BAB 3

1279 Words
Saat sedang asyik berbicara dengan Alea sambil berjalan menuju halte, tiba-tiba langkah Zulaikha terhenti karena ada yang memanggil. Yang dipanggil Zulaikha, tapi Alea juga menoleh. Dia langsung berbisik, meminta diberitahu siapa laki-laki tampan yang memanggil Zulaikha itu. Dia masih belum melihatnya dengan jelas. Saat tahu itu Kafka, ia langsung menutup mulut dengan telapak tangan. Zulaikha menempelkan jari telunjuk di bibir, menyuruh Alea untuk diam dulu, soalnya laki-laki yang Alea maksud kini sudah ada di hadapan mereka. "Ketemu lagi kita, kamu mau ke mana?" Ternyata laki-laki itu Kafka, dia tidak sendiri, ada teman satu prodi-nya juga yang ikut tersenyum ramah. Zulaikha tertawa kecil. "Mau pulang, Kak." Kafka menganggukkan kepalanya sambil membulatkan bibir. "Kamu emangnya enggak ke cafe?" "Nanti sehabis pulang ke rumah baru ke cafe, Kak." Lagi-lagi Kafka menganggukkan kepalanya. "Oh, ya, kenalin ini Amar, teman satu prodi-ku," ucap Kafka sambil merangkul teman laki-lakinya yang bernama Amar itu. Amar menangkupkan tangannya di d**a, laki-laki itu terlihat lebih pendiam daripada Kafka, meski pendiam dia tetap murah senyum. "Dan ini Alea, sama dia juga teman satu prodi-ku," ucap Zulaikha. Alea tersenyum manis sambil menangkupkan tangannya di d**a. Sekarang dia terlihat pendiam, tapi lihatlah nanti setelah dua laki-laki yang ada di hadapannya pergi, dijamin segala pujian dan harapan akan terlontar dari bibirnya. Alea memang pandai menjaga image. Bertepatan dengan itu busway berhenti, perbincangan mereka pun terhenti. Rupanya Kafka dan temannya pun hendak menaiki busway. Hari ini Alea naik busway, biasanya dia memilih bawa mobil sendiri, katanya mobilnya sedang diservis, jadilah dia naik busway. Kafka dan Amar masuk lebih dulu, siang ini busway benar-benar ramai, mereka harus desak-desakkan, untungnya busway sekarang sudah membedakan tempat laki-laki dan perempuan. "Lik, kamu bisa kenal sama anaknya pemilik perusahaan Alhusayn Group dari mana?" bisik Alea. "Di cafe." "Kok bisa?" "Ceritanya waktu itu ada yang nubruk aku, terus kopi panas yang ada di tangan aku jatuh ke si kakak itu. Aku sampai dimarahi pak Rendy, anak pemilik cafe, gara-gara itu. Untungnya kak Kafka bantu bicara. Ya, mulanya dari sana, dia baik, bahkan aku masih enggak nyangka dia anak dari pemilik perusahaan terkenal itu." Alea menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Kenapa aku yang baper, kayak di n****+-n****+ pertemuannya, ah! Kenapa aku enggak pernah ngerasain, sih! Apa aku harus jadi barista juga biar ketemu laki-laki kayak kak Kafka?" Alea langsung menampakkan wajah melas. Zulaikha hanya tertawa kecil menanggapinya. "Kamu tau enggak, dia punya kakak laki-laki, dan kakaknya itu enggak kalah ganteng, aku pernah ketemu langsung waktu antar ibu kontrol di rumah sakit." Zulaikha hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil, Alea memang tidak pernah kehabisan topik kalau sudah membahas laki-laki tampan. *** Kafka ada janji dengan Rizwan--teman laki-lakinya yang masih menjabat sebagai mahasiswa abadi. Dia dan Kafka memang sering nongkrong bersama sambil diskusi dan berbagi cerita. Mereka daftar kuliah bersama, tapi Kafka wisuda lebih dulu, meski begitu Kafka tidak pernah melupakan teman dekatnya itu meski banyak yang bilang Rizwan dekat dengan Kafka hanya ingin memanfaatkan. Kafka dan Rizwan sudah berteman sejak SMP, ia sudah kenal dekat dengan Rizwan, ia percaya Rizwan bukan orang yang seperti itu. Bahkan tak jarang Rizwan menolongnya saat kesusahaan. Rizwan sekarang sudah semester dua belas, skripsi yang ia garap sering kali mendapat cap sampah, mentalnya benar-benar diuji. Awalnya ia sempat marah sampai menangis karena tak bisa melampiaskan, tapi sekarang ia sudah kebal. Syukurnya tahun ini dosen pembimbing sudah jarang memberikannya coretan merah, ia berharap ada takdir baik di tahun ini. "Lu yang mesen atau gua nih?" tanya Rizwan saat mereka sudah mendapatkan tempat duduk. Hari ini cafe tidak terlalu ramai, pengunjungnya masih bisa dihitung jari dan rata-rata para mahasiswa. Kafka langsung bangun. "Gua aja." Setelah mengatakan itu dia langsung pergi ke tempat pemesanan. Di sana ada Anisa--salah satu barista yang dekat dengan Zulaikha. Saat memesan, tanpa sengaja Kafka menoleh ke arah pojok, di sana ada Zulaikha sedang duduk sambil menatap Al-Qur'an saku, bibirnya bergerak-gerak membaca ayat Al-Qur'an. Tiba-tiba jantungnya berdegup abnormal. "Mau pesan apa, Kak?" tanya Anisa yang baru saja selesai menulis pesanan orang yang lebih dulu. Kafka langsung mengerjapkan mata. "Ah, ya, Latte sama Americano, ya, di bangku nomor 7." Anisa langsung menulis pesanan Kafka. "Oke, ditunggu, ya, Kak," ucap Anisa sambil tersenyum ramah. Sekarang ia bertindak profesional, padahal lubuk hatinya yang paling dalam sedang bersorak, Kafka terlihat sangat tampan dan berkilau di matanya. "Lik, si kakak ganteng itu datang lagi masa," ucap Anisa saat melihat Zulaikha sudah selesai dengan kegiatannya. "Siapa?" tanya Zulaika setelah mencium cover Al-Qur'an bagian depan dan belakangnya. "Siapa itu namanya, aku lupa," ucap Anisa sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Zulaikha hanya tersenyum kecil melihat tingkah Anisa. "Hari ini agak sepi, ya?" Anisa mengangguk, kini mereka sedang membuat pesanan bersama. "Bahkan enggak cuma pembelinya yang sepi, yang kerja hari ini juga banyak yang libur, entahlah lagi ada apa hari ini." Lagi-lagi Zulaikha hanya tersenyum kecil. Tanpa Zulaikha tahu, kini ia sedang menjadi tatapan Kafka, saat Rizwan sibuk dengan laptop yang menampilkan garapan skripsinya, Kafka malah menatap Zulaikha diam-diam. Selama ini, banyak perempuan yang ia temui, tapi dari sekian banyak perempuan itu, Zulaikha memiliki pesonanya tersendiri. Yang entah mengapa lebih menonjol dari yang lain. "Cakep, ya, baristanya, suka yang kerudungnya panjang atau yang wajah orang Minang? Cakep dua-duanya, sih," ucap Rizwan. Ternyata ia sadar dengan kelakukan Kafka sejak tadi. Kafka tertawa, ya, hanya tertawa. "Lu tahun lalu deket sama Zia, si dokter gigi, udah enggak sekarang?" "Zia itu cuma teman dekat, waktu masih jadi mahasiswa baru gua, kan, satu organisasi sama dia. Sering kumpul bareng juga. Dekatnya mah ya dekat aja, lu ikutin gosip kubu mana, sih?" Rizwan langsung terpingkal. "Zia kayaknya agak pemilih, ya, temannya gua lihat anak-anak tajir semua." Kafka hanya tertawa menanggapinya. *** Di jam delapan lewat Zulaikha baru sampai rumah. Ia sangat terkejut saat mendengar suara gebrakan di dalam rumah. Ia langsung melepas sandal dan berlari ke dalam. Rupanya ada debt collector. Ia embuskan napas pelan, padahal ia sudah larang ibunya meminjam di bank. "Kalau enggak mampu bayar, ya, enggak usah minjam!" omelnya sambil menendang kursi. Hal itu membuat ibu dan ayahnya terlonjak kaget, bahkan Fauzan yang biasanya tak mau ikut campur langsung keluar dari kamar. "Pak, maaf ...." Belum sempat Zulaikha melanjutkan ucapannya, tiba-tiba ayah Zulaikha sesak napas, ia memegang d**a dengan wajah pias. "Ayah, Ayah kenapa?" tanya Zulaikha khawatir, ia langsung bersimpuh di depan ayahnya. Ayahnya kejang-kejang, tak lama kemudian malah tidak sadarkan diri. Zulaikha mengigit bibir bagian bawahnya untuk menahan tangis, ia bangun dari duduk lalu menghadap ke arah dua orang debt collector. "Maafkan, ibu sama ayah saya, Pak. Saya benar-benar enggak tau kalau orangtua saya pinjam di bank. Saya mohon kelonggaran waktu, insyaallah saya akan melunaskannya. Ayah saya pingsan, saya mohon kemurah hatian Bapak, saya mau bawa ayah saya ke rumah sakit," ucap Zulaikha sambil menangkupkan tangannya di d**a. Dua orang debt collector itu tidak banyak bicara, tampaknya dia juga takut menjadi pelaku kalau semisal ayah Zulaikha mati karena serangan jantung. Setelah dua orang debt collector itu pergi, Zulaikha langsung membawa ayahnya ke rumah sakit, Fauzan-lah yang membopong ayah mereka. Karena sangat khawatir, Zulaikha sampai menabrak orang, banyak file beterbangan setelah insiden itu. "Ya Allah, maaf, Pak, saya benar-benar enggak sengaja," ucap Zulaikha sambil memunguti file yang berserakan di lantai, sementara itu Fauzan dan ibunya ia suruh jalan lebih dulu menuju UGD. "Dokter Yusuf ditunggu di ruangan," teriak seorang suster yang kini sedang dikerumuni keluarga pasien yang sedang mendaftar perawatan untuk keluarganya yang hendak dirawat di rumah sakit ini. Laki-laki yang disebut dokter Yusuf itu mengangguk. Kini ia ikut memunguti file yang berserakan di lantai. Setelah diambil semua, Zulaikha dan Yusuf langsung bangun. Zulaikha menyodorkan file yang ada di tangannya ke arah Yusuf. "Maaf, ya, Pak," ucap Zulaikha. Yusuf menganggukkan kepalanya. "Terima kasih." Setelah mengatakan itu baik Yusuf ataupun Zulaikha sama-sama berjalan maju ke depan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD