Janda 12

2255 Words
Sesungguhnya sekarang sedang musim penghujan. Namun siang ini langit Bogor sedang sangat cerah, matahari pun bersinar dengan sangat teriknya. Biasanya keadaan demikian sebagai pertanda nanti sore atau malam akan turun hujan dengan intensitas air yang cukup besar, tak jarang juga dibarengi angin kencang dan halilintar. Sebuah mobil sedan warna silver baru saja terparkir sempurna depan sebuah rumah sederhana. Tepatnya di depan sebuah warung sederhana yang tak jauh dari rumah itu. Beberapa warga yang sedang berbelanja di warung itu sontak memalingkan wajah menatap seorang wanita cantik yang baru saja keluar dari mobil itu. Wanita berkaca mata hitam dan dalam balutan busana muslimah warna hijau muda yang sangat elegan dan terkesan mewah itu pun melemparkan senyum manisnya pada semua orang yang menatapnya. Dengan tas tangan warna senada dengan sepatu dan jilbabnya yang berwana hijau lumut, wanita itu mendatangi warga yang berdiri bengong di dekat warung itu. "Assalamualaikum, Ibu-ibu," sapa wanita itu ramah yang serempak dijawab oleh semua yang ada di sana. "Maaf, mau tanya, rumahnya Bang Afrizal di sini bukan?" sambung wanita itu setelah bersalaman dengan tiga orang ibu-ibu yang hampir semuanya membawa anak balita. "Bang Rizal Afrizal? Betul di sini. Ibunya juga ada dalam warung." Balas seseorang yang paling muda diantara mereka. "Alhamdulillah," wanita yang tampak sedang kepanasan itu menarik napas lega, pertanda lega karena pencariannya sudah menemukan titik terang. "Maaf, siapa ya? Saya Bu Halimah, ibunya Rizal?" seorang wanita dengan baju daster batik tangan panjang lengkap dengan jilbab warna cokelat, tiba-tiba menjawab sambil keluar dari dalam warung. "Salam kenal Ibu, saya Via temennya Afri waktu kerja di BPR. Maaf Afri nya ada?" tanya wanita yang mengaku bernama Via itu dengan sangat ramah. "Ada Bu, tapi sepertinya dia masih tidur. Sebentar ya ibu bangunin dulu," balas wanita berusia kira-kira 50 tahun yang mengaku ibunya Afrizal. "Oh gak papa, Bu. Gak usah dibangunkan. Saya hanya perlu sama ibu kok, sekedar ngobrol aja, bisa kan, Bu?" Via menahan tangan si Ibu yang hampir saja mau beranjak dari depan warungnya. "Ngobrol apa ya, Bu?" Ibunya Rizal sedikit gelagapan. Wajah Bu Halimah mendadak tegang. Sementara ibu-ibu yang lain hanya jadi penonton setia sambil melongo. Semua kagum, heran dan penasaran melihat wanita dari kalangan atas yang sangat cantik mencari Afrizal. Setelah sedikit mendapat penjelasan dari Via, akhirnya ibunya Rizal mengajak tamu istimewanya ke dalam rumah, sementara warungnya di tungguin oleh gadis bungsunya yang baru duduk di kelas satu SMA. Bu Halimah, bersikeras hendak membangunkan anak sulungnya, namun Via melarangnya. Setelah menyuguhkan teh hangat dan makanan ringan ala kadarnya, Bu Halimah duduk menemani Via di kursi ruang tamu yang cukup sederhana. "Ibu udah lama jualannya?" tanya Via dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibir manisnya. "Alhamdulillah, kurang lebih sudah lima bulanan, Bu. Ya lumayan buat nambah dan bantu-batu bapaknya Afri. Maklum narik angkot zaman sekarang sudah mulai repot, Bu," balas Bu Halimah dengan lugunya. "Syukur ya, Bu. Emang sekarang Afri kerja dimana?" tanya Via kemudian. "Saat ini sedang nganggur. Kemarin sih, setelah keluar dari BPR itu, dia kerja di bengkel. Tapi hanya seminggu kalau gak salah. Terus keluar lagi, katanya sih gajinya gak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkannya." "Hmmm gitu ya, mungkin seharusnya Afri punya bengkel sendiri, Bu," timpal Via seraya mengangkat cangkir teh manisnya. Lalu menyesapnya dengan sangat pelan dan hati-hati. "Sudah dari dulu dia pengen buka bengkel sendiri. Tapi kan boro-boro, modal darimana, buat makan sehari-hari saja masih repot. Ibu juga sudah sering menasihatinya agar dia bekerja dulu. Nanti kalau sudah punya modal, baru buka bengkel." Bu Halimah kembali menambahkan. "Kenapa gak pinjam modal usaha ke BPR aja, Bu? Modal memang sangat dibutuhkan dan untuk itulah kami di BPR menyediakan fasilitas pinjaman modal usaha. Afri kan dulu kerja di sana, pasti dia lebih tahu, Bu." "Iya sih. Tapi kami baru saja pinjam modal buat usaha buka warung itu. Masih punya cicilan setahun lagi, lumayan besar, hampir sepuluh juta." "Ibu pinjam dari bank mana?" "Dari BPR AR itu. Mudah-mudahan saja cepet selesai. Kalau sudah lunas pinjaman yang ini, rencananya juga memang mau ngambil pinjaman modal buat usahanya Afri. Mohon do'anya aja ya, Bu." "Amin, saya yakin akan terbayar kok." "Mudah-mudahan. Ya walau warungnya masih baru, tapi sudah lima bulan alhamdulillah cicilan bisa terbayar tepat waktu, tanpa mengganggu modal atau uang belanja dari bapaknya, Afri." "Maaf Bu, kita ngobrol aja ya. Tapi ibu jangan tersinggung." Via tiba-tiba bicara serius. "Iya Bu, kenapa?" Bu Halimah tak mengerti. "Gini Bu, bagaimana kalau cicilan ke BPR AR dilunasi bulan ini. Lalu ibu segera mengajukan kembali pinjaman buat modal usahanya Afri." Via menawarkan solusi yang sontak saja membuat Bu Halimah terperanjat. "Astagfirallahaladzim, Bu! Kalau ada mah gak usah nyicil. Kalau langsung dibayarkan semua, terus ibu besok belanja pakai apa?" jawab Bu Halimah dengan suara yang mulai bergetar. Raut wajahnya mendadak tegang dan pucat pasi dalam kebingungan bingung. Bu Halimah merasa tertipu oleh BPR yang menagih cicilannya sekaligus saat ini, sedangkan dalam perjanjiannya sampai 18 bulan. "Hehehe, ibu jangan salah paham dulu. Saya bukan untuk menagih kok, Bu," jawab Via tenang sambil menyerahkan sebuah amplop tebal berwana cokelat pada Bu Halimah. "Apa ini, Bu?" Bu Halimah tertegun sambil memegangi amplop yang baru diterimanya. Matanya terbelalak, wajah makin tegang, jantung dag-dig-dug dan sekujur tubuhnya panas dingin. "Maaf sekali lagi Bu. Semoga ibu tidak tersinggung. Dengan uang dalam amplop itu, ibu bisa langsung melunasi cicilan ke BPR hari ini juga. Tapi kalaupun ibu ingin memanfaatkannya untuk menambah modal dagang, bisa. Dalam amplop itu ada uang 15 juta." Via menjawab dengan senyum manisnya yang kembali membuat Bu Halimah terbelalak. "Bu! ini beneran? Ibu bukan yang dari tv itu kan? yang suka memberi uang kaget?" Bu Halimah bertanya dengan suara yang makin bergetar. "Hehehe bukan. Saya Noviar teman dekatnya Rizal, Bu. Bilangin aja nanti sama dia, jika butuh bantuan untuk modal buka bengkel, hubungi saya aja. Dia sudah punya nomor telepon saya, kok." Noviar memegangi tangan Bu Halimah yang panas dingin dan bergetar. "Masya Allah, Bu!!!" Tiba-tiba Bu Halimah menubruk tubuh Noviar sambil duduk di lantai dengan wajah dan kepala tertumpu pada pangkuan Noviar. Dalam tangisan yang tersedu-sedu Bu Halimah berkali=kali mengucapkan terima kasih dan puji syukur pada Allah atas segala anugerah dan rizki yang dia terima dari jalan yang tak disangka-sangkanya. Kurang lebih sepuluh menitan Bu Halimah bersimpuh dan menangis haru dalam pelukan Noviar. Suaranya tidak terlalu keras tapi sudah bisa mewakili bagaimana perasaannya saat ini. wanita sederhana itu bahkan masih tak percaya jika hari ini di hari yang sangat panas ini akan memegang sendiri uang sejumlah 15 juta. Jumlah yang sangat besar untuk ukuran orang sederhana seperti dirinya. "Bu, maaf saya bangunkan Rizal dulu, ya!" ucap Bu Halimah dengan suara yang terbata-bata. "Gak usah Bu. Biar nanti aja dia nemui saya. Tapi kalau dia gak mau juga gak papa. Saya cuma mau bantu aja kok, gak ada niat apa-apa. Ibu juga pasti ngerti. Saya merasa simpati pada Afri. Dia pekerja yang sangat rajin dan bagus sekali prestasinya waktu di BPR." Noviar kembali mengambil minumnya. "Saya sangat percaya dan tidak takut gagal jika kerja sama membuka bengkel dengan dia. Sayang ilmunya jika tidak dimanfaatkan. Kalau hanya jadi karyawan biasa, kapan bisa majunya, iya gak?" lanjutnya sambil meletakan cangkir di atas meja. "Masya Allah, Bu. Hati ibu mulia sekali. Pasti nanti Afri menemui Ibu. Dia pasti gembira mendengar berita ini. Bukan hanya dia tapi kami sekeluarga juga akan sangat berbahagia dan mendukung sekali rencana ibu. Terima kasih atas segala kebaikan Ibu. Semoga Allah membalas segalanya dengan yang lebih dari ini." Bu Halimah menyeka kembali air matanya dan dia pun kembali memeluk dan menciumi Noviar. "Insya Allah saya tulus ikhlas membantu Afri dan seluruh keluarga. Sebenarnya bukan hanya Afri sih, saya juga sering membantu anak-anak muda yang punya potensi dan mau diajak maju berkembang. Semoga Afri juga gak keberatan dengan bantuan ini dan mau kerja sama dengan saya, ya Bu." "Oh Masya Allah. Ibu yakin seratus persen, Afri pasti nurut dengan ucapan ibu. Aneh saja kalau dia sampai tidak mau menerima bantu ibu. Udah ketahuan Ibu orangnya baik, tulus dan ikhlas. Tidak semua orang bisa mendapat anugerah seperti kami. Zaman sekarang susah mencari orang yang benar-benar tulus. Lagian Afri mau mencari orang yang bagaimana mana lagi? Masa tidak mau bekerja sama dengan ibu?" "Oh iya, Bu. Mungkin saya bisa berlama-lama di sini. Karena harus mengunjungi beberapa panti asuhan. Ada dana 100 juta sumbangan dari kakak dan adik-adik saya yang di luar negeri. Mereka semua sibuk gak bisa datang ke Indonesia. Ya, walau saya sendiri sebenarnya sedang sangat sibuk, tapi demi amanat itu saya harus menyempatkan diri menyampaikannya pada yang berhak," "Masya Allah, Bu. Sudah mah cantik, baik hati, amanah dan dermawan lagi. Sungguh bahagia sekali suami dan keluarga Ibu semua." Bu Halimah kembali terbelalak. "Hehehe, saya tidak punya suami Bu. Anggaplah demikian, karena beberapa hari lagi saya akan menjadi janda." "Jadi Janda? Astagfirallahaladzim, kok bisa, Bu?" Bu Halimah terperanjat. Hatinya bertanya-tanya, lelaki sebodoh apa yang menceraikan wanita secantik dan sebaik Noviar. Apakah lelaki itu sudah sinting? pikirnya. "Ya, begitulah, Bu. Sudah bukan jodohnya lagi. Belum resmi sih, tinggal nunggu ketok palu hakim Pengadilan Agama saja." "Kenapa bisa begitu, Maaf!" "Suami saya suka sama yang lebih muda, Bu. Sementara saya tidak siap dimadu. Sejak dari dulu saya punya prinsip lebih baik tidak bersuami daripada harus dipoligami." "Yang sabar ya, Bu. Ibu doakan semoga Bu Noviar segera kembali mendapat suami yang jauh lebih baik, lebih kaya dan lebih soleh serta bisa membahagiakan dari sebelumnya." "Saya tidak butuh suami yang kaya raya, Bu. Insya Allah tanpa suami pun saya masih hidup, saat ini saya masih punya dua toko busana yang cukup besar, punya perkebunan di Sukabumi dan juga ada beberapa usaha lainnya." "Masya Allah, pantesan Bu." "Saya hanya mencari suami seorang lelaki yang baik, sederhana dan dewasa. Ya kurang lebih seperti Afri anak Ibu. Mudah-mudah saja saya bisa bertemu lelaki seperti dia. Sejujurnya saya sangat kagum dengan Afri. Lelaki muda yang bisa bersikap dewasa dan setia pada pasangannya," ucap Noviar 'Tentu saja selain itu juga anak ibu itu ganteng juga punya si hitam yang perkasa dan bikin penasaran.' Lanjut Noviar dalam hati. "Maaf, kata ibu, Afri setia pada pasangan? Sampai sekarang Afri masih bujangan. Dia belum punya pasangan, Bu." Bu Halimah meralat ucapan Noviar. "Ya maksudnya dia setia pada pacarnya, hehehe." "Hmmm, setahu ibu, sampai saat ini dia belum punya pacar, tapi gak tahu sih. Katanya dulu pernah juga pacaran sama mantan gurunya, tapi kan itu istri orang, ibu juga tidak setuju. Yang pasti Afri belum pernah punya pacar, Bu." "Hehehe, mana mungkin Bu, lelaki seganteng dan segagah Afri belum punya pacar. Bukankah dia pacaran juga sama Bu Ghina?" selidik Noviar. "Ih amit-amit Bu Ghina. Udah ah Bu, jangan bahas Bu Ghina. Ibu suka sakit hati kalau inget Afri hampir saja jadi korban jebakannya. Untung saja Allah memberikan pertolongan, kami sekeluarga tidak sampai dipermalukan oleh dia. Ah sudah ah Bu, jangan bahas Bu Ghina." "Hehehe, iya Bu. Tapi ibu jangan curiga sama saya. Insya Allah saya melakukan semuanya buat Afri dengan tulus ikhlas. Keluar dari sanubari dan gak ada maksud untuk ngejebak atau lain sebagainya. Walau kami sama-sama lajang, tapi saya juga sadar, masa iya Afri mau pacaran apalagi menikah dengan janda, hehehe." "Kalau jodoh mah siapa yang tahu. Kalau ibu sih, Afri mau menikah dengan siapa aja gak ada masalah, asal sama-sama saling cintai. Perawan atau janda, tua atau muda bukan jaminan perkawinan langgeng, iya gak?" "Hehehe, iya sih. Tapi semua kembali pada Afri, Bu. Kalau saya pribadi sih memang sangat berharap bisa memiliki seorang suami seperti Afri, walau pun bukan Afri. Minimal gantengnya dan baiknya sama seperti Afri, hehehe." "Emang Ibu mau kalau Afri mau menjadi suami Ibu? Afri orang miskin, Bu?" Bu Halimah menatap wajah Noviar yang cantik dan semringah. "Saya tidak mencari lelaki hebat Bu. Urusan harta kekayaan, Insya Allah saya sudah memilikinya, yang penting dia setia dan sayang sama saya, itu saja." "Masya Allah, mulia sekali hati Ibu. Mudah-mudahan kalian berjodoh ya, Amiiin." "Amiin. Saya pulang dulu ya, Bu. Salam buat Afri. Sekali lagi kalau dia butuh apa-apa, atau sekedar perlu bantuan, suruh hubungi saya aja. Tapi sekali lagi maaf, ibu jangan maksa dia. Kalau dia memang sedang tidak butuh bantuan, jangan dipaksa untuk menemui saya, ya Bu." "Afri butuh atau tidak bantuan dari ibu, pasti akan disuruh untuk menemui ibu. Silaturahmi dan persaudaraan kita jangan sampai putus.Kami akan membuka pintu lebar-lebar kapan pun Ibu mau lagi main ke sini." Obrolan kecil dua wanita yang sedang berbahagia itu belum berakhir. Bahkan beberapa saat sebelum Noviar menghidupkan mesin dan menjalankan mobilnya, Bu Halimah masih terus mengucapkan terima kasih serta berjanji akan meminta Rizal untuk segera menemui Noviar. 'Kenapa gue mesti repot-repot meminta bantuan si Yoga? Kalau dari dulu gue deketin Bu Halimah, pasti semuanya sudah beres. Cukup 15 juta segalanya aman dan nayaman. Bukankah Rizal itu sangat penurut pada ibunya?' Noviar bermonolog seraya duduk bangga di belakang kemudi mobilnya yang melaju perlahan melintasi jalan kompleks padat penduduk. Bu Halimah langsung heboh bercerita pada tetangganya yang berkerumun di Warung. 'Gila! Noviar nekad juga sampai berani datang ke sini? Dhena aja belum pernah berani datang ke rumah gua. Benarkah Noviar mencintai gua? Sebesar apa cinta dan ketulusannya? Sekarang dia kan sudah jadi janda? gak ada salahnya juga kalau gua menjajakinya, jodoh kan rahasia Allah,' bisik Rizal pada dirinya sendiri, seraya telentang di atas tempat tidur menatap langit-langit kamar. Sesungguhnya sejak Noviar masuk ke rumahnya, Rizal sudah terbangun dari tidurnya. Dia sengaja diam pura-pura tidur seraya menguping semua percakapan antara ibunya dengan Noviar. 'Gue pegang ibunya, maka anaknya sebentar lagi akan berada di bawah kekuasaan gue. si Hitam bakal jadi milikku seutuhnya, Yes!' seru Noviar seraya memejamkan mata. Membayangkan si hitam besar panjang ada di depan wajah siap untuk memberikan kepuasan padanya. ^^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD