Aleesa terbangun saat perutnya terasa lapar. Ternyata dia tidur hampir enam jam di dalam kereta. Mungkin karna tadi malam ia tidak bisa tidur karena resah takut tidak diterima oleh keluarganya. Aleesa gelisah membayangkan akan tinggal bersama orang tuanya. Ada rasa takut bunda masih membencinya seperti dulu. Ditatapnya hamparan sawah yang membentang luas, berusaha mencari tau sudah sampai dimana kereta itu membawanya.
Ia berusaha menikmati sisa perjalanannya dari Jogja ke Jakarta. dibukanya ragsum yang diberi bude, ada telur asin dan belut goreng kesukaannya. saat seperti ini, terkadang ia berpikir; mengapa bukan bude yang melahirkannya? Tapi, bukankah manusia tak punya daya untuk memilih dari rahim mana ia akan keluar?
Setiap kali teringat bunda, wanita yang melahirkannya, tenggorokannya terasa sakit yang disusul dengan mata yang terasa hangat. Sulit melukiskan rasa apa yang ada di hati. Ia teringat masa lalu, saat beberapa kali menghabiskan liburan sekolah di Jakarta. Sering ia menagis, sedih dengan perlakuan bunda padanya. Mungkin bunda kesal dengan caranya mecari perhatian sehingga membuat bundanya emosi. Karena tidak merasa di inginkan di rumah itu, akhirnya Aleesa sudah sangat jarang menghabiskan liburannya di Jakarta. Ia lebih memilih mengikuti Pakde jika sedang keluar kota untuk berkualan.
Tapi, kali ini ia berjanji tidak akan menyusahkan bunda lagi. Dia berjanji, kehadirannya di rumah itu, tidak akan membuat mereka sadar jika dia ada diantara mereka. Dia berjanji, tidak akan cemburu lagi pada Nela, tidak akan sok dekat dengan Wendy dan tidak akan mengganggu waktu istirahat ayah dan bunda.
Dipandangnya handphon yang tak juga berdering, tidak ada notif pesan masuk dari Ayah atau bunda, sekadar menanyakan posisi saat ini. Aleesa menghela napas, bukankah ia baru saja berjanji tidak akan merepotkan mereka? Gadis itu berusaha membohongi dirinya, bahwa dia tidak butuh perhatian keluarganya.
Aleesa menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia sadar tidak akan ada yang datang menjemputnya di stasiun, mungkin dia akan naik taksi. Uang pemberian Pakde lebih dari cukup untuk membayar taksi.
**
"Assalammualaikum," ucap Aleesa sembari memencet bel.
"Waalaikum salam." Bi Inah membukakan pintu, sejenak menatap Aleesa, kemudian berlalu. Sesaat ia mematung di depan pintu, rumah mewah ini terasa asing baginya. Sudah dua kali liburan semester, ia tidak berkunjung ke sini. Perlahan ia melangkah masuk. Koper sengaja diangkat agar tidak mengotori lantai.
"Bik, yang lain kemana?" Tanyanya mencari tahu.
"Loh, memangnya kamu tidak diberitahu?"
Aleesa menggeleng, memelas jawaban darinya.
"Hari ini, Bapak di angkat menjadi direktur HRD di perusahaannya, jadi ibu, Non Nela, dan Den Wendy semua merayakannya, mereka makan di restoran. Harusnya saya juga ikut makan di restoran mewah itu, tapi karena kamu mau datang, jadi saya disuruh ibu nungguin rumah. Duh, apes banget, deh."
Aleesa terdiam mendengar penjelasan Bi Inah, tenggorokannya kembali terasa kering. Segera ditepisnya rasa perih itu, ia membawa koper menaiki tangga satu demi satu. Tak peduli, seberat apa beban yang diangkat. Dia harus bisa membawanya sendiri tanpa bantuan siapapun.
Dihempaskannya tubuh ke atas kasur. Langit Jakarta mulai gelap, ada sepi yang menyelinap di sudut hatinya. Ditariknya napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan, lagi, dan lagi, hingga sesak itu hilang.
**
Aleesa bergegas turun dari lantai dua menyambut mobil ayah yang memasuki halaman rumah. Seuntai senyum kerinduan tergambar diwajahnya. Tapi lambat laun senyum rindu itu memudar melihat bunda dan kedua kakaknya acuh saja.
“Yah…” sapanya menjululurkan tangan pada pria paruh baya yang baru turun dari mobil.
“Kapan kamu sampai?” tanya ayah bas abasi.
“Tadi sore, yah!”
“Ya sudah, istirahat saja dulu, ayah juga mau istiraha!” ujar ayah sambil lalu.
Aleesa menunduk, didekatinya bunda sembari menjulurkan tangan.
“Bun…” sapanya.
“Hm,” sahut bunda sembari menyambut tangan Alessa, malas.
Aleesa tertegun sesat, tidak ada yang antusias menerima kehadirannya di rumah itu. Tapi, sepahit apa pun sambutan keluarganya, gadis itu bertekad untuk tetap bertahan di sana, karena di sanalah tempatnya.
**
Hari ini Alessa gelisah, ia sangat penasaran dengan hasil test masuk perguruan tinggi negri yang diikutinya. Dicarinya Namanya diantara ribuan nama yang tertera di layer ponselnya.
"Alhamdulillah ... aku lolos seleksi masuk kedokteran." Teriaknya girang. Ia melompat lompat bagai anak kecil yang dibelikan permen.
Dibacanya berkali-kali pengumuman hasil seleksi itu, tangannya berhenti di sebuah nama Aleesa Syani, iya, itu namanya. Buru buru ia mencari bunda, ia ingin memberitahu kabar gembira ini. ia berharap, bunda juga senang dan bangga padanya. Didekati bunda yang duduk membaca buku di ruang keluarga.
"Bun, Eca lulus kedokteran," ucapnya semeringah, menunjukkan hasil pengumuman itu.
"Hem," ucap bunda acuh tanpa menoleh.
Rasa bahagia di hati Aleesa perlahan sirna, tidak ada reaksi yang berarti dari bunda. Bunda masih sibuk dengan bukunya. Aleesa menunduk menyembunyikan sakit di hatinya.
"Kamu pikir jadi dokter itu mudah? Sekolahnya juga mahal! Ayah dan bunda tidak sanggup membiayai kamu kuliah kedokteran. Lagi pula, kamu nggak cocok jadi dokter, kamu itu cerobah, bisa bisa, sakit orang bertambah parah setelah kamu obati. Udah, deh, jangan yang ngak-nggak, Bunda lagi sibuk."
Deg,
Kata kata bunda, bagai belati yang menusuk uluhati. Perlahan, Aleesa mundur dari hadapannya, lalu menjauh dan kembali ke kamar.
Di tutupnya pintu kamar rapat, ia bersandar di pintu, tubuhnya merosot ke lantai. ia menangis tersedu-sedu sembari menutup mulut. Cita citanya menjadi seorang dokter, sepertinya hanya tinggal mimpi yang takkan mungkin terwujud.
Sejenak ia berpikir untuk mengambil PMDK yang di dapatnya dari sekolahnya di Jogja, pasti biayanya lebih murah, pikirnya.
Dicarinya sebuah amplop kuning yang di dapatnya dari sekolah, setelah memastikan amplop itu ada, di simpannya kembali amplop itu ke dalam laci. Nanti malam dia akan bicara pada ayah dan bunda, tentang PMDK itu.
Tak ingin membuang waktu, dirapihkannya kamar, dan membawa pakaian kotor ke dapur. Sudah tiga hari ia belum mencuci dan menyetrika baju. Walau ada Bik Inah, urusan kamar, cuci baju, setrika, bahkan cuci piring bekas makannya menjadi tanggung jawabnya sepenuhnya. Bi Inah keberatan mengerjakan pekerjaan itu, menurutnya jika tidak ada penambahan gaji, berarti tidak ada penambahan tugas. Aleesa menyibukkan diri dengan pekerjaan, berharap waktu bisa bergerak lebih cepat.
Seperti biasa, makan malam adalah waktunya kumpul keluarga. Aleesa duduk disamping Nela, kakak kandungnya. Nela selalu mendominasi percakapan, ada saja cerita yang ia bawa pulang dari kampus.
Wendy lebih slow, hanya sesekali ia membahas bisnis properti yang ia lakoni. Setelah semua selesai makan, Aleesa memberanikan diri bicara.
"Yah, Hasil pengumuman seleksi penerimaan mahasiswa baru, Eca lulus kedokteran," ujarnya ragu-ragu. Ia masih berharap mendapat dukungan dari orang tuanya, terutama ayah.
Ayah menoleh kearahnya. "Ohya?" Tanya ayah memastikan. Aleesa mengangguk pelan. diliriknya bunda, wajah itu tampak tidak bersahabat.
"Bun, uang bulanan Nela sudah menipis, transfer lagi ya, akhir-akhir ini, Nela banyak keperluan di kampus," ujar Nela memecah kesunyian, ia malas mendengar ucapan Aleesa.
"Iya, Sayang, nanti bunda transfer."
"Jangan lupa, loh, Bun! Nela mau ke kamar, masih banyak PR yang harus Nela kerjakan."
"Wendy juga mau keluar sebentar, Bun, Yah, ada urusan dengan teman."
Tanpa menunggu jawaban, Nela dan Wendy meninggalkan meja makan. Aleesa masih duduk menunggu, ia masih berharap sambutan ayah positif.
Hening.
Beberapa detik kemudian, tanpa berkta apa pun, ayah meninggalkan meja makan, lalu beralih ke ruang tv yang diikuti oleh bunda. Aleesa tertegun sejenak, tak tahu harus apa. Sayup sayup ia mendengar percakapan ayah bunda.