Ternyata kelelahan yang Zulaikha rasakan kemarin masih harus ia rasakan hari ini. Bahkan ia akan pulang di atas jam delapan, satu jam lebih lambat, yakni jam sembilan. Hal itu terjadi karena cafe tempatnya bekerja sedang ramai sebab mengadakan diskon tahunan. Banyak sekali orang-orang yang datang, dari kalangan anak remaja sampai orang dewasa. Bahkan siang tadi Kafka dan teman-temannya pun datang ke sini. Zulaikha tidak bisa bicara banyak karena ada tuntutan pekerjaan, Kafka pun memaklumi itu.
Di pukul setengah sembilan, cafe mulai sepi, Zulaikha bisa istirahat sambil meminum kopi juga. Ia memesan latte tanpa gula, kepalanya sedang pening dan kantuk mulai menyerang. Ia harap dengan meminum kopi rasa kantuknya bisa teratasi, urusan pusing, ia akan minum obat saat sudah ada di rumah.
Tepat saat Zulaikha hendak meraih kopi yang baru saja Anisa taruh sebelum perempuan itu izin keluar untuk beli makanan, tiba-tiba ada yang menarik kopi Zulaikha sebelum Zulaikha memegang kopi itu. Zulaikha mendongak sambil memijit kening, matanya memicing. Saat mengetahui siapa pelakunya Zulaikha langsung membenarkan posisi duduk.
"Saya tau kamu lelah, tapi minum kopi dalam keadaan belum makan bisa buat kamu sakit," ucap orang itu yang tak lain adalah Yusuf.
Yusuf baru saja selesai membedah orang di rumah sakit, sekarang ia ingin merilekskan otak dengan minum kopi. Kebetulan kopi yang terasa pas di lidah Yusuf ada di cafe ini.
Terkait larangannya kepada Zulaikha, sebenarnya ia hanya menebak kalau Zulaikha belum makan, lagi pula perempuan kurang baik meminum kopi. Terlebih Zulaikha masih menjadi mahasiswa, dia harus tidur dengan nyenyak dan bangun tepat waktu besok, minum kopi di malam hari akan mempersulitnya untuk bisa tidur nyenyak. Di mata Yusuf, Zulaikha seperti Kafka, si anak nakal yang sok kuat.
"Saya masih ada kerjaan setelah ini, Pak, jadi saya rasa dengan minum kopi kantuk saya bisa terkikis," ucap Zulaikha.
Yusuf melepaskan kopi Zulaikha dari tangannya lalu duduk tepat di depan Zulaikha. Sesaat Yusuf teringat kembali dengan Humaira, Zulaikha selalu mengingatkannya dengan perempuan itu. Rasanya aneh, harapan masih ada, tapi orang yang diharapkan sudah tidak ada, dan kini, ia harus melihat orang itu pada diri orang lain.
"Apa kamu udah makan malam?" tanya Yusuf.
Zulaikha mengangguk tapi tak lama kemudian menggeleng. "Tadi siang, sih, tapi saya masih belum lapar."
"Tunggu di sini, saya mau pesan sesuatu." Setelah mengatakan itu Yusuf langsung bangkit dari duduknya, menghampiri Rio--barista yang akan melanjutkan pekerjaan Zulaikha dan Anisa malam ini sampai pukul sepuluh nanti.
Zulaikha menepuk kedua pipinya, ia takut karena rasa kantuk yang ia rasakan malah membuatnya berimajinasi. "Aw," pekik Zulaikha pelan, ternyata dia tidak sedang berimajinasi, Yusuf sungguhan nyata, dia baru saja mengajak Zulaikha bicara tadi.
Rasanya masih tidak menyangka, mengingat beberapa waktu lalu ia dicueki, kini laki-laki itu malah mengajaknya bicara lebih dulu. Zulaikha memijit keningnya lagi, rasanya Yusuf sangat berbeda dengan Kafka. Saat bersama Kafka, Zulaikha merasa seperti bersama orang yang sudah ia kenali secara dekat, tapi kalau bersama Yusuf, ia malah merasa seperti bawahan laki-laki itu. Dia laki-laki yang punya aura berbeda, yang membuat orang lain segan dengannya.
Malam ini dia mengenakan kemeja berwarna biru muda yang lengannya digulung sampai siku dengan pasangan celana bahan berwarna hitam yang terlihat mencilak--entah siapa yang menggosokkan celana laki-laki itu.
"Saya pesan roti, kamu bisa minum kopi setelah makan roti," ucap Yusuf, dia baru saja kembali dari tempat pemesanan.
Setelahnya dia diam sambil membuka handphone. Tanpa Yusuf tahu, Zulaikha menatapnya masih dengan tatapan bingung, banyak pertanyaan memenuhi otak Zulaikha, rasanya aneh kalau Yusuf seperti ini. Apalagi kepada ia--perempuan yang bahkan tidak memiliki kecerdasan setara dengannya. Setelah dibuat aneh dengan adiknya, sekarang Zulaikha malah harus dibuat aneh juga dengan kakaknya.
"Kamu kakaknya Fauzan?" tanya Yusuf masih sambil menatap layar handphone-nya.
Zulaikha sampai menegakkan tubuh, bukan karena malu atau apa, ia malah takut kalau Fauzan melakukan kesalahan seperti yang sudah-sudah.
"Iya, kenapa, Pak? Apa adik saya ganggu Bapak?"
Yusuf terkekeh sambil memasukkan handphone-nya ke dalam saku celana. "Semalam dia dan temannya yang membenarkan mobil saya, tapi sebelum saya bayar dia udah pergi dan bilang mau jemput kakaknya. Kebetulan saya juga lihat kamu sama dia di halte. Ternyata kamu kakaknya."
Zulaikha menghela napas pelan, bersyukur karena Fauzan tidak melakukan kesalahan. "Syukurlah."
Yusuf menaikkan sebelah alisnya. "Syukurlah?"
Zulaikha menganggukkan kepala. "Iya, syukurlah adik saya itu enggak buat onar."
"Dia laki-laki yang baik, bahkan uang saya jatuh, yang udah saya ikhlaskan, malah dia kembalikan. Sekarang ini jarang ada remaja yang jujur, saya salut dengan dia," ucap Yusuf.
Zulaikha tersenyum kecil. Ia sudah yakini hal itu, Fauzan-nya adalah laki-laki yang baik. Hanya saja dia punya gengsi yang tinggi. "Dia emang laki-laki yang baik, cuma ... gengsian aja," ucap Zulaikha masih dengan senyumannya.
Yusuf dapat melihat dirinya pada diri Zulaikha saat memandang adik mereka. Sebenarnya tidak hanya adiknya yang membuat Yusuf kagum, ia juga kagum dengan Zulaikha. Anak pertama yang berjenis kelamin perempuan dan harus menampung dirinya, orangtua, dan adiknya, dia pasti dipaksa untuk menjadi manusia tegar, hatinya harus luas, bahunya harus kokoh, mentalnya harus kuat, punggungnya pun harus tegak.
"Makanlah, saya anggap malam ini malam perkenalan kita secara resmi," ucap Yusuf saat roti pesannya sudah datang.
Dari arah pintu Anisa yang baru kembali dari tukang ketoprak langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan saat melihat Zulaikha sedang makan bersama Yusuf. Dalam hati Anisa merasa iri, Zulaikha bisa dekat dengan dua berlian sekaligus--Kafka dan Yusuf. Ia jadi berkhayal kalau seandainya ia menjadi Zulaikha, ia pasti akan meminta di antara kedua laki-laki itu untuk menikahinya. Tampaknya ia harus mengajari Zulaikha nanti.
Zulaikha sudah panas dingin, tapi Yusuf malah terlihat biasa saja. Hal itu membuat Zulaikha salah tingkah. Untuk meminimalisir itu semua, Zulaikha memilih untuk menunduk saja.
"Terima kasih, Pak," ucapnya.
Yusuf hanya menganggukkan kepalanya sambil memotong roti yang masih mengepul itu dengan sendok dan bantuan garpu.
Yusuf sendiri sebenarnya aneh, kenapa ia bisa sebaik ini dengan Zulaikha, padahal ia belum mengenali perempuan ini lebih dalam. Ia sudah dengar dengan jelas Kafka memuji Zulaikha seolah dia lebih tau Zulaikha dari siapa pun, yang menyiratkan kalau laki-laki itu sedang berada di fase mengagumi perempuan yang belum sadar dengan perasaannya. Kini, Yusuf malah baik dengan perempuan yang adiknya sukai.
Yusuf menghentikan kunyahannya. Apa iya Kafka menyukai Zulaikha?