Rama sendiri lebih memilih duduk tenang di ruang tamu wanita itu. Namun rasa penasarannya akan sosok Nadia membuat ia berdiri dan berjalan mengelilingi rumah ini. Sebuah pintu kamar yang tertutup membuat ia membuka pintu itu dan untungnya tidak dikunci. Ia yakin ini kamarnya Nadia karena semua foto di kamar ini adalah foto Nadia. Namun ada satu foto yang menarik perhatiannya yaitu foto banyak orang yang dari kejauhan tidak terlalu jelas, sepertinya foto keluarga besar Nadia. Ia pun langsung maju mendekat ke arah foto yang terletak di meja tersebut dan semakin dekat ia melangkah maka akan semakin jelas foto tersebut.
"Ini kan foto keluarga artis Hasina, Tavila Hasina, Yudha Hasina, Wendah Hasina, Aqira Hasina ....
"Astaga, apa ini keluarga Nadia? Nama dia kan Nadia Hasina?"
"Itu memang keluargaku."
Sebuah suara dari belakang membuat Rama terkejut dan sempat mengira hantu namun saat ia menoleh ke belakang, ia melihat Nadia yang sudah berdiri di hadapannya dengan tangan membawa kantung plastik yang pasti berisi makanan dari warung.
Nadia sendiri mulai kesal dengan kelakuan remaja satu ini, sangat tidak sopan dan sangat mengganggu privasinya dengan langsung masuk ke kamar tanpa izin.
"Lalu bagaimana cara aku melamarmu nanti? Apa mereka akan setuju puteri dari keluarga terkenal dan kaya raya menikah dengan remaja baru lulus dan tak punya pekerjaan?"
"Itu bukan urusanku. Itu urusanmu. Jadi pikirkan dari sekarang bagaimana caranya kau meyakinkan keluargaku kalau kau pantas menjadi Kekasihku."
Jika Rama mulai merasa ragu jika ia akan dapat restu. Nadia terlihat biasa saja lalu menarik pergelangan tangan pria itu agar keluar dari kamarnya, ia pun langsung menutup pintu kamarnya dan menguncinya. Setelahnya mereka kembali duduk di sofa yang berada di ruang tamu.
"Ini makanannya. Silahkan dimakan. Tapi jangan lupa untuk bayar hutang ongkos dan makanmu agar kau belajar bertanggung jawab."
"Aku tidak mau makan. Aku tidak lapar."
"Terserah dirimu saja."
Nadia memilih tak peduli dengan penolakan Rama lalu mulai memakan ketoprak yang ia beli dari warung yang kebetulan menjual berbagai makanan dengan harga murah. Sebenarnya Rama berbohong soal ia tidak lapar karena tak mau makan makanan murah, tapi melihat bagaimana Nadia makan dengan lahap membuat cacing-cacing dalam perutnya meronta semakin keras ingin diisi. Masih ada satu bungkus lagi dan ia sudah menatap bungkusan itu dengan tatapan lapar, untung saja ia bisa menahan air liurnya agar tidak turun karena tergoda dengan wangi makanan yang bahkan ia tak tahu namanya.
"Sepertinya aku masih lapar dan ingin nambah, bungkusanmu jadi punyaku saja ya?"
Nadia sengaja menanyakan hal itu dan ia berpura-pura ingin mengambil bungkusan yang lain karena ia tahu bahwa Rama mulai merasa lapar dan ingin memakan bungkusan itu namun gengsi. Sebelum ia mengambil bungkusan itu, Rama sudah lebih dulu merebutnya dengan tatapan horor seakan ia adalah hantu.
"Aku lapar, aku akan makan makanan ini."
"Makanya gengsi jangan dibesarkan. Hidup ini sulit. Antara gengsi atau hidup, turunkan gengsimu saat kau tidak bersama Ayahmu karena tak ada yang peduli padamu jika kau tak memakai nama Ayahmu."
"Berisik. Nama makanannya apa? Ini enak sekali."
Jika tadi Rama pura-pura menolak, sekarang ia makan seperti orang kesetanan. Tidak berhenti makan dan terlihat sangat menikmati makanan tersebut.
"Ketoprak. Harganya murah, hanya dua belas ribu rupiah."
"Apa?!"
Sulit dipercaya jika seorang Rama Adira Gavandi baru saja memakan makanan yang belasan rupiah harganya. Biasanya ia makan dengan menu makanan hingga jutaan. Namun harga makanan itu tak membuat Rama berhenti makan. Ia terus makan dengan lahap sambil terus memikirkan bagaimana hidupnya tanpa nama ayahnya.
[][][][][][][][][][][][][][][][][][]
"Pegangan pinggang Abang Ojolnya, nanti jatuh."
Saat ini Nadia sedang menuntun tangan Rama untuk memegang pinggang seorang pria yang merupakan pengemudi ojek online yang baru ia pesan untuk mengantar pulang Rama. Ia harus mengeluarkan uang yang cukup besar untuk ongkos pria ini, tadinya ia mau membiarkan pria ini pulang dengan angkutan umum namun Rama terus memohon untuk naik kendaraan lain dan ia yang masih punya rasa kasihan pun akhirnya memesan ojek online untuk Rama. Rama memberikan tatapan protes pada Nadia, ia jijik memegang jaket ojek online itu, apalagi ojek online ini bau.
"Saya engga akan jatuh, Nadia."
"Hanya jaga-jaga. Kalau kamu beneran jatuh gimana? Nanti Pak Regan memarahi saya yang dianggap tak becus mengurus kamu."
"Sudah bisa jalan, Mbak?"
"Oh iya, jalan saya, Bang. Tolong jaga anak ini dan bawa pulang sampai rumah dengan selamat."
Abang ojol itu sampai harus menahan tawa mendengar pesan Nadia, ia seperti mengantar anak sekolah saja dan Nadia adalah ibunya yang khawatir dengan keselamatan anaknya padahal pria muda nan tampan di belakangnya ini sudah besar bahkan terlihat seperti pasangan wanita ini.
"Nadia, cukup. Aku bukan anak kecil."
"Aku cuma memberi pesan ke Abang Ojol. Salahnya dimana?"
Rama hanya bisa mendengus kesal karena wanita satu ini seakan bingung dengan kesalahannya padahal jelas sekali Nadia membuatnya malu dengan bicara seperti itu pada pengemudi ojek online tadi. Untungnya abang ojek online itu langsung mengemudikan motornya dan mengantarnya pulang. Nadia sendiri langsung masuk ke rumahnya setelah tak melihat lagi ojek online tadi.