Mobil putih itu melaju menyusuri ibu kota. Keluar bundaran Jl. Prof. Dr. Mr Supomo/lingkar Utara belok ke kanan menuju Jl. Lenteng Agung Raya.
Mungkin ini terakhir kalinya aku melihat ibu kota, tatapan Laras tidak beranjak dari jendela mobil di samping kanannya. Dia seperti sedang berusaha menyusun memori di dalam otaknya agar bisa mengingat jalan-jalan ini dan dua tahun yang luar biasa di ibu kota. Tidak ada kata yang dapat diungkapkan ketika pertama kali menginjakkan kaki di kota ini selain takjub. Bagaimana tidak perempuan kampung dari kota kecil Trenggalek, kota yang terkenal baru-baru saja. Itu pun karena bupatinya adalah suami dari artis ibu kota. Jika bukan karena hal tersebut bahkan temannya tidak dapat mengingat dari mana dia berasal.
Gadis desa yang sehari-hari hanya berladang dan berkebun, tinggal bertiga dengan nenek dan ibunya itu memberanikan diri berangkat meraih mimpi mustahilnya. Yaitu masuk Universitas Indonesia jurusan sastra Indonesia. Mimpi yang berlebih, walau pun keberangkatannya telah dia persiapkan bertahun-tahun dengan menabung sedikit demi sedikit termasuk belajar sampai larut, yang berbuah manis tembus beasiswa Bidikmisi. Nyatanya dia hanya bisa bertahan sampai semester 4.
***
Masih melekat jelas. Sebelum berangkat dia berjanji akan membuat nenek dan ibunya bahagia. Dia juga berjanji pada dirinya sendiri akan mengirim uang pada ibunya tiap bulan untuk memenuhi kebutuhan dua wanita yang sangat berjasa itu. Nyatanya Realita sangat pahit.
Kali ini bahkan dia belum benar-benar tuntas mengurus surat cuti atau dia akan memutuskan berhenti kuliah. Nasib beasiswanya pun juga belum mampu dia pikirkan. Satu tahun terakhir tiap bulan dana itu terpaksa dikirim ke ibunya. Nenek sedang sangat membutuhkan. Ibunya melarangnya bahkan tidak bercerita kondisi neneknya. Laras mengetahui semua dari Eko dan Risa tetangganya sekaligus kakak-beradik yang jadi teman main dari kecil.
Untuk memenuhi kebutuhan Laras menyibukkan diri dengan jadwal mengajar privat dan part time di minimarket. Sisa yang didapat dari kerja di sela-sela kuliah itulah yang dia pakai untuk kebutuhan sehari-hari. Dan sepertinya dirinya mulai menyerah dengan keadaan.
Dia tidak bisa membayangkan bagaimana ibunya dapat mengurus nenek yang kabarnya tak lagi dapat berjalan, sekaligus mencari nafkah buat mereka berdua. Sedangkan di Jakarta Laras tak bisa membantu banyak. Parahnya tiga bulan lalu dia terpaksa berhenti dari Bee Market tempatnya bekerja karena ulah pelanggan sialan.
Sejak kejadian itu sebenarnya Laras sudah mencoba mencari kerja lain namun tidak ada hasil. Kini keputusan sudah bulat. Pulang membantu ibu mengurus Nenek dan membahagiakan keduanya.
***
Apa yang terjadi? Rio terkejut melihat perempuan yang berada di sampingnya itu meneteskan air mata (Laras). Walau tatapannya ke arah lain, jelas-jelas air mata itu terlihat mengalir di pipinya. Namun belum sampai Rio mencoba menegur, Laras segera menyembunyikan dengan mengusap pipinya lalu berpura-pura tidur.
Rio tak berani berkata-kata, dia tahu gadis itu ingin menyimpannya sendiri. Tak lama perempuan itu benar-benar tertidur.
***
"Ih orang ini menyebalkan sekali, apa dia tidak tahu aku sedang menyetir". Mobil Martin kini telah sampai di Jl. TB Simatupang. Diserahkan hp yang terus-menerus berdering itu pada Nana. Dengan segera Nana membalas panggilan.
"Sabar sedikit kenapa, tunggu saja di sana, kita akan sampai". Sahut Nana.
"Kalian benar-benar tidak akan meninggalkan ku?!". Hp itu di loud speaker, suara di ujung sana sama kakunya.
"Awas saja kalau meninggalkan ku, kalian tanggung akibatnya". Ancam suara itu.
"Sudah numpang, mengancam lagi. Perbaiki sikapmu atau benar-benar kami tinggal". Martin tampak sangat jengkel. Lalu meminta Nana mematikan teleponnya.
"Kau benar-benar akan meninggalkannya?". Tanya Nana
"Jika aku bisa akan aku lakukan dari dulu". Jawab Martin ngasal.
"Ternyata makhluk itu masih kamu anggap teman, hahaha". Nana tertawa geli.
"Ini adalah bantuan terakhir dariku, dia janji ini yang terakhir, aku sudah tak mau lagi berurusan dengan buronan itu".
"apa?! masih buronan?".
"hu...uh, begitulah". Martin menghela nafas. "Sepertinya setelah dia naik aku harus mematikan teleponku". Martin meneruskan. Nana tampak bingung mendengarnya.
"Yah atau mobil ini akan di lacak sebelum kita sampai Surabaya". Lanjut Martin meluruskan.
"Segitunya". Nana tampak tercengang, menganggap Martin terlalu berlebih.
"Kau pikir Leandra ganti nomor tiap saat kenapa?. Yah.. karena dia dilacak pastinya". Jelas Martin.
"Teman yang merepotkan". Nana membubuhi.
"Tapi setidaknya kau sudah bertahan dari SMP hingga sekarang. Kau sahabat yang setia". Nana menepuk pundak Marti meledeknya dengan sanjungan kosong.
"Hai kau tidak menganggapku budaknya lagikah?". Martin menyahut canda itu. Dan mereka berdua tiba-tiba tertawa bersama-sama. Obrolan yang hanya dipahami oleh mereka berdua.
***
"Rio sebelum masuk Tol Lkr. luar Jakarta kita akan berhenti sebentar. Kau gantikan aku di sana". Martin menemukan Rio tak lagi tidur.
"Perjanjian kita tidak begitu?". Rio mengingatkan lagi bahwa mereka akan bergantian dengan sistem tiap 3 jam perjalanan.
"Aku harus bicara dengan Leandra setelah dia naik nanti". Sahut Martin.
"Dia naik dari mana?". Rio
"Halte Kuning MCD, mungkin aku juga akan membeli beberapa hal di sana buat kita". Martin
"Baiklah". Rio
"Kau kenal Leandra kan?". Martin
"Apa ada anak UI yang tidak mengenalnya". Jawaban Rio penuh makna itu sudah sangat dipahami keduanya.
***
Dan akhirnya mobil itu berhenti di tempat parkir Halte Kuning Mcd. Martin keluar dari mobilnya lalu di susul Rio menuju kursi pengemudi. Setelah beberapa menit berlalu dia datang dengan membawa bungkusan air minum dan makanan ringan. tampak di belakangnya laki-laki berjaket hitam lengkap dengan celana Jeans dan topi serta wajahnya sengaja di tutup masker. Tampak berusaha menyembunyikan diri.
Di samping Rio, Nana menguap tertidur sesaat lalu keluar. mengetuk pintu Laras.
"Laras kamu temani Rio di depan ya. . . ". Pintanya. Laras menurut sebelum akhirnya setengah sadar bertabrakan dengan laki-laki tinggi tegap dengan jaket hitam.
"Au, maafkan aku. aku tak sengaja". Laras mengumpulkan kesadarannya. Hanya mata tajam menatapnya yang dia dapati, muka laki-laki itu tertutup masker.
"Ayo cepat masuk". Martin meminta laki-laki itu segera memasuki mobilnya.
"Ah... apa-apaan ini aku tak mau desak-desakan di sini. sudah ku bilang aku akan tidur di kursi paling belakang". Laki-laki berjaket hitam itu Leandra.
"Sudah kubilang bagasi tak cukup makanya kursi belakang dilipat. Dan kursi tengah ini adalah satu-satunya pilihan". Martin menjelaskan dengan sangat baik, menekan dan sedikit memaksa. Laki-laki itu tampak berpikir.
"Jika kau menginginkan jet pribadi jangan ikut". Kata Nana diakhiri menjulurkan lidah.
"Menyebalkan, kau Na". Leandra melemparkan tasnya begitu saja ke belakang tidak peduli dengan barang-barang yang lain.
"Hai jangan taruh dia di tengah, aku yakin dia mandi di sembarang tempat". Nana menunjuk Leandra dengan telunjuknya, mengusir. Martin menengahi mereka. Dan duduk di antara keduanya.
Mobil itu siap melaju. Sesaat kemudian Leandra melepas jaketnya lalu mengibaskan pada Nana.
"Dasaaaar.... Kau mau aku pukul". Nana berusaha meraih Leandra. Martin di tengah berusaha menenangkan keduanya. sudah jangan kekanak-kanakan.
Di belakang tampak ribut sekali. Ya, mereka bertiga adalah orang-orang dari satu almamater sejak SMP.
"Jika kalian ingin makan atau haus aku taruh di sini". Martin memberitahu.
Sesaat kemudian tampak salah satu dari ke limanya segera mengambil Burger. Dia membuka penutup mukanya untuk makan. Dari kaca spion Laras mengamatinya. Sepertinya aku pernah melihat?, Leandra?, sepertinya tidak asing?, bukankah dia pelanggan sialan itu.