Urusan Thea Dengan Bunga dan Andri

1427 Words
Universitas Permata Biru. Sebuah gedung universitas yang sudah cukup sepi dan hanya tersisa reruntuhan setelah ledakan kebakaran terjadi. Dinding yang semula hanya retak pun kini telah runtuh, dan tanaman hijau di sekitar area yang awalnya begitu indah, kini telah rata dengan tanah menjadi abu hitam. “Aku mendengar seseorang meninggal dalam kebakaran kemarin.” “Ya, dia mahasiswi prodi Teknologi Laboratorium Medis tahun ketiga. Entah apa yang sedang dia cari di taman belakang ini. Aku benar-benar penasaran.” “Aku dengar, mahasiswi yang meninggal itu saudaranya Bunga, mahasiswi prodi Teknologi Laboratorium Medis juga. Bunga sampai menangis histeris di tempat kejadian.” “Oh ya? Thea si adik dari primadona kampus? Aku kenal dia! Aku pikir dia cacat intelektual. Apalagi penampilannya selalu berantakan dan sangat kotor. Apa mungkin dia berlari menghampiri api untuk bunuh diri karena merasa ada yang salah dengan otaknya? Bisa saja kan?” “Hei, mana mungkin Thea seperti itu. Dia tidak cacat intelektual. Malahan, dia mahasiswi terpintar di prodi Teknologi Laboratorium Medis. Prof. Saman bahkan selalu mengatakan itu. Jadi, mustahil jika dia berlari memasuki kobaran api karena ingin bunuh diri. Aku tidak percaya!” Rupanya, Thea yang sedang duduk di balik pohon rindang yang tidak tersentuh api di taman belakang, tiba-tiba tersenyum penuh arti, mendengarkan gosip yang ditujukan kepadanya. “Thea ... Astaga, kenapa kamu tidak bisa menjadi wanita penurut saja.” Mendengar itu Thea mendengkus lembut, apalagi saat tahu, siapa pemilik suara tersebut. Ya, dia Bunga. Wanita yang sudah menghancurkan hidup Thea, hingga wanita itu mengalami perjalanan waktu seperti sekarang. Wanita itu jugalah yang seharusnya menjadi tersangka utama kebakaran kampus kemarin. “Bahkan jika kamu marah padaku dan tidak mau menyumbangkan sumsum tulangmu, kamu seharusnya tidak membawaku ke sini dan akhirnya malah membuat hidupmu sendiri berakhir,” lanjut wanita berambut pendek itu sambil menangis. Orang-orang yang berada di sekitar sana seketika mengalihkan perhatian. Mereka menatap iba pada wanita itu, dan beberapa dari orang-orang yang ingin melihat tempat kejadian kebakatan menatap bingung. “Apa aku salah dengar? Jadi, yang menyalakan api saat membawa bahan kimia berbahaya itu, Thea? Galathea Lyra?” tanya salah seorang wanita berpakaian kaos hitam. Wanita yang sebelumnya sempat membicarakan kejadian tersebut ikut masuk dalam percakapan. “Ya, Galathea Lyra. Adik tiri Bunga. Dia melakukan itu karena ingin membunuh Bunga yang sedang sakit parah.” “Ya, aku pun pernah mendengar bahwa Bunga mengidap leukemia dan sudah cukup parah. Dan menurut berita yang kudengar, hanya sumsum tulang Thea saja yang kebetulan cocok untuknya. Sayang, Thea menolak membantu kakaknya. Lagipula, apa mengapa harus berencana membunuh kakaknya, jika dia tidak ingin mendonorkan sumsum tulangnya? Heran aku.” “Anak angkat yang tidak tahu berterima kasih, dan tidak berperasaan. Kasihan keluarga Bunga yang sudah bersusah payah membesarkan Thea. Benar-benar keluarga yang kurang beruntung.” Mendengar percakapan orang-orang di belakangnya, mulut Bunga seketika membentuk senyuman sinis. Kalau saja seseorang ada di sekitarnya, mungkin mereka akan menyadari bahwa rubah betina itu sedang berpura-pura menangis, tidak benar-benar berduka. Ya, sejahat itu Bunga terhadap adik angkatnya. Dan kelakuan busuk Bunga semakin menjadi-jadi setelah dia didiagnosis menderita leukemia beberapa bulan lalu. Segala cara dihalalkan olehnya demi memperoleh sumsum tulang yang baru. Apalagi saat dokter menyatakan bahwa sumsum tulang milik Thea adalah yang paling cocok dengannya. Dengan jahatnya Bunga menyebarkan berita tak sedap tentang Thea, hingga adik angkatnya itu habis dibully oleh orang-orang. Sayangnya, Thea wanita kuat, yang tidak mudah menyerah meskipun orang-orang mencaci maki, dan menghina dirinya. Sebenarnya, Bunga tidak ingin Thea menjadi korban dalam kebakaran kemarin. Karena jika sampai Thea meninggal, itu artinya peluang untuk Bunga bisa bertahan hidup malah semakin kecil. Entah takdir siapa yang sedang berjalan hingga segala rencana Bunga tak ada yang berjalan dengan lancar. Dimulia dari perangkapnya yang malah berhasil dilewati oleh Thea, sampai ia secara tidak sengaja malah menjatuhkan bahan kimia yang mengakibatkan ledakan besar di gedung tersebut. Ketika hal itu menjadi tidak terkendali, Bunga pun tidak punya pilihan selain melarikan diri. Dia tak menyangka Thea di sana dan begitu sial hingga meninggal dalam kebakaran tersebut. “Ck!” Thea berdecak mendengarnya. Ia sangat yakin, bahwa Bunga yang sudah menyebarkan berita buruk itu kepada seluruh penjuru kampus. “Bisa-bisanya seorang calon dokter tidak memiliki pemahaman dasar. Bodoh! Mana mungkin manusia cacat intelektual bisa membuat rencana sekompleks itu hingga terpikirkan untuk membakar dan membunuh Bunga?” gerutu Thea sangat pelan. Thea menggigit buah apel yang dipetiknya dari pohon milik seseorang saat diperjalanan menuju tempat tersebut, dan dia memilih tetap diam menonton pertunjukan Bunga yang tiada habisnya. “Bunga, kamu sedang sakit. Berhentilah menangis agar kondisimu tidak drop. Ayo, aku bantu kamu berdiri,” ujar seorang wanita cantik berambut panjang, yang ternyata adalah Luna, kekasih dari Andri–kakak kandung Bunga dan kakak tiri Thea. “Kenapa kamu baik sekali, Kak Luna. Terima kasih.” “Sudah sepantasnya aku menjagamu, Bunga, menggantikan kakakmu jika dia sedang tidak bersamamu.” “Kak Luna ....” “Ayo pulang ke rumah. Kamu sudah terlalu lama di sini menangisi Thea. Dia bahkan tidak lebih baik dari hewan di jalanan.” “Ya, Luna benar! Thea tidak pantas kamu tangisi, Bunga. Dia terlalu tidak tahu malu, dan tidak tahu berterima kasih! Dia–“ Belum sampai mahasiswi itu melanjutkan perkataannya, satu gigitan buah apel tiba-tiba mengenai kepalanya, hingga wanita itu sedikit terantuk karena merasa sakit dan terkejut. “Siapa yang melempar ke arahku?” pekiknya. Saat semua mencari orang yang melemparkan buah tersebut, Thea melangkah keluar dari balik batang pohon, dan berjalan menghampiri Bunga juga Luna di samping reruntuhan. “Aaah!” Tiba-tiba Bunga berteriak saat melihat Thea sudah berdiri di belakangnya. Wajah wanita itu bahkan berubah pucat pasi, hingga tanpa sadar berjalan mundur beberapa langkah untuk menghindar darinya. “K-kamu ... Kamu–“ Thea menyeringai sambil menatap keduanya dengan kedua tangan terlipat ke depan. “Hai!” sapanya dengan sengaja. “Ha-hantu? H-ha-ha–“ Saking takutnya, Bunga bahkan tak kuasa melanjutkan perkataannya. Hanya menatap lurus, dan napas naik turun dengan begitu cepat, selebihnya hanya diam. Bagaimana mungkin Thea ada di sini? Aku melihatnya dengan mata kepala sendiri, bahwa dia tidak melompat keluar dari gedung. Seharusnya, Thea terbakar dan ikut hangus bersama dengan gedung universitas ini. Lalu, bagaimana bisa dia masih hidup? “A-apa dia … apa dia Thea?” tanya seseorang yang sejak tadi berada di sana. Saat ini, Thea sedang menghadap Bunga dan Luna, jadi hanya punggungnya saja yang terlihat oleh orang lain. “Melihat dari perawakan dan cara berjalannya, sih, sepertinya benar. Dia Thea,” jawab seseorang yang tadi sempat membela Thea. “Thea,” panggil Luna pelan. Meskipun dia tidak percaya ketika pertama kali Thea muncul, setidaknya Luna lebih cepat tersadar daripada Bunga yang sampai detik ini masih diam. “Loh, kok kamu ketakutan?” Thea bertanya sambil tersenyum penuh arti. “K-ka ... K-kamu ....” Bunga mulai disorientasi. Ketakutan yang dia rasa telah menguasai dirinya, dan wanita itu bahkan tidak bisa memastikan apakah gadis di hadapannya adalah manusia sungguhan atau benar-benar hantu? Atau ... apakah Bunga sedang berhalusinasi? “Kak Andri ... bisakah… bisakah kamu melihatnya?” tanya Bunga kepada Andri yang baru saja tiba di sana dan berdiri di samping Bunga. “Apa aku sedang berhalusinasi?” Andri tertegun, antara terpesona dan terkejut, bahwa Thea nyatanya masih hidup dan berubah menjadi secantik ini. Pria itu menatap Thea dari ujung kaki hingga ujung kepala, lalu mengangguk. “Ya, akupun melihatnya. Wanita itu tepat berada di depan kita. Thea, kamu belum meninggal. Aku senang sekali.” Mendengar kata-kata munafik keluar dari kakak tirinya itu, Thea tersenyum sinis. Benar-benar sangat sinis dan mencemooh. “Whoa, benarkah kamu merasa bahagia karena aku masih hidup? Terharu sekali.” Meski merasa sedikit bersalah, Andri tahu bahwa Thea pernah menaruh hati kepadanya. Bahkan jika wanita itu menyadari bahwa Andri hanya mengeksploitasi perasaan terhadapnya, Thea dengan bodohnya tetap saja mau menuruti segala permintaan pria itu. Padahal, ada Dirga yang begitu menjaganya sejak dulu. Andri berusaha memberinya senyuman lembut, berharap Thea akan kembali luluh seperti biasanya. “Tentu saja, Thea. Kamu benar-benar beruntung bisa selamat. Coba aku lihat, apa tubuhmu ada yang ... Ah! Ah, sakit! Aw–“ Belum sempat Andri meneruskan bualannya, Thea sudah lebih dulu memelintir tangan pria itu ke belakang, menarik bagian depan bahunya dengan sekuat tenaga, hingga terdengar suara retakan tulang. “T-Thea, aw ... Sa-sakit! Kenapa kamu melakukan ini padaku? Ah–“ Wajah pria itu berubah memerah, menahan rasa sakit yang tiada tara di bagian bahu. Dahinya mulai mengeluarkan bulir keringat, namun, Andri tetap fokus pada wanita yang menyerangnya secara tiba-tiba dengan rasa tidak percaya. Sembari tersenyum penuh kepuasan, Thea berkata, “bahagia ... Apakah kamu masih merasa bahagia sekarang?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD