BAB 15: Tawaran Pekerjaan

1104 Words
“Kau mau apa?” Tanya Naomi sambil menikmati cokies terakhir dalam genggaman tangannya. Sejak kembali duduk di kursinya Axel tidak berbicara, pria itu hanya bersedekap memperhatikan Naomi dalam diam dan penuh penilaian. Sikap aneh pria itu membuat Naomi merasa tidak nyaman. “Habiskan dulu makananmu, aku tidak bicara dengan orang yang sedang makan. Terlihat seperti kambing.” Naomi tercengang mendengar jawaban menyebalkan Axel yang terkesan sedang mengajak Naomi ribut. Jika saja kedua tangan Naomi baik-baik saja, dia pasti akan menggebrak meja dan menjambak rambut Axel hingga pria itu berteriak menangis. Naomi menghabiskan cokies cokelatnya dengan cepat dan mengakhirinya dengan minum segelas air. “Sekarang aku sudah selesai makan, katakan sekarang,” titah Naomi terdengar tidak bersahabat. “Kau bukan tunawisma?” tanya Axel tanpa basa-basi. Naomi menggeleng dengan kerutan di keningnya. “Aku sudah mengatakannya kepadamu, aku bukan gelandangan.” “Di mana kau tinggal?” “Kenapa kau bertanya? Jika ingin mengembalikanku ke rumahku lebih baik aku keluar dari rumah ini sekarang,” jawab Naomi dengan penuh tekanan. “Aku bertanya karena ingin tahu, daripada repot-repot membawamu kembali ke rumahmu, akan lebih mudah aku mengusirmu.” Bibir Naomi langsung mencebik, perkataan Axel selalu berhasil membuat Naomi kesal. Pria itu benar-benar berbicara angkuh dan seenaknya seakan lawan bicaranya tidak memiliki perasaan. “Jadi, di mana kau tinggal?” Axel mengulangi pertanyaannya. Naomi tertunduk terlihat bimbang memberitahu, namun dia sendiri sudah memperlihatkan identitasnya kepada David. Akan percuma jika Naomi tidak memberitahu. “Aku tinggal di castil pinggiran kota Andreas,” jawab Naomi terbata. Axel terperangah kaget, beberapa detik pria itu dibuat terdiam kehilangan kata-kata. Jika Naomi tinggal di tempat yang nyaman, untuk apa gadis itu bepergian sepergi gelandangan? Axel berdeham pelan mencoba menutupi keterkejutannya. “Kenapa kau ke sini?” “Aku kabur,” jawab Naomi kian tertunduk sambil meremas permukaan dress yang dia kenakan. Naomi tidak pandai berbohong, karena itu dia memilih berkata jujur. “Kau sudah selesai bertanya?” tanya Naomi terdengar takut, Naomi tidak nyaman jika orang asing mengetahui kehidupan pribadinya. Naomi takut, seseorang akan bertindak jahat lagi kepadanya atau mungkin menertawakan kondisi keluarganya sekarang. Apalagi, mengingat seberapa pedasnya Axel berbicara, siapa tahu pria itu mengejek Naomi jika tahu keluarga Naomi sedang dalam masalah. “Aku punya satu pertanyaan lagi,” suara Axel mendadak lembut karena menyadari ketidak nyamanan Naomi. Perlahan Naomi mengangkat wajahnya dan melihat Axel dengan khawatir, Naomi takut jika Axel menanyakan alasan mengapa Naomi kabur dari rumahnya. “Kau butuh uang banyak?” Pertanyaan yang tidak terduga keluar dari mulut Axel. “A-apa maksudmu? Ken-kenapa bertanya seperti itu?” Naomi terbata-bata, sangat berbanding balik dengan matanya berbinar senang begitu mendengar uang disebutkan. “Ada pekerjaan yang mungkin cocok denganmu, meski itu belum pasti.” Naomi terpekik kaget, matanya semakin berbinar senang hanya dengan mendengar kata pekerjaan. Sangat kebetulan sekali karena Naomi juga sedang memikikan bagaimana cara dia mendapatkan pekerjaan. “Pekerjaan apa? Katakan saja, aku akan mengerjakannya,” jawab Naomi berantusias penuh semangat. Axel mendengus geli, ekspresi senang dan mata berbinar Naomi mengingatkan dia pada seekor anak anjing yang melihat sebuah bola. Axel segera beranjak dari duduknya, “Nanti aku akan memberitahumu jika sudah pasti.” “Baik, serahkan saja semuanya padaku!” jawab Naomi dengan menggelegarnya. *** Langit terlihat cerah dan kekuningan menjelang sore, kesibukan orang-orang yang bekerja masih terlihat. Termasuk Axel yang kini baru keluar dari ruangan meeting, selesai mengerjakan pekerjaannya, pria itu langsung pergi menuju sebuah ruangan karyawan untuk bertemu dengan Hans yang tengah bersenda gurau dengan beberapa orang. Hari ini Hans sengaja datang usai mendapatkan panggilan dari Axel. Hans meninggalkan teman berbicaranya untuk pergi mengikuti langkah Axel. “Ada apa?” “Hans, aku butuh bantuanmu.” Hans melangkah masuk ke dalam lift menyusul Axel. “Bantuan apa? Besok sore aku akan pergi ke luar kota.” “Hanya mencari identitas dan memastikan jika seseorang yang baru aku kenal terlahir dari keluarga baik-baik,” jawab Axel dengan cepat. Hans bersedekap, pria itu menatap Axel penuh tanya. Pekerjaan Axel sedang cukup banyak, untuk apa temannya itu menambah pekerjaan lagi? “Rivalmu?” tanya Hans. “Bukan, seorang perempuan.” Wajah Hans sedikit memucat tidak dapat menyembunyikan kekagetannya. Ini untuk pertama kalinya, setelah empat tahun lamanya Axel akhirnya memiliki ketertarikan untuk mencari tahu perempuan lagi. “Kau jatuh cinta lagi?” Axel langsung menatap tajam Hans, sudut bibir pria itu terangkat membentuk seringai jahat. “Apa aku terlihat seperti orang yang sedang jatuh cinta?” Hans langsung menggeleng, memang mustahil melihat Axel bisa kembali jatuh cinta setelah kejadian beberapa tahun yang lalu. “Jika tidak jatuh cinta, ceritakan dulu garis besarnya seperti apa dan kenapa bisa kau ingin mencaritahu identitas seseorang,” tuntut Hans. Axel mengangkat wajahnya, melihat angka di atas lift mulai bergerak. “Apa Sharen tidak pernah memberitahumu? Aku berencana untuk melakukan pertunangan kontrak, ada kandidat yang mungkin cocok untuk aku kendalikan. Tapi aku harus memastikan asal usulnya seperti apa, dia akan hancur seperti debu jika di lahirkan dari keluarga biasa.” Suara dentingan lift terdengar, kedua pria itu segera keluar dan pergi menuju ruangan kerja Axel. Permintaan Axel sedikit mengejutkan, juga terdengar menarik karena akhirnya pria itu memiliki celah lain agar keluar dari perangkap keluarganya. “Bagaimana dengan nenekmu?” “Aku harus memastikan dulu kandidat yang aku pilih seperti apa, baru bisa mengatakannya kepada nenekku. Dia harus sempurna untuk menjadi lawan calon yang dibawa nenekku.” Hans mengangguk setuju, pria itu terduduk di kursinya dan berhadapan dengan Axel. Axel merongoh selembar photo dari saku jassnya dan memberikannya kepada Hans. “Namanya Naomi, dia tinggal di kota Andreas. Hanya itu yang ku tahu.” Di ambilnya secarik photo itu, Hans melihat photo wajah Naomi yang kini terpajang. Reaksi pertama Hans saat melihat photo itu adalah terlonjak kaget dengan mata terbelalak. Pria itu sempat diam terpaku hingga membutuhkan waktu beberapa detik agar bisa kembali bersuara. “Kau, kau kenal dia di mana?” Tanya Hans hampir terdengar seperti teriakan. Teriakan Hans dan reaksinya yang berlebihan membuat Axel langsung bersedekap. “Ada apa denganmu? Jangan berteriak, aku tidak tuli.” “Axel, katakan saja padaku. Kau mengenal dia di mana?” tanya Hans sekali lagi. Kening Axel mengerut sama, ketidak sabaran Hans yang ingin tahu membuat Axel penasaran, apa temannya itu mengenal Naomi? “Kenapa diam saja? Cepat katakan kepadaku” desak Hans tidak sabaran. “Dua hari yang lalu aku tidak sengaja menabraknya, karena kondisinya buruk dan lemah, aku membawa dia ke rumah,” jawab Axel, dengan tatapan tajamnya. Hans menganga tidak percaya, jawaban Axel terdengar seperti karangan. Bagaimana bisa Naomi tertabrak dn menumpang di rumah orang? Hans menutup mulutnya seketika untuk berhenti bersikap berlebihan. “Kenapa denganmu? Kau mengenal Naomi?” tanya Axel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD