Wastafel Portabel

1130 Words
"Gila! Ini enak sekali!" Lupa di luar sana ada suara takbir pertama bersahut-sahutan tanda idul fitri sudah datang dan siap di sabut esok pagi. Sekelompok anak muda ini berlarian penasaran dengan genderang tabuhan unik yang sebelumnya sempat mereka dengar. "Kalau mau melihat lebih jelas sebaiknya berjalan keluar gang, di depan sana ada tanah lapang biasanya akan ada yang menyalakan kembang api dan mercon di sana," Selaras memberi tahu ke tiganya, tiga anak kota yang penasaran tersebut adalah Rio, Nana, dan tentu saja Martin. Kenapa hanya tiga? Sebab yang satu masih duduk mengamati mangkuk-mangkuk makan yang memang belum sepenuhnya habis. Entah apa yang membuat Leandra mengamati mangkuk-mangkuk tersebut? Pada gerakan laras yang mulai menelusuri wadah bekas-bekas yang berserakan. Ibu gadis ini datang. "Laras," dalam suara sopan terdapat patahan tanda perintah. "Injeh buk,"[1] Laras buru-buru berjalan menyambut panggilan ibunya. "Tidak sopan membersihkan wadah makanan ketika masih ada tamu yang makan," sebenarnya kalimat ini berbahasa Jawa. Laras mengangguk mengiyakan ibunya, dalam aturan tidak tertulis tradisi masyarakat Jawa tamu adalah raja, dan tidak di perkenankan ada tindakan yang seolah membuat para tamu tidak nyaman. "Sampean sakniki ibu kongkong neng omahe lik Manto, kancamu akeh lanange. Ora apik, neng omah iki ora ono tiang jaler seng ngewangi nunggoni," (Kamu sekarang ibu minta-i tolong ke rumahnya paman Manto, temanmu mayoritas laki-laki, tak baik, di rumah ini tidak ada seorang pria yang membantu menjaga) "Sampun madol pak RT tho buk," (Sudah memberi tahu pak RT –kah bu) "Sampun, Oh' ojo nganti kelali, nyileh selimut," (Sudah, oh' jangan sampai lupa, pinjamkan selimut sekalian) "Njih buk," gadis ini beranjak dari tempat berdirinya melewati Leandra yang masih bertingkah aneh menamati mangkuk demi mangkuk sama seperti tadi. . . Ibu Selaras akhirnya tidak tahan, bagaimana bisa pemuda itu masih melakukan hal yang sama sejak tadi, mungkin dua puluh menit telah terlewati. Akhirnya ibu berbaju sederhana, rok di bawah lutut, hem seadanya, dan rambut di gelung ini mendekati pemuda tertegun. "Oh' Gusti.," gumamnya dalam hati baru menyadari apa yang di bingungkan pemuda ini. Dulu ketika almarhum bapak Selaras masih ada, hal yang sama terjadi pada beliau, sebab jari bapak Selaras tidak lengkap. Kelingkingnya terpotong tanpa sengaja karena sabitan celuritnya sendiri ketika mencari rumput. Jadi beliau kesulitan makan menggunakan tangan. Dari awal berebut makanan, Leandra makan paling lambat sebab pria tinggi tegap ini tidak mampu menggenggam dengan benar, dia menjimpitnya dengan ibu jari dan dua jari lain yaitu telunjuk serta jari tengah. Bisa di bayangkan betapa kikuknya dia dan betapa kesulitannya menjimpit sesuap makanan. Ibu Laras buru-buru lari ke dapur, perempuan yang terkesan berusia lebih dari 40 tahun ini meraih tangan Leandra dan tanpa bicara meletakkan sendok pada telapak tangannya. Ada senyum terbit di wajah bu Sumi, nama ibu Selaras. Agaknya perempuan ini tahu Leandra tadi mengamati mangkuk lamat-lamat karena ingin merasakan sayuran berkuah, akan tetapi dia tidak tahu cara makan dengan tangan ketika makanan tersebut berkuah. Leandra tak seahli yang lain yang mampu menyuap makanan dengan kelima jari mereka. Leandra terlihat canggung dan malu sekali. "Ayo di terusno makannya," campuran bahasa Jawa dan Indonesia yang terdengar sangat halus. Entah apa yang terjadi, membuat getaran dalam hati Leandra. "Tole bagus purun yang mana?" tampaknya ibu Selaras berupaya menggunakan bahasa Indonesia untuk berinteraksi dengan Leandra. Leandra hanya nyegir dan menggerakkan sendoknya menuju sebuah sayur yang paling aneh menurutnya. "oh' sampean preso-," ibu Laras mengerutkan keningnya mencari kata yang lain, "Kamu tahu ini sayur apa?" bahasanya sudah standar Indonesia tapi logatnya konsisten Jawa timur Kulonan. Otomatis Leandra menggeleng, mana mungkin Leandra tahu apa itu sayur lodeh lompong Talas. Kuah berwarna putih seperti sayur kuah untuk anak balita yang tidak suka pedas, tapi ketika kuah tersebut menyentuh lidahnya, serasa ada rasa pedas, gurih santan, dan rempah unik, meluber bersama batang yang empuk lumer berbentuk tabung. "Ini unik, tapi enak," Leandra memuji hasil karya ibu Selaras. Perempuan yang di puji tersenyum anggun, walau penampilannya demikian sederhana. Dan lagi-lagi sesuatu di dalam hati Leandra ikut bergetar tersentuh oleh keramahan ibu Laras. Perempuan Jawa ini buru-buru menawarkan jenis sayuran lain, "Sampean, Oh'-," menyadari salah ucap ibu Selaras mengganti dengan kata lain, "Kamu tidak ingin mencoba yang ini?" "Itu cabai besar –kah? Aku tidak bisa makan pedas," tutur Leandra. "Dicoba saja," Ibu Selaras meletakan oseng kulit melinjo di atas piring Leandra, "Hee.. Tidak pedas," katanya sambil berbinar memasukkan sesuap nasi lagi pada mulutnya. "Apa namanya?" berawal dari makanan seorang ibu Sumi, wanita kampung yang minim kemampuan berbahasa Indonesia dan seorang pemuda metropolitan yang kesulitan memahami logat Bahasa Jawa menjadi akrab seketika. Mereka bertukar komunikasi dengan bahasa se- mengertinya dan sepahamnya, akan tetapi lebih dari hangat untuk saling menanggapi. "Boleh saya membantu, em.. membereskan ini?" Leandra menawarkan diri. "Mboten usah," penolakan bu Sumi tak berarti. Lendra bangkit dari duduknya dan membuntuti ibu Selaras dengan membawa bekas-bekas piring termasuk mangkuk sisa makanan. Bahkan pria ini turut serta duduk di tepian timba besar di kelilingi dua bak, alat pencuci piring sederhana. Leandra menamatkannya dengan takjub, timba besar itu diletakkan di atas batu bata merah yang di lapisi semen ala kadarnya, di mana pada ujungnya terdapat kran air dari plastik yang merupakan modifikasi sendiri. Ketika kran di putar maka air akan mengalir layaknya kran wastafel meluncurkan air sehingga wadah bak di bawahnya akan menjelma sebagai cekungan wastafel itu sendiri. "Kau ingin membantu, Lee..? (Thole/nak/anak)" mendengar ucapan bu Sumi, Lendra yang sedang duduk dengan dingklik kecil asyik mengamati kearifan lokal menakjubkan ini, mengangguk. "Nyalakan saklar itu, lalu timba -kan air untuk ibu," Lendra berdiri, ternyata setelah skalar dia tekan. lampu yang tadinya temaram kuning, kini di tambah lampu lain sehingga terasa menyala lebih terang dan tak jauh di hadapannya terdapat sumur berbentuk lingkaran dengan pembatas setinggi pinggang. Leandara mendekat, lebih dekat lagi dia mengintip, lalu dengan berhati-hati meraih timba di atasnya, kemilau air yang dasarnya hitam terpancar, "Bu.," Suara itu terdengar mirip keluhan anak manja, "Apa di bawah tidak akan ada hantunya?" Ibu Selaras tidak bisa menahan tawa, perempuan sederhana ini berucap dengan kalimat berbahasa Jawa, "Enten, rambut -ipun panjang saestu, ananging tasik ngedeni nesune ngendukku Selaras," (Ada, rambutnya panjang, sungguh, akan tetapi lebih menakutkan marahnya putriku Selaras) Karena Leandra tak paham dia berpikir kata 'Enten' adalah 'Entah' maka pemuda ini percaya diri saja, menurunkan timba dan menariknya ke atas, sejalan kemudian mengiri timba besar yang dia sebut wastafel portabel. *** "Hai, mau ke mana??" Langkah lari pemuda bernama Rio mengiringi jalan ringan Selaras menuju ke rumah tetangganya yang biasa dia panggil Lik Manto. "Boleh aku ikut," Rio baru bermain dengan anak-anak kampung bersama Nana dan Martin, tanah lapang dekat Mushola perkampungan demikian indah. Bukan karena hiasan, tapi tawa anak-anak yang berkumpul jadi satu memainkan kembang api dan bambu-bambu hijau yang bisa mengeluarkan bunyi keras sekali mirip bom molotop. "Ayo.." Laras mengiyakan da Rio menganggukkan kepala. [1] Injeh : Iya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD