Bab.5 Lembur, Tapi Bohong.

1566 Words
Lagi-lagi Mara dibuat jengkel bukan main, sampai tidak tahu lagi kata apa yang tepat untuk menyumpahi perjaka tua satu itu. Lembur yang bosnya bilang bukanlah ke kantor, tapi mengunjungi rumah adiknya. Mara duduk seperti orang bodoh dengan pikiran campur aduk tidak karuan. Marah merasa sudah dibohongi. Malu karena dikira pacar baru bosnya. Bingung membayangkan pacarnya yang sekarang pasti celingukan mencarinya di depan kantor Asastra, sedang ponselnya rusak tidak bisa mengabari. Ethan Jarvis yang baru pulang bahkan sempat kaget melihatnya berada di sana. Iya, semua yang tadi siang Mara lihat di foto meja kerja bosnya sekarang benar-benar dia jumpai secara langsung. “Kamu kuliah semester berapa?” tanya Elina, adik bosnya yang kemudian mengajaknya ke dapur. “Enam,” jawab Mara sedikit canggung meski wanita cantik itu bersikap ramah. “Sudah lama magang di sana?” tanyanya lagi sambil memasukkan jamur yang sudah ditepungi ke penggorengan. “Maaf, nggak apa-apa kan menemani aku ngobrol di dapur? Tadi sudah janji bikin jamur crispy kesukaan Bang Aryan,” lanjutnya. “Tidak apa-apa,” geleng Mara. Dia justru senang dibawa ke dapur, karena sungkan ada papa dan ipar bosnya. Setelah mengecilkan api, Elina menyusul Mara duduk di meja dapur dengan meletakkan dua gelas jus buah. Sedang pembantu mengambil alih pekerjaannya. “Kenalkan aku Elina, saudara kembarnya Ethan!” Mara menyambut uluran tangan adik bosnya sambil melongo. Sama sekali tidak menduga kalau ternyata Ethan Jarvis itu kembar. Pantas saja Elina juga melahirkan bayi kembar. “Kaget ya?” ucap Elina terkekeh. “Iya, soalnya tidak pernah dengar kalau Pak Ethan punya kembaran.” sahut Mara masih menatap lekat Elina. Nyatanya bukan cuma wajahnya yang beda jauh dengan Aryan Jarvis, tapi sifat mereka juga. Elina benar-benar ramah dan hangat. Tidak seperti kakak bulenya yang angkuh dan menyebalkan. “Kalian tadi habis meeting dimana?” tanya Elina lagi. Kali ini dia duduk anteng mengamati Mara, sampai-sampai membuat gadis itu salah tingkah. “Dari kantor Asastra,” jawab Mara. “Betah kerja bareng abangku? Dia dan Ethan itu sama saja, suka bikin kesal.” “Betah, soalnya Mbak Dila baik banget orangnya.” sahut Mara dengan senyum canggungnya. Mana mungkin dia bilang tidak betah, atau mengkoreksi ucapan Elina kalau abang bulenya bukan cuma suka bikin kesal, tapi membuat Mara ingin mencekiknya. “Mara …” “Iya,” sahut Mara menoleh menatap Aryan yang datang mendekat. “Telepon keluargamu dulu, bilang kalau pulang telat. Nanti mereka bingung mencarimu, karena ponselmu tidak bisa dihubungi!” ucapnya sambil mengulurkan ponsel miliknya. Melihat ponsel mata Mara langsung berbinar senang. Paling tidak dia bisa mengabari pacarnya, supaya tidak kebingungan mencarinya di depan kantor Asastra. “Saya kost, orang tua saya tinggal di Bandung. Kalau pinjam buat telpon yang lain boleh nggak, Pak?” tanya Mara penuh harap. “Nggak!” jawab Aryan ketus, lalu pergi dari sana. “Dasar pelit!” seru Elina menggeleng melihat kelakuan abangnya. “Kamu mau telpon siapa? Pakai ponselku saja, tidak apa-apa.” ucap Elina menyodorkan ponsel miliknya ke depan Mara. “Beneran boleh?” tanya Mara yang justru terlihat ragu. “Tentu saja boleh, tidak apa-apa.” sahutnya beranjak melihat jamur gorengnya. “Terima kasih, ponsel saya rusak setelah tadi terjatuh di lobi kantor Asastra.” ucap Mara, lalu menyingkir sebentar untuk menghubungi pacarnya. Elina masih sempat melirik penasaran dengan gadis yang dibawa abangnya pulang itu. Entah siapa yang ditelpon, tapi Mara justru terlihat galau saat mengembalikan ponsel ke pemiliknya. “Ayo, makan!” ajak Elina sambil membawa jamur crispy yang baru matang itu keluar. Mereka duduk berkumpul di meja makan, jamur yang tadi diletakkan tepat di depan Aryan. Mara yang duduk di samping bosnya benar-benar merasa canggung harus makan bersama mereka sekeluarga. “Selamat makan, Mara! Nggak usah sungkan, anggap di rumah sendiri.” ucap Elina yang sedang menambahkan lauk ke piring suaminya. “Iya,” angguk Mara, tapi tetap saja rasanya rikuh mau ikutan makan. “Kenapa? Nggak suka lauknya?” tanya Aryan melihat di piring Mara hanya ada nasi putih. “Nggak kok,” gumamnya lirih. Tak diduga, Aryan kemudian menambahkan ayam, sayur dan jamur ke piring Mara. “Alergi udang nggak?” tanyanya lagi, lalu mengambil beberapa setelah Mara menggeleng. Mata semua orang diam-diam mencuri pandang ke arah mereka, terlebih Ethan yang tidak pernah melihat abangnya bersikap manis ke wanita selain ke mendiang mamanya dan Elina. Bahkan dulu ke mantan pacarnya, sikap abangnya juga tidak seperhatian itu. “Bang Aryan kok nggak ambil sayurnya?” tanya Elina, karena biasanya abangnya paling suka sayur. “Sudah ganti selera, Yang. Sekarang kan sukanya daun muda yang masih segar. Enak dipandang, apalagi dipegang.” sindir Atha, ipar Aryan yang fotonya Mara tunjuk tadi siang. “Asal jangan nyolong punya orang ya, Bang!” tegur Elina, mungkin mulai bisa menebak setelah tadi Mara telponan. “Salah El, justru kalau punya orang itu tantangan. Semakin terlarang, semakin bikin penasaran. Iya kan, Bang.” timpal Ethan melirik abangnya dan Mara bergantian. “Aku sudah bilang jangan bicara ngawur! Nanti dia bisa salah paham. Kalau mau, yang seperti apapun aku bisa tinggal pilih. Kenapa juga harus berebut!” sahut Aryan setelah menelan makanan di mulutnya. “Jangan kapok main ke sini, Mara! Mereka kalau kumpul memang suka begitu, ribut terus.” ucap Aditya, papa mereka. “Enggak kok, Om.” geleng Mara. Mereka pun meneruskan makan, masih diselingi obrolan dan sesekali saling lempar ejekan. Dalam hati Mara mulai menerka-nerka, apa mungkin papa bosnya punya dua istri. Kalau seandainya benar, itu bahkan luar biasa karena anak-anaknya bisa seakur ini. “Mau udang lagi?” tawar Aryan, tapi Mara langsung menggeleng. “Kenyang.” “Setelah ini aku antar pulang,” ucap Aryan meletakkan sendoknya. “Nggak jadi lembur!” sahut Mara sinis. “Nggak, aku lupa berkasnya ketinggalan di rumah. Nanti biar aku selesaikan sendiri saja. Cuma sedikit kok,” jelasnya begitu enteng tanpa sedikitpun terlihat raut bersalahnya. Mara menghela nafas panjang, tapi pelan. Tetap jaga sikap di depan keluarga bosnya, meski rasanya dia ingin menelan pria di sampingnya itu hidup-hidup. “Mau lihat anak-anakku nggak, Mara?” tanya Elina “Mau,” jawabnya langsung beranjak dari duduknya mengikuti nyonya rumah yang untungnya ramah. “Dia masih bocah dan polos. Jangan jadikan mainan, atau kelinci percobaanmu! Sebenarnya tanpa harus kamu seret ke lantai atas pun, aku yakin dengan perjanjian itu Mara tidak akan berani macam-macam.” tegur Ethan setelah tidak ada lagi Mara dan Elina disana. “Perjanjian apa?” tanya papa mereka kaget. “Anak magang yang tadi itu tidak sengaja mendengar pembicaraanku dengan Bang Aryan, dan tahu soal hubungannya dengan Ivan. Jadi Bang Aryan memintanya membuat surat perjanjian dan menjadikan dia sebagai asisten Dila. Tapi, sepertinya niatnya sekarang bukan cuma sekedar ingin membungkam mulut Mara.” terang Ethan tanpa menutupi apapun “Bicaramu semakin ngelantur!” sanggah Aryan. “Wah, jadi ini ceritanya kelinci kecil masuk perangkap singa lapar. Jangan dimangsa, Bang! Aku lihat dia beneran baik. Bukan yang pura-pura sopan, tapi matanya jelalatan.” timpal Atha. “Bukan seperti itu, Tha.” “Memangnya kapan kamu pernah membawa gadis datang ke rumah? Jangan anggap kita semua bodoh tidak bisa melihat tatapanmu ke Mara!” cecar Ethan, tidak lagi menutupi rasa tidak sukanya. “Cukup! Orangnya disini, dan kalian ribut dengan suara sekeras itu!” tegur papa mereka. Aryan menghabiskan sisa minumnya, lalu beranjak pergi dari meja makan. Dia menyambar kunci mobilnya, lalu mencari Mara yang berada di kamar keponakannya. “Ya ampun, cantiknya!” sanjung Mara tersenyum lebar menatap bayi mungil yang tertidur pulas di gendongannya itu. Aryan mendekat, lalu mencium gemas pipi keponakannya. Elina yang sedang mengganti pampers bayinya laki-lakinya tampak mengulum senyum. Andai saja mereka bisa melihat abangnya bahagia seperti itu, bersama anak dan istrinya. Sayangnya Mara sepertinya sudah punya pacar. Padahal El senang dengan Mara yang cantik, sopan dan enak diajak ngobrol. “Ayo pulang! Aku masih ada kerjaan,” ajak Aryan. “Kok buru-buru?!” protes Elina. “Nanti Mara kemalaman. Dia kalau bangun telat, bisa kayak banteng apa-apa diseruduk.” sindirnya menatap geli Mara yang tersipu. “Aku pulang dulu ya, Kak El!” pamit Mara setelah memberikan bayi itu ke baby sitternya. “Lain kali main kesini lagi, ya? Aku juga punya beberapa teman yang seumuran denganmu dan masih kuliah. Lain kali aku kenalkan dengan mereka,” ucap El merangkul Mara mengantarnya sampai teras. Mara mengangguk, meski mungkin ini pertama dan terakhir dia datang ke sana. Mana mungkin ada lain kali, sedang dia hanya anak magang yang kebetulan diajak mampir oleh bosnya. Namun, jujur Mara senang bertemu Elina. Dibanding Aryan maupun Ethan, dia lebih santai dan memberi kesan hangat. Mobil melaju meninggalkan halaman luas rumah adik ipar Aryan. Mara masih sempat tersenyum dan membalas lambaian tangan wanita cantik yang baru melahirkan dua bayi kembar imut-imut itu. “Mara …” “Iya,” sahutnya. “Jangan didengar omongan mereka tadi! Adikku orangnya usil dan suka bercanda,” ucap Aryan. “Nggak lah, lagi pula kan tidak mungkin Bapak tertarik ke saya.” lontar Mara dengan santainya. “Oh, jadi menurutmu begitu.” gumam Aryan tampak manggut-manggut dengan senyum anehnya. “Bapak bukannya gay?” Sadar sudah keceplosan ngomong, Mara langsung membekap mulutnya dengan tatapan bersalahnya ke Aryan. Namun, bosnya justru tidak marah. Setelah menghentikan mobilnya karena lampu merah, Aryan menoleh dengan seringai dan sorot matanya yang membuat Mara meremang. “Kalau saya gay, berarti tidak bisa memuaskanmu di ranjang. Mau bukti?” tantangnya. Mara menggeleng kuat, lalu melengos menyembunyikan mukanya yang panas dan jantungnya yang berdegup menggila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD