"Jadi kesimpulannya, enggak ada larangan untuk mencintai seorang makhluk, tapi jangan lupakan aturan-aturan yang udah Allah Swt. perintahkan, seperti jangan menatap seorang perempuan dengan pandangan penuh cinta, kagumi sewajarnya, nikahi jika udah siap dalam beberapa segi, puasa dan menjauhlah untuk beberapa saat jika rasanya cinta udah terlalu menggebu tapi kita masih belum siap dari beberapa segi. Intinya seperti itu. Kita sama-sama laki-laki, jangan sampai kalian, anak-anak kebanggaan ayah melakukan hal itu. Ayah akan merasa jadi orangtua terburuk jika itu sampai terjadi, paham?"
Kafka dan Yusuf sama-sama menganggukkan kepalanya setelah ayahnya selesai bicara. Malam minggu ini mereka mendapatkan petuah langsung dari sang ayah. Pak Alhusayn merasa kalau anak-anak mereka memang patut diajarkan hal demikian, terlebih Kafka yang sudah terang-terangan mengatakan kalau ia mengagumi seorang wanita. Ia hanya tidak ingin kedua anak laki-lakinya itu salah jalan. Ia akan berdosa jika diam saja—pura-pura tidak tahu.
"Iya, Ayah," ucap Kafka yang disetujui pula oleh Yusuf.
"Jadi, siapa dari kalian yang mau nikah lebih dulu? Ayah udah enggak sabar mau punya menantu dan cucu," ucap Pak Alhusayn dengan nada meledek, niatnya ingin mencairkan suasana, tapi yang terjadi malah semakin beku.
Suasana yang sebelumnya khidmat seketika menjadi canggung. Baik Yusuf maupun Kafka masih belum bisa menemukan pasangan yang benar-benar, atau kalau dianalogikan belum benar-benar riset penuh terhadap orang itu. Jadi, yang dapat mereka berdua lakukan hanyalah diam. Pak Alhusayn hanya tertawa melihat tingkah kedua anaknya.
"Jangan takut dengan pernikahan, Nak, jangan dengarkan omongan orang lain yang mengatakan kalau nasib buruk orangtua bisa menuruni ke anaknya. Meninggalnya ibu kalian bukan menjadi gambaran kalau kalian akan seperti itu juga. Namun ingat, menikah pun jangan sembarang menikah, usahakan menikahlah sekali dalam seumur hidupmu, cintai satu orang wanita yang juga mencintaimu, jangan bagi dua cintanya, libatkanlah Allah dalam hal apa pun. Jodoh itu ada di tangan Allah, bukan di tangan orang lain yang terus mengatakan hal yang enggak-enggak tentang kalian, siapa pun dia. Percayalah sama Allah." Pak Alhusayn mengatakan hal ini sebab beberapa waktu lalu ia mendengar rumor bahwa kedua anaknya yang sudah pantas menikah itu tak kunjung menikah dikarenakan trauma dengan pernikahan orangtuanya sendiri. Ia pun tahu dari mulut ke mulut. Entah itu benar atau tidak, yang terpenting ia sudah mengatakan kepada anak-anaknya bahwa hal itu bukanlah suatu hal yang benar dan patut dijadikan patokan sampai-sampai mereka enggan menikah.
"Dan kamu Yusuf, Humaira udah bertahun-tahun meninggalkan dunia ini, Allah lebih menyayanginya, Allah belum mengizinkan kamu untuk memilikinya, jadi udah seharusnya kamu buka hati, sebab mau berusaha sekuat apa pun, Humaira enggak akan bisa hidup di dunia ini lagi, kamu tau itu, kan? Mungkin Allah emang menakdirkan kamu dengan perempuan lain begitu pula dengan Humaira, jangan sangka, meski dia meninggal dalam keadaan belum menikah, kelak di akhirat bisa jadi dia udah menemukan pasangannya. Ingat apa yang pernah Allah katakan, setiap manusia itu berpasangan layaknya Adam dan Hawa."
Yusuf menganggukkan kepalanya, ini bukan yang pertama kali, ayahnya memang selalu mengatakan hal seperti itu kepadanya. Jujur saja, sebenarnya ia tidak suka jika ayahnya sudah menyebut-nyebut hal itu, tapi ia tidak mau membentak ataupun tidak menurut dengan apa yang ayahnya katakan, lagi pula hal itu memang benar adanya. Sekarang sudah saatnya bagi ia untuk melupakan Humaira, mereka sudah berbeda alam.
"Dan kamu Kafka, jangan sembarangan menggoda wanita, lho, ya! Jangan berlebihan juga dalam mencintai makhluk Tuhan."
Kali ini Kafka yang menganggukkan kepalanya. "Iya, Ayah."
Pak Alhusayn menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "Ayah harap, kalian bisa memberikan kabar bahagia itu, selama ini Ayah sering menjodoh-jodohkan kalian bukan karena Ayah ingin ikut campur dalam masalah pribadi kalian, Ayah hanya merekomendasikan beberapa orang yang memang baik di mata Ayah, tapi Ayah enggak maksa, kalian bebas menentukan dengan siapa kalian akan menikah, lagi pula yang akan menjalaninya kalian, bukan Ayah, Ayah enggak mau kalian menderita kalau Ayah memaksa kalian melakukan hal itu, setiap manusia memiliki hak dengan siapa ia ingin menikah, intinya, Ayah hanya mengingatkan, jangan asal pilih hanya karena cover-nya aja. Ayah ini udah lumayan tua, Ayah enggak mau telat memberitahu kalian," ucap Pak Alhusayn sambil menatap Yusuf dan Kafka bergantian.
"Ayah, jangan bicarakan soal umur dulu," ucap Kafka. Dia itu memang lumayan sensitif jika sudah membahas perihal kematian, jujur saja, sebenarnya, tanpa orang tahu, Kafka masih merasa bersalah atas kematian ibunya. Ia pernah berpikir, kalau ia tidak ada, mungkin sampai saat ini ibunya masih ada. Bersyukur ia memiliki Yusuf, seorang kakak laki-laki yang selalu mengatakan bahwa semua ini bukanlah kesalahannya.
"Usia enggak ada yang tau, Kafka, untuk itu, dengarkan apa yang Ayah katakan selagi Ayah masih ada. Kelak, kalau Ayah udah enggak ada, kalian enggak akan pernah dengar lagi petuah-petuah membosankan ini," ucap Pak Alhusayn sambil tertawa pelan.
"Apa yang membosankan, jelas aja enggak. Kami sama-sama butuh ilmu ini, Ayah," ucap Yusuf, Kafka ikut menganggukkan kepalanya—setuju dengan apa yang Yusuf katakan.
"Syukurlah kalau kalian emang enggak bosan dengan apa yang sering Ayah sampaikan kepada kalian, semoga aja kalian bisa mengimplementasikannya dalam kehidupan. Jangan lupakan kata-kata ini, ya?"
Kafka dan Yusuf mengangguk patuh. "Baik, Ayah," ucap mereka bersamaan.
"Yaudah, Ayah mau istirahat, kalian jangan tidur larut malam. Jangan sampai terlalu mengedepankan dunia, bergadang untuk menyelesaikan pekerjaan tapi salat Subuh kesiangan," ucap Pak Alhusayn.
Kafka dan Yusuf sama-sama tertawa. "Iya, Ayah, siap!" ucap Kafka seraya menampakkan sikap hormat.
Pak Alhusayn menggelengkan kepala seraya menampakkan gigi-giginya yang rata. Dalam hati ia bersyukur karena Allah Swt. telah mengizinkan ia menjadi seorang ayah untuk dua orang putra seperti Kafka dan Yusuf. Ia selalu berdoa agar kedua putranya itu akur, ia tidak mau, ketika jasadnya sudah terkubur tanah, kedua anaknya tidak akrab atau bahkan bermusuhan hanya karena warisan, seperti masalah yang sering kali muncul di media saja. Naudzubillah.
Saat pak Alhusayn hilang dari pandangan, baik Kafka maupun Yusuf, mereka langsung ikut pergi ke kamar. Tepat saat mereka hendak merebahkan tubuh di atas kasur, seketika bayangan wanita yang sama berseliweran di pandangan mereka.
"Zulaikha? Dia orang yang seperti apa?" gumam Kafka.
Sementara di sisi lain, Yusuf justru merutuki diri karena tiba-tiba memikirkan orang yang bahkan belum ia kenali dengan dekat.
"Kenapa bayangannya tiba-tiba muncul?" ucap Yusuf sebelum akhirnya menjatuhkan tubuh ke kasur.