Hari sudah malam ketika Thea terbangun. Namun, wanita itu tidak langsung beranjak dari tempatnya. Ia malah betah berlama-lama tinggal di tempat tidur, karena aroma maskulin khas tubuh Dirga masih tercium di sekitarnya. Apalagi, pada bantal yang sedang ia tiduri, membuatnya merasa semakin mencintai pria itu.
Astaga, ini sangat luar biasa. Terima kasih, Tuhan, karena Engkau telah memberiku satu kesempatan lagi untuk aku bisa menebus segalanya. Termasuk pada Mas Dirga.
Setelah cukup puas menikmati sisa-sisa aroma tubuh dari lelaki yang sangat dia rindukan, akhirnya Thea pun bangkit dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi, hendak membersihkan diri. Namun, ketika melihat pantulan dirinya pada cermin, mulut Thea seketika mengerucut, merengut seperti merasa jijik.
“Kamu bukan Galathea Lyra! Galathea Lyra tidak sejelek ini!” gumam Thea kepada dirinya sendiri dalam cermin.
Wanita itu menggosok polesan-polesan hitam pada wajahnya menggunakan jari, walaupun kotoran itu masih tetap menempel dan tidak hilang sepenuhnya karena hanya menggunakan air saja. “Bagaimana bisa Mas Dirga mengajakku menikah dalam keadaan wajah seburuk ini? Astaga ... Aku benar-benar malu,” gumamnya pelan.
Wajah Thea tidak hanya menjadi gelap karena jelaga api, tetapi kamuflasenya sebagai perempuan jelek pun nyatanya masih begitu membekas pada garis wajahnya.
Kamuflase ... Ya, benar. Menyamar demi menjalankan kehidupan normal, dan tidak diganggu oleh siapapun.
Pengalamannya dianiaya di panti asuhan ketika ia masih muda, nyatanya telah mengajarkan Thea satu hal, bahwa anak perempuan yang cantik dan pintar akan menjadi sasaran empuk bagi kecemburuan orang lain. Entah itu dari segi fisik, pembelajaran, maupun pertemanan. Karena itu, dia lebih memilih bersembunyi di balik wajah sederhananya, dan bertingkah gila agar bisa menyendiri, dan tidak diajak berbaur oleh teman-teman yang lain, daripada harus menjadi dirinya sendiri.
Terlalu berisiko. Thea sangat menghindari segalanya.
Wanita itu mulai memutar kran air shower, dan debu yang menempel di wajah pun ikut terhanyut oleh air. Setelahnya, ia menggosok sisa-sisa jelaga api pada kulit, hingga kecantikan yang selama ini ia sembunyikan akhirnya kembali terlihat.
Thea terdiam sejenak sambil menatap cermin pada dinding kamar mandi, kemudian menghela napas dalam. Teringat kehidupan sebelumnya saat ia dibutakan oleh omongan si pria ular dan wanita liar itu!
Ya, Bunga dan Andri, anak kandung dari orang tua angkatnya. Merekalah yang menyebabkan Thea hancur hingga menjadi seperti gelandangan dan memiliki trauma yang begitu membekas. Dia dihina, dicaci, dimaki, difitnah begitu kejam oleh kedua saudaranya tirinya itu. Andri bahkan dengan teganya memalsukan berkas persetujuan pendonor, dan membawa paksa Thea–dengan membius wanita itu–ke rumah sakit untuk mendonorkan sumsum tulang belakangnya kepada Bunga, agar saudari kandungnya itu selamat, yang pada akhirnya malah gagal dan membuat Thea meninggal dunia pada saat itu.
Akan tetapi, entah bagaimana menjelaskannya, nyatanya, Tuhan begitu baik pada Thea, memberikan ia kesempatan kedua dengan terlahir kembali di masa lalu, agar bisa memperbaiki segalanya.
“Bunga ... Andri ... b******k kalian! Aku benar-benar benci!”
Thea mengepalkan kedua tangan saat melihat pantulan dirinya di cermin. Perasaannya benar-benar kacau, apalagi saat mengingat kejadian yang membuatnya kehilangan nyawa. “Setega itu kalian memperlakukanku! Sejahat itu kalian pada orang yang sudah menolong dari kesusahan!”
Thea menatap tajam pada pantulan dirinya di cermin, kemudian berkata, “nyawa ... harus dibayar dengan nyawa. Bagaimana pun caranya, aku akan pastikan kalian berdua merasakan penderitaan yang selama ini aku rasakan! Tanpa terkecuali! Sekalipun kalian memohon hingga berlutut dan mencium kakiku, aku tidak akan pernah memaafkan kalian, sampai aku mati!”
Setelah selesai membersihkan diri, Thea berbalik, mengenakan handuk yang sudah disediakan di sana, dan berjalan menuju pintu, hendak meninggalkan kamar mandi dengan perasaan penuh percaya diri.
Namun, belum sampai dia memutar handle pintu, Thea mendengar suara beberapa orang sedang berbicara di luar, dan bahkan mereka menyebut-nyebut namanya di antara percakapan yang terjadi.
“Apa kamu sudah mendengar berita terbaru?” tanya seorang wanita bersuara lembut.
“Belum. Memangnya, ada berita apa?” balas wanita yang satunya.
“Katanya, Nona Thea membuat masalah lagi!”
“Kejadian semalam?”
“Ya, kejadian semalam. Aku benar-benar tidak habis pikir.”
“Kamu tahu, Bu Sarah? Semalam, aku bahkan berpikir, Tuan Dirga membawa pulang seorang gelandangan yang dia temukan di jalanan, karena penampilannya sangat berantakan. Astaga, bagaimana mungkin dia bisa menjadi calon istri Tuan Dirga yang sangat tampan? Perbedaannya bagai langit dan bumi,” celoteh wanita lain yang menanggapi.
“Aku pun berpikir demikian. Apa yang menarik dari manusia jelly itu?”
Mendengar itu, Thea menyipitkan matanya karena merasa tidak senang. Apalagi, saat dirinya diejek seperti itu.
“Mungkinkah dia menggunakan pe–“
Belum sempat kedua wanita penggosip itu melanjutkan pembicaraannya, Thea sudah lebih dulu membuka pintu kamar mandi dan langsung berjalan keluar. Menatap dua perempuan berpakaian pelayan tersebut, dengan tatapan tidak suka.
“Ah, segar sekali,” ucapnya dengan sengaja.
Para pelayan itu seketika tutup mulut, sembari menundukkan kepala. Sesekali, mereka mencuri pandang untuk menatap Thea, dan di detik berikutnya, keduanya hanya bisa memandang ragu atas apa yang sedang mereka lihat saat ini.
“Nona Thea?” gumam salah satu pelayan dengan suara yang begitu pelan.
Thea sedikit menyeringai, sambil memperbaiki ikatan bathrobe berwarna putih yang dikenakannya.
“Kenapa kalian menatapku seperti itu? Apa aku terlihat seperti hantu? Atau ... Gelandangan?” tanya Thea, menyindir.
Wajah pelayan itu menjadi merah padam. “Tidak, Nona. Anda begitu cantik. Kami hanya terpesona.”
Senyuman Thea melebar saat mendengar itu. “Loh, bukannya tadi kalian mengataiku seperti gelandangan, dan manusia jelly? Atau mungkin maksud kalian Thea yang lain? Ah, benar, pasti Thea yang kalian maksud adalah Thea kenalan kalian. Benar, kan?” Tersirat begitu jelas nada menyindir dari wanita itu.
“Hmm … mmm … m-maksud kami ... Mm ....” Kedua pelayan itu mendadak kehilangan kata-kata, ketika mulai menyadari bahwa wanita di depannya itu sangat berbeda dari Nona Muda yang mereka kenal.
“Nona Thea!” Kedua pelayan itu segera berlutut karena panik. “Kamilah yang salah! Kami yang kelewatan! Kami yang tidak bisa memposisikan diri. Kami Mohon, maafkan kami. Tolong jangan beri tahu Tuan Dirga tentang ini—”
Belum sampai mereka melanjutkan perkataannya, suara bariton dari seorang pria tiba-tiba menginterupsi. “Apa yang tidak seharusnya aku ketahui?”