Janda 9

1994 Words
Setiap kali berlibur di Bandung, Dhena pasti memilih villa keluarganya di kawasan Lembang. Padahal rumah utamanya berlokasi di kawasan kota yang relatif lebih dekat dan mudah dijangkau dari Tol Pasteur. Namun suasana Lembang selalu membuat Dhena kerasan di sana. Dhena rela menambah waktu perjalanannya demi tidak kehilangan momen terindah garden walk atau jalan-jalan menyusuri taman bunga dan kebun sayuran di sekitar villa bersama kedua orang tuanya. Walau terkadang lebih sering hanya berdua saja dengan papanya. Bapak dan Ibu Abdullah pun demikian. Hampir setiap weekend mereka habis waktu di villa itu. Wildan dan Dhena sampai di Lembang hampir jam setengah dua, dini hari. Mereka memang sengaja tidak terburu-buru, Wildan pun mengendarai mobil dengan sangat relatif santai. Mereka bahkan beberapa kali beristirahat di tempat yang dianggap asyik untuk nongkrong dan bercerita.. Wildan menceritakan hampir semua kisah hidupnya yang tak diketahui Dhena, walau sang janda sudah selesai membaca 'Terjerat Hasrat Mertua di lapak ini. Dhena pun menceritakan perjalanan hidupnya selama menikah dengan Rayan dan berkenalan dengan Rizal. Sejak dahulu kala mereka memang selalu terbuka dalam banyak hal. Namun demikian, Wildan tetap menaruh hormat dan simpati pada kakak sepupu jauhnya. Wildan pun kerap bersikap manja jika berada di dekat Dhena. Dan Dhena adalah salah satu wanita yang paling ditakuti Wildan karena kebaikannya. Ketika tiba di Lembang, keduanya di sambut oleh Bapak dan Ibu Abdullah serta Ilham yang sengaja tidak tidur sebelum Dhena dan Wildan tiba di villanya. Dhena langsung beristirahat di kamarnya ditemani sang mama. Sementara Wildan langsung mendapatkan penataran panjang lebar dari Tuan Rumah. Pak Abdullah benar-benar menyesalkan sikap Wildan yang dia anggap membuang diri dari lingkungan keluarga. Pak Abdullah pun akhirnya memaksa Wildan untuk tinggal di Bandung atau ikut mengurusi Perkebunan Teh miliknya di kawasan Sukabumi. "Idan mah ngikutin gimana baiknya aja, Wa," balas Wildan dengan sikap yang sangat hormat. Dia selalu memanggil Wa atau Uwa pada Bapak dan Ibu Abdullah, sebagai ungkapan rasa hormat karena keluarga mereka sudah seperti keluarga dekat. "Bukan gak boleh jadi ojol, tapi kan Idan itu Sarjana Teknik, manfaatkan ilmu kamu jangan disia-siakan. Gunakan kecerdasanmu untuk mengurusi mesin-mesin pengolahan teh di pabrik Uwa. Itu jauh lebih menjanjikan untuk masa depanmu kelak." Pak Abdullah bicara tenang dan berwibawa dengan sikap kebapakannya yang kharismatik. "Insya Allah, Wa." Wildan menjawab dengan kepala yang terus menunduk. Sikap Wildan tak pernah berubah. Apalagi jika di depan Imron dan Imam, dia akan mendadak seperti singa ompong yang kehilangan segala kegarangan masa remajanya. "Nanti kalau Idan sudah benar-benar betah tinggal di Sukabumi, segera jemput ibu ke Medan. Ajak kumpul bareng di sana. Biar bapakmu diurus sama Kak Imam. Mudah-mudah bisa segera keluar dari penginapannya." Pak Abdullah masih tak tega menyebut kata 'penjara'. Sebenarnya Imam dan Imron sudah pernah mengurusinya, namun urusan korupsi memang cukup berat dan berbelit-belit, "Terima kasih sebelumnya, Wa." Wildan semakin dalam menunduknya. Ada banyak hal sesungguhnya ingin Wildan ceritakan tentang kelakuan bapaknya yang sangat tidak terpuji. Namun dia merasa waktu dan tempatnya tak pantas untuk membahas aib itu. Namun demikian Wildan tetap merasa bersyukur jika ada pihak-pihak yang bersedia membantu bapaknya untuk segera bisa keluar dari penjara. "Tapi ingat! Uwa benar-benar berpesan, Idan jangan badung lagi. Di Sukabumi itu gadis dan jandanya terkenal sangat cantik-cantik. Lebih baik langsung cari istri saja jangan pake acara pacar-pacaran segala." Pak Abdullah bicara tegas, dia sangat tahu bagaimana Wildan di masa lalunya. "Insya Allah, Wa." "Ya udah, Idan juga mungkin sudah cape, sekarang istirahat aja dulu. Atau mau ngobrol dulu dengan Ilham juga boleh. Sudah kenal dengan Ilham?" "Baru lihat tadi, Wa. Tapi kalau namanya sudah sering denger dari Teh Dhena." "Oh gitu. Coba aja samperin, sepertinya dia juga masih belum tidur. Ilham tinggalnya di rumah belakang." "Iya, Wa. Idan permisi mau istirahat dulu di belakang,"ucap Wildan sambil bangkit dari duduknya, mengikuti Pak Abdullah yang telah lebih dulu berdiri. Malam itu udara dan suasana kota Lembang terasa sangat sepi dan dingin, sehingga sebentar saja sudah mampu melenakan semua penghuni Villa Venus milik Abdullah. Ilham dan Wildan pun hanya beberapa menit saja saling bertegur sapa, setelah itu keduanya terlelap dalam mimpi. Seperti hari-hari yang sudah menjadi rutinitas, Dhena dan Pak Abdullah tak melewatkan jalan-jalan pagi di seputar kawasan villa. Keduanya menikmati udara segar dan pemandangan alam yang alami diantara hamparan taman bunga dan kebun sayuran. Dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan kedua orang tuanya, Dhena memiliki cara yang sudah terpola sejak kecil. Dia akan sangat terbuka berbicara tentang segala hal berurusan tentang kewanitaan pada mamanya. Sementara untuk urusan diskusi perkara berat, maka papa dan ketiga kakaknya yang akan dia jadikan partner berdebat. Sejatinya Dhena memang lebih merasa sreg dan nyaman berdiskusi dengan kaum lelaki. Mungkin itu karena sisi maskulin yang dia miliki sejak kecil. "Cikgu mengapa lebih suka diskusi dengan cowok. Bukankah akan lebih nyambung kalau ngobrolnya dengan sesama cewek?" tanyaku.   "Cowok itu relatif praktis kalau bicara dan tidak terlalu ember. Kecuali cowok yang bertulang lunak dan berbibir lambe turah. Kalau kamu sendiri termasuk cowok yang gimana? Tulang lunak atau lambe turah, Ndra?" Cikgu balik bertanya. "Hehehe Kalau Ndra sih udah permanen masuk dalam jajaran Cogan, Cikgu," balasku sambil cengengesan. "Oh iya, Kadang aku lupa kalau kamu itu ternyata cowok ganjen ya, Ndra." "Hussst, sembarang aja! Cogan itu cowok ganteng bukan cowok ganjen, Cikgu!" "Hmmm sejak kapan berubah begitu? Emang dilihat dari mana kamu masuk jajaran cowok ganteng, Ndra?" 'Udah ah, malah makin ribet kalau ngobrol sama Cikgu," pungkasku. Itulah salah satu alasan yang dikemukakan Dhena, saat mereka ngobrol berdua di salah satu sudut kota Bogor dekat toilet umum. Hah! ngapain mereka di toilet umum berdua? masa ngobrol harus di tempat begitu sih? gak elite amat. Dhena dan papanya yang sama-sama memakai pakaian olah raga warna biru langit, terus melangkah menyusuri jalan setapak yang sebagian rumput dan bunga-bunganya masih berembun. Mereka sudah terlibat dalam obrolan serius sejak beberapa langkah keluar dari villanya. "Dhen, tiga hari yang lalu papa tak sengaja ketemu Noviar di Jakarta. Papa kebetulan nginap di Horizon dan ternyata Noviar pun sedang ada giat di sana. Kalau gak salah mengikuti seminar, tapi seminar apa, papa lupa lagi." Pak Abdullah melanjutkan obrolannya sambil terus berjalan santai. Sesekali dia pun menyapa beberapa pegawai yang kebetulan sudah mulai berjibaku di lahan kerjanya masing-masing. "Oh ya, terus ngapain aja?" tanya Dhena disela-sela anggukan kepalanya membalas ucapan 'Wilujeung sumping dan salam hormat' dari beberapa karyawan papanya. "Ya, biasa aja, ngobrol-ngobrol ringan. Lebih banyak ngobrolin tentang Dhena sama Andrean, sih." Pak Abdullah melanjutkan obrolannya. Dhena hanya mendengarkannya karena dia sudah menduga kalau Noviar akan menyampaikan tentang Andrean pada keluarganya. "Papa pikir, apa yang disampaikan Noviar cukup masuk akal," lanjut Pak Abdullah seraya menatap Dhena yang sangat khusuk mendengarkan ucapannya. "Hmm, papa yakin sudah siap memiliki menantu seorang mualaf? Ini hal baru loh Pa. Dalam tradisi keluarga kita belum pernah ada yang menikah dengan beda agama atau bahkan dengan seorang mualaf sekalipun." Dhena merespon santai dan ringan ucapan papanya. "Tapi sepertinya papa sudah terbiasa dengan hal-hal baru, di luar tradisi keluarga kita yang dilakukan oleh Dhena, hehehe." Pak Abdullah balik merespon dengan tak kalah santainya. "Oh ya? Apa saja tuh, Pa? hehehehe." Dhena berpura-pura excited. "Banyak sekali kalau disebutin. Mulai dari cewek pemimpin geng motor, memilih profesi jadi Umar Bakri, ngajarnya di STM lagi. Menikah dengan seorang pedagang kaki lima. Terus bercerai, lalu kalau jadi mungkin menikah lagi dengan seorang mualaf, dan..." Pak Abdullah menahan ucapannya sekaligus menahan langkahnya. Beberapa saat dia menatap wajah putri semata wayangnya yang sedikit kepo. "Dan apa, Pa?" tanya Dhena tak sabar. "Dan satu-satunya anak papa yang pacarannya selalu saja sama brondong, hahahaha," tawa Pak Abdullah pun pecah. "Ya ialah, masa Kak Imron, Kak Imam atau Kak Adit. Anak papa yang memiliki kemungkinan pacaran sama brondong kan cuma Dhena doang, hahahaha," tawa Dhena bahkan jauh lebih keras lagi dan bebas. Beberapa saat keduanya asik dengan tawa riangnya. Semua pegawai tak ada yang kaget atau terganggu dengan itu. Justru itu jadi hiburan tersendiri, karena hanya pada saat ada Dhena, Pak Abdullah bisa tertawa bebas dan super berantakan. Kalau Pak Abdullah sedang happy, sudah dapat mereka pastikan akan banyak rokok yang keluar dari dalam villa itu. "Jadi serius papa sudah siap punya menantu seorang mualaf?" Dhena kembali membawa papanya pada fokus diskusi paginya. "Sebenarnya papa tidak sedang mendikotomikan status agama seseorang. Tapi ini khusus obrolan kita aja, obrolan antara seorang ayah dengan anak perempuannya, Dhen." Pak Abdullah kembali diam sejenak. "Hmmm," balas Dhena sambil tak sabar menunggu kelanjutan ucapan papanya. "Kalau berkaca dari pengalaman yang sudah terjadi antara Dhena dengan Rayan, mualaf atau bukan mualaf, sepertinya kurang relevan." "Oh ya?" "Rayan bukan seorang mualaf. Dia sangat taat dan rajin menjalankan ibadahnya. Terlepas apa tujuan dia beribadah. Papa malah tak pernah melihat dia pakai kaus atau kemeja biasa, selalu berbaju koko bahkan gamis." Pak Abdullah menyilangkan kedua tangannya di d**a. "Lanjut," balas Dhena. "Sekilas Rayan, tampak sangat religius dan memahami agamanya dengan baik. Tapi apakah itu bisa dijadikan jaminan tentang kebaikan akhlaqnya?" Pak Abdullah membentangkan kedua tangannya yang memegangi handphone dan setangkai bunga bakung. "Papa tuh selalu paling bisa bikin Dhena speechless, hehehe. Jadi menurut papa gimana dengan Andrean?" Dhena balik bertanya. "Andrean nanti jadi mualaf, ilmu dan praktek ibadah secara Islamnya pasti masih sangat minim. Nah, sambil kalian menjalani rumah tangga kan bisa sama-sama belajar. Ikut kajian dan pengajian komunitas, atau bisa juga mengundang guru khusus ke rumah. Papa rasa gak ada yang perlu dirisaukan lagi tentang itu, Dhen." "Ta.. ta..tapi pa... eeeeh eeee, eeeeh." Dhena mendadak kehilangan ucapannya. Namun tangan kanannya tak sadar memegangi dan mengelus perutnya. "Afrizal, bukan?" Pak Abdullah menatap Dhena seraya tersenyum lembut. Dhena menjawab dengan anggukan. "Bukankah sejak awal dia sudah membohongi Dhena? Sangat mungkin seorang Afrizal menjadi Rayan yang kedua nantinya. Bukankah Andrean sudah bersedia menerima Dhena apa adanya? Termasuk..." Pak Abdullah pun tak melanjutkan ucapannya. Dhena semakin tak bisa bicara. Ternyata Noviar sudah lebih jauh bercerita tentang keadaan dirinya pada papanya. "Ternyata papa sudah banyak tahu, ya?" Dhena tersenyum malu-malu. "Ya, setidaknya itu yang Noviar ceritakan tentang kamu, Rizal dan Andrean." "Hmmm, papa yakin dengan ucapan Noviar?" Dhena menatap serius kedua mata papanya. Mencari sebuah jawaban atas ketulusan hati lelaki yang tetap segar, gagah dan ganteng walau usianya sudah berkepala enam. "Sudah belasan tahun kita mengenal Noviar. Sampai saat ini papa belum dikecewakan olehnya. Bahkan mungkin kita semua belum pernah kecewa dengan sikap dia. Belum sekalipun kita dibohongi oleh Noviar dalam bentuk apapun, iya gak?" "Ya juga sih." "Nah, lantas apa alasannya hingga kita harus tidak percaya pada niat baik Noviar yang ingin menjodohkan kamu dengan Andrean? Bukankah Andrean juga sudah banyak berbuat baik untuk Dhena." Jawaban yang sesungguhnya sudah Dhena duga. Papanya akan sangat mendukung usulan Noviar, karena Noviar sendiri telah menyampaikan jika Papanya sangat setuju dengan rencana Andrean menikahinya. Dalam diam, keduanya melanjutkan garden walkingnya dengan pikirannya masing-masing. Sejatinya Dhena tidak mulai tidak percaya dengan kelakuan Noviar, namun dia masih sangat mempercayai omongannya yang selama ini tak pernah berdusta. "Gimana Dhen?" tanya Pak Abdullah setelah beberapa saat keduanya saling terdiam dan sudah melangkah cukup jauh. Dhena menghentikan kembali langkahnya, Pak Abdullah pun mengikutinya. Mereka berdiri saling berhadapan. Dhena memegangi kedua tangan papanya lalu bicara dengan sangat serius. "Jika itu yang terbaik menurut papa, Dhena akan sangat siap!" ucap Dhena seraya tersenyum manis. "Kamu siap menikah dengan Andrean?" Pak Abdullah bertanya serius. "Jika itu sudah jodoh dan catatan dari Yang Maha Kuasa, serta papa dan mama merestuinya, Dhena dengan senang hati dan ikhlas menerima Andrean sebagai suami. Tapi sebelum memutuskan secara fix, Dhena mohon izin untuk berpikir tenang dalam beberapa hari ke depan," jawab Dhena dengan penuh keyakinan. Pak Abdullah segera meraih kedua bahu Dhena dan menariknya hingga sambil mencium keningnya. "Terima kasih, Sayang. Papa sudah menduga, Dhena tidak akan pernah mengecewakan orang tua dan kakak-kakakmu, I love you," bisik Pak Abdullah "I love you to, Papa," balas Dhena sambil memeluk sang papa. Pak Abdullah dan Dhena, melanjutkan jalan santainya sampai keduanya benar-benar puas dan keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Setelah mengeringkan keringat mereka pun melanjutkan dengan sarapan yang sudah disiapkan oleh Bu Abdullah dan Bi Kayah, salah seorang asisten rumah tangga yang sudah ikut dengan keluarga Abdullah sejak Dhena masih duduk di SMP. ^^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD