Eleanor membuka mata dan merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Kemudian dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang sudah sering dia lihat. Yaitu sebuah kamar yang berada di ruang kerja pribadi Javier. "Ah, ternyata aku masih hidup," gumamnya dengan pandangan kosong karena kecewa dirinya tidak mati.
Kemudian Eleanor bangkit dari atas tempat tidur dan mendapati dirinya masih berada di bawah lembutnya selimut tanpa sehelai benang pun. Lalu dia membuka selimut dan berniat turun dari tempat tidur. Namun saat menggerakkan kaki, dia meringis kesakitan saat merasakan bagian intimnya terasa perih. Dia melihat ke bawah dan mendapati intinya sedikit lecet dan memerah. Eleanor memasang raut wajah datar. "Lagi-lagi dia melakukan itu setelah menyiksaku."
Eleanor menoleh ke arah pintu saat mendengar suara pintu terbuka dan seseorang masuk ke dalam. "Ternyata kau sudah bangun," pungkas Javier datar sembari berjalan menghampiri Eleanor.
"Siapa yang menyuruhmu untuk turun dari tempat tidur?" tukasnya dingin saat melihat kaki Eleanor sudah berada di tepi ranjang.
"Aku harus pergi sekarang," ujar Eleanor ringan.
"Memangnya aku sudah memberimu izin untuk pergi?"
Eleanor terdiam sejenak. "Malam ini aku harus berangkat kerja," ungkapnya tenang.
Javier duduk di tepi ranjang. Lalu melirik ke arah pergelangan tangan Eleanor dan mendapati luka sayatan yang tampak belum kering di tangan kecil wanita itu. Pria itu mencengkram lengan Eleanor kasar. "Bukankah aku sudah pernah bilang padamu? Jangan pernah melukai tanganmu seperti ini lagi!" bentak Javier dengan raut wajah merah padam dan rahang yang mengeras saat mendapati Eleanor lagi-lagi berniat untuk mengakhiri hidupnya.
Sedangkan Eleanor justru hanya diam membisu.
"Lagi-lagi kau tidak mendengarkanku!"
"Sekali saja aku melihat kau melukai tanganmu lagi, aku tidak akan segan-segan membunuhmu!" desis Javier tajam dan mengintimidasi sembari menghempaskan tangan Eleanor kasar.
Eleanor menyentuh tangannya yang terasa nyeri. "Ini hanya sebuah luka kecil, bahkan tidak sebanding dengan semua luka yang sudah kau berikan. Tanpa aku melukai diriku sendiri, kau juga sudah banyak melukaiku. Bahkan lebih dari yang sudah kulakukan. Dan kau juga tidak pernah menunjukkan perasaan bersalah sama sekali. Jadi kenapa kau harus marah saat aku hanya memberikan sebuah luka kecil di tanganku? Padahal itu masih bukan apa-apa dengan semua bekas luka yang berada di tubuhku saat ini," pungkasnya ringan.
"Jika kau memang berniat menghabisiku, lakukanlah sekarang. Lagipula untuk apa aku hidup? Aku sudah terlalu kotor dan tidak pantas berada di dunia ini lagi," imbuhnya dengan tatapan kosong.
Javier tertegun. Ada kepingan menyesakan yang bergelenyar di sudut hati saat mendengar ucapan Eleanor.
"Atau kau bisa mengambil seluruh organ dalamku dan menjualnya untuk membayar hutangku padamu," imbuh Eleanor.
Pria itu tersenyum sinis. "Jangan bercanda! Bahkan semua itu masih belum cukup untuk melunasi hutang kedua orang tuamu," desis Javier sarkas.
"Mungkin aku harus menjual tubuhku juga," ujar Eleanor pelan.
Plak!!
Telinga Eleanor berdengung bersamaan dengan rasa panas yang membakar pipi tirusnya. Bahkan kini darah segar mulai muncul dari sudut bibirnya yang robek karena tamparan Javier.
"Beraninya wanita rendahan sepertimu mengatakan hal itu! Kau pikir aku sudi berbagi wanita dengan orang lain, hah?! Bahkan jika aku ingin, kau sama sekali tidak berhak untuk memutuskan. Karena di sini akulah tuannya. Dan kau hanya seorang wanita simpanan. Jadi jangan banyak bertingkah, ingat itu baik-baik!"
Eleanor hanya diam tanpa ekspresi sembari mengusap sudut bibirnya yang berdarah karena ulah Javier. "Entah sudah berapa kali kau menghina dan merendahkanku dengan kalimat menyakitkan seperti itu, aku tidak ingat. Mungkin sudah sampai puluhan, atau bahkan sampai ratusan kali. Tapi meskipun kau menganggapku sebagai wanita rendahan yang menjijikan, kau masih tetap saja memakai tubuhku untuk memuaskanmu. Bukankah itu sangat ironis?" pungkasnya dengan raut wajah tenang.
Javier tersenyum sinis merendahkan. "Sepertinya kau masih belum sadar dengan posisimu saat ini. Mungkin aku harus memberitahumu agar kau tidak sombong dan merasa jika aku benar-benar menyukai tubuhmu. Kau harus ingat, jika kau hanya alat untuk membayar hutang. Jadi jangan terlalu percaya diri. Karena aku hanya menganggapmu sebagai p*****r, dan tidak lebih dari itu," desisnya dingin dan menukik tajam.
Eleanor tersenyum hambar. "Terima kasih sudah membuatku merasa rendah dan tidak berarti apa-apa sebagai seorang wanita. Tanpa kau memberitahu hal itu pun, aku sendiri juga sudah sadar jika aku sama sekali tidak berharga di matamu," ujarnya dengan tatapan lurus ke depan.
Ucapan Eleanor seketika membuat Javier terdiam kaku. Hati pria itu berdenyut nyeri seakan teriris sembilu.
*****
"El!" panggil seseorang dari kejauhan.
Eleanor yang tengah membersihkan meja sontak menoleh ke arah sumber suara tersebut dan mendapati seseorang tengah berjalan ke arahnya dengan senyuman menawan di wajah tampannya. "Danzel ...," gumamnya saat melihat kakak sahabatnya tengah berada di restoran tempatnya bekerja.
"Aku pikir aku salah lihat, tapi ternyata itu benar kau. Apa kau bekerja di sini?" tanya Danzel ramah.
Eleanor mengangguk sembari tersenyum kecil.
"Aku cukup sering datang kemari saat meeting dengan klien, tapi kenapa aku tidak pernah melihatmu sebelumnya?" tanya Danzel heran.
"Karena aku hanya kerja part time di malam hari," sahut Eleanor.
"Ah, begitu rupanya. Pantas saja," gumam Danzel mengerti. Kemudian tatapan Danzel tertuju ke arah sudut bibir Eleanor yang terluka. Namun Danzel tidak menanyakan hal itu karena dia tau jika Eleanor tidak akan menjawabnya dengan jujur. Karena itu, Danzel mengurungkan niatnya untuk bertanya. Pria itu juga tidak sengaja mendapati bekas luka sayatan di pergelangan tangan Eleanor dari balik lengan baju panjang wanita itu yang sedikit terbuka.
Danzel terdiam dengan raut wajah yang sulit di artikan. Kemudian dia kembali beralih menatap Eleanor sembari tersenyum hangat. "Aku harus pergi sekarang, jaga dirimu baik-baik," pamitnya sembari menyentuh pundak Eleanor lembut.
Eleanor membalas senyuman Danzel sembari mengangguk pelan. Kemudian Danzel melangkah pergi meninggalkan restoran. Namun ketika beberapa langkah, dia tiba-tiba terhenti. Lalu membalik tubuh ke belakang.
"Ah, satu lagi. Jika kau membutuhkan bantuan dan memerlukan sesuatu, kau bisa datang ke rumahku. Kita sudah lama saling mengenal dan seperti keluarga, jadi jangan sungkan," ujar Danzel tulus.
"Terima kasih atas perhatianmu," tutur Eleanor dengan nada suara halus.
"Kau bisa bebas datang dan menginap kapan pun kau mau. Anggap saja seperti rumah sendiri. Aku justru senang jika ada yang menemani Oliv di rumah."
"Terima kasih banyak, aku pasti akan datang," tutur Eleanor tersenyum hangat.
"Aku akan menunggu kedatanganmu," sahut Danzel tersenyum lebar.
"Jangan sampai kau tidak datang, karena Oliv pasti akan merajuk dan mengamuk sepanjang waktu jika sahabat yang dinantikannya tak kunjung tiba," imbuhnya bergurau.
Eleanor hanya terkekeh.
Setelah itu, Danzel kemudian benar-benar pergi meninggalkan restoran tersebut. Eleanor menatap punggung Danzel dengan senyuman lembut yang menghiasi wajahnya. Akan tetapi, perlahan senyuman di wajah Eleanor memudar.
"Keluarga?" gumamnya tersenyum getir.
"Mungkin sampai kapan pun hubungan kita memang tidak akan pernah bisa lebih dari ini. Karena aku bukan siapa-siapa bagimu," lirih Eleanor dengan tatapan sayu.
TBC.