak punya banyak teman sebab pria itu hanya mendedikasikan hidup untuk bekerja dan keluarga. Des sangat jarang, bahkan terbilang tidak pernah menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang bersama teman maupun sahabat-sahabatnya. Lantas, Des mau ke mana? Kenapa juga Des seolah menghindari keluarga yang selalu menjadi prioritas pria itu?
“Aku mau makan jagung bakar,” sergah Des masih terdengar tidak bersemangat.
“Jagung bakar harus ke Lembang, kan?” balas Lily memastikan.
“Terus, aku enggak boleh makan jagung bakar, begitu?” saut Des sewot.
“Yakin? Malam minggu ke Lembang?” Sebab, satu-satunya jagung bakar favorit Des hanya ada di Lembang. Lily hafal semua tentang Des termasuk mengenai jagung bakar yang sedang Des mau.
Des melirik sebal Lily yang menatapnya penuh kepastian.
“Macet. Bisa-bisa kamu enggak hanya marah ke aku, melainkan semua orang yang kamu temui.” Lily masih meyakinkan Des.
“Aku, mau, makan, jagung, bakar!” Des berkata seperti sedang belajar mengeja.
“Tapi jagung bakar kesukaanmu, hanya ada di Lembang. Kalau makan yang lain aku enggak berani jamin. Perutmu enggak sakit saja sudah untung,” balas Lily masih sarat kesabaran.
Des mendengkus. Kendati wanita di sebelahnya sering memilih diam dalam menyikapinya, tetapi ada saat di mana Lily menjadi lawan debat yang baik. Tak hanya itu, Lily juga akan menjadi kakak, atau malah mama yang selalu menganggapnya bayi. Sungguh, Lily selalu mengupayakan yang terbaik untuknya. Bahkan tak jarang, Des akan bergantung, bermanja pada Lily.
“Ya sudah, kita ke Lembang. Nggak harus ke tukang jagung bakar langganan. Asal kamu menyediakan jagung dan alat bakarnya, itu sudah cukup,” ucap Des akhirnya.
“Mau bakar jagung sendiri?” Lily melirik Des dan kembali memastikan, untuk ke sekian kalinya.
Des menatap Lily. Bahkan ia sengaja menatap lama kedua manik mata Lily dan membiarkan wanita itu semakin menunggu. “Iya. Bilang ke mama, kita ada pekerjaan di luar kota. Aku beneran malas pulang, apalagi kalau ada kakak-kakakku.”
“Minggu sore, atau Senin pagi, biasanya mereka baru akan pulang. Jadi, ... kita pulang Senin sorenya?” lanjut Lily.
Des tidak langsung menjawab. Bahkan ia kembali memunggungi Lily. “Mengenai itu kita pikirkan nanti saja. Toh, meski aku enggak pulang, aku tetap akan kerja.”
Bak bocah yang sedang ngambek itulah keadan Des sekarang. Namun, Des benar-benar tidak bersemangat. Atau jangan-jangan, Des sedang sakit? Pikir Lily.
“Kalau begitu, kita menginap di tempat yang belum pernah didatangi keluargamu?” usul Lily lantaran Des masih saja diam.
Mendengar balasan Lily, Des langsung berkata cepat, “itulah yang harus kita lakukan, agar mereka tidak mengetahui rencana kita!”
“Baiklah, aku mengerti.” Lily langsung menyalakan mesin mobilnya.
“Thanks, Ly.”
“Alangkah baiknya kita enggak lari dari kenyataan, karena itu hanya membuat masalah semakin melebar.” Lily mengatakan itu tanpa menatap Des.
Mata Des terpejam damai. “Ly, aku capek. Please, biarin aku istirahat tanpa gangguan siapa pun. Aku enggak sepenuhnya lari dari kenyataan, kok. Serius!”
Melihat keadaan Des sekarang, Lily merasa pria itu memang sedang sangat lelah bahkan tertekan. Seorang Desendra menghindari keluarga yang biasanya selalu menjadi prioritas? Ini kenyataan aneh. Namun yang lebih aneh lagi, Des tiba-tiba mengambil alih kemudi dan meminta Lily istirahat.
“Kamu tidur saja. Istirahat,” ucap Des untuk ketiga kalinya sembari mengecek sekitar kaki termasuk memastikan rem kaki.
Lily menjadi terheran-heran menatap Des. “Kamu enggak sakit, kan?” Kelakuanmu bikin aku takut. Nggak biasanya kamu gini?”
Lily benar-benar mengkhawatirkan Des. Terlebih sampai kapan pun, di matanya, Des akan selalu jadi bayinya. Bayi yang akan selalu ia urus sebaik mungkin. Namun kini, Des seolah-olah akan melakukan ‘itu’ untuknya. Des seolah akan melindunginya.
Des mesem kemudian menoleh dan menatap Lily. Tak lama berselang, senyum tulus menghiasi wajahnya hingga ia terlihat semakin tampan. Des kembali ceria, sangat kontras dari sebelumnya. Pria itu seolah baru saja mendapatkan kekuatan bahkan nyawa tambahan. Hal tersebut pula yang membuat Lily semakin cemas, dan tidak dapat menyembunyikannya.
Lily memperhatikan Des berikut gerak-gerik pria itu. Dan kali ini, tangan kanan Des mulai memegang gas mobil.
“Des, aku masih menyayangi nyawaku! Aku juga ingin hidup lebih lama. Jangan main-main.” Lily takut, Des akan nekat mengemudi dengan kecepatan penuh hanya untuk memuaskan keadaannya yang sedang tidak baik-baik saja.
Des nyaris tergelak di tengah tatapannya terhadap Lily yang menjadi semakin dalam. “Kamu bisa menuntutku, kalau aku sampai mengemudi dengan tidak baik. Aku siap menerima semua hukuman dari kamu, kok!”
Kedua tangan Des mulai bekerja sama mengendalikan kemudi. Karena seperti ucapannya, ia akan mengemudi dengan baik untuk Lily. Ia bahkan siap mendapat hukuman jika sampai menyalahi aturan dalam kebersamaan mereka.
Bak orang bodoh, Lily yang masih terlihat cemas dan masih menatap Des, berangsur mengangguk. Lily menelan ludah beberapa kali, sambil terus menghela napas pelan, dan diam-diam memperhatikan cara Des mengemudi melalui lirikan.
Des melirik Lily kemudian tersenyum jail lantaran wanita itu belum mengenakan sabuk pengaman. “Ly, gunakan sabuk pengamanmu. Kamu tahu, kan, aku bisa saja lupa diri, kalau sudah berurusan dengan kemudi dan kecepatan?”
“D-des,” Lily merengek ketakutan. Kedua tangannya berpegangan erat pada pegangan di atasnya.
Untuk urusan kegilaan Des yang satu itu, memang terbilang rahasia. Bahkan bisa jadi, hanya Lily yang mengetahuinya. Karena setelah beberapa kali menemani pria itu ke arena balap mobil liar, tentu kata-kata Des barusan bukan gertakan sambal semata.
Lily menggeleng, menepis rasa takut berikut kemungkinan buruk andai Des jadi mengemudi dengan mengila seperti dulu, di mana laju mobil pria itu tak beda dengan embusan angin. Lily tidak mau kejadian di arena balap liar yang Des lakukan, sampai terulang bahkan sekarang. Itulah yang membuat kaki kanannya bergerak cepat menginjak rem, dikarenakan mobil sudah terlanjur melaju.
Ulah Lily membuat tubuh mereka mental, selain kedua tangan mereka yang sama-sama mencengkeram kemudi. Di mana tak lama berselang, Lily langsung mencabut kunci mobilnya.
Berbeda dari Lily, Des justru terlihat sangat ceria. “Ayolah, Ly ....” Ia melihat begitu banyak kecemasan yang tengah berusaha dikendalikan Lily.
Lily segera membuka pintu sambil berkata, “aku saja yang menyetir. Kamu istirahat saja. Bisa tiba-tiba tinggal di peti mati, kalau aku tetap membiarkanmu mengemudi.”
“Kok peti mati, sih?” tanya Des yang tak kunjung bisa mengendalikan tawanya. Akan tetapi, Lily tetap mengabaikan Des sembari terus melangkah.
Des membuka pintu kemudi sambil berusaha meredam tawanya. “Aku saja yang menyetir. Tadi itu aku hanya bercanda. Percayalah padaku. Kamu ini, ya. Susah banget kalau harus bergantung kepadaku!”
Lily menatap Des dengan pandangan curiga. Ia masih belum bisa percaya kepada Des, apalagi jika keadaannya seperti sekarang. Perihal Des yang sampai tertawa terpingkal-pingkal.
“Ly, seharusnya mulai sekarang, kamu belajar untuk percaya bahkan bergantung padaku,” lanjut Des
Kali ini tidak ada tanda-tanda, Des sedang bercanda. Dari gelagat, termasuk tatapan pria itu yang terlampau tenang, menunjukkan Des sedang serius. Seserius kata-kata yang baru saja terucap dari mulutnya.
Melalui anggukan tanpa mengalihkan tatapannya dari kedua mata Lily, Des menuntun wanita itu untuk kembali. Tangan kirinya menepuk-nepuk tempat duduk sebelahnya yang belum lama Lily tinggalkan, sementara tangan kanan masih mencengkeram santai kemudi.
“Kenapa Des menjadi seaneh ini?” batin Lily.
“Kenapa kamu begitu sulit menyadari, bahwa aku sangat nyaman saat bersamamu?” batin Des yang bahkan merasakan banyak kenyamanan hanya karena ia melihat wajah Lily.
Bersambung ....