Karena aku pergi cukup cepat, aku harus mendapat kesialan, bertepatan dengan jam pulang kantor aku harus mendapati kemacetan sampe berjam-jam. “Apes banget deh hari ini.” Gerutuku. Namun aku cukup bahagia karena tak telat sampe club. Disana sudah ada mereka yang menunggu ku. Suara bising dan lampu kerlap kerlip menjadi suguhan utamanya saat aku baru saja masuk kedalam, aku sudah terbiasa dengan semua ini, tapi sepertinya aku meraskan ada saja kekurangam karena pertemuan kami ini tanpa si b******k itu.
“Hay guys!” Sapaku, mereka pun menoleh dan melihat aku sudah berada di samping sofa.
“lho kok lama sih datenganya? Nih si peak udah hampir habisin dua botol loh!” seru Bagas.
“Aku kena macet.”
“Nyokap lho tau lo kesini?” tanya Lola. Aku pun hanya menggeleng. “Mendingan nih, entar lo balik ma gue aja, biar lo nggak kena omel.” Usulnya lagi. Aku hanya diam menimbang ucapan itu. “Daripada lo bengong nggak jelas gitu, mendingan lo minum dulu tuh, biar otak lo ringan. Ucap Restu sambil menyodorkan aku gelas yang sudah berisi cairan merah. “Kayaknya lo pada dah pada kaya ya, sampe bisa beli minuman kayak gini.” Ucap ku sambil meneguk isi gelasnya.
“Lah, lo kemana aja Vin, dari dulu juga kita anak sultan, jangan kan minuman kayak gini.” Ucap Restu sombong sambil menunjukkan minuman di atas meja.
“Club ini aja bisa gue beli kalo gue mau, tanpa harus gue kerja.” Sambungnya lagi bangga. Tanpa perduli dengan ocehan yang memang kenyataannya itu aku terus saja minum.
Bahkan tanpa menunggu lama satu botol itu sudah tandah masuk ke lambung ku. Pikiran yang tadinya penuh dengan Rendra dan Nova itu kini perllahan hilang. Aku tau minuman dan berkumpul dengan mereka adalah pelarian yang trrbaik dari semua masalah ku. “Lho masih mau minum lagi Vin?” kepala ku yang sudah berat dan pusing membuat ku susah untuk menjawab pertanyaan dati Lola, wanita ini juga masih sama keadaannya dengan ku, Neni dan Bagas sudah lenyap entah kemana. “Say, lho jadi balik ma gue nggak?” tanya nya kembali. Aku hanya mengangguk sekali. Setelah itu entah apa yang terjadi padaku kembali. Mentari sudah bersinar, masuk melalui celah gorden yang menutup jendela.
Mataku mulai perlahan terbuka, ku pegang kepalaku, pening masih menguasainya. “Kamu dah bangun?” suara itu. Aku menoleh dengan cepat. Disana ada Rendra yang bari saja keluar dari kamar mandi. “Kenapa aku bisa ada disini?” tanyaku.
Dengan cepat aku turin dari ranjang. “Tunggu.” Pikir ku. Seperti ada sesuatu yang ganjal di tubuh ku. Ringan dan dingin. Denganperlahan aku buka selimut yang menutup tubuhku sampai d**a. Betapa tetkejutnya aku. “Apa yang sudah kamu lakukan padaku brengsek.” Teriakku. Aku melihat sekeliling. Ini bukan seperti kamarnya. Ini mirip sekali dengan hotel.
Aku kembali menatap tajam dia yang perlahan muali mendekat padaku. “Mau apa kamu?” tanyaku. Aku meringsut kembali ke atas ranjang. Semakin dia mendekat aku pun semakin mundur, bahkan aku sudah sampai di sisi lainnya, dia masih saja me dekat. “Kanapa kamu harus takut padaku Vina? Bukan lah dulu kamu memujaku? Tapi sekarang kenapa kamu menjauh, apa kamu tak pernah bermimpi berada di bawah kungkunganku?” lirihnya menggoda dan menaikkan kedua alisnya.
“Aku menyesal telah mencintaimu. Dan aku nggak akan pernah bermimpi berada di bawah ku boadab.” Teriakku.
“Segitu bencikah kamu dengan kesalahan kecil yang aku lakukan sayang!” “Cukup, apa yang telah terjadi pada kita hah? Apa yang sudah kamu lakukan padaku?” tanyakh emosi.
“Kamu pikir apa yang kita lakukan semalam, dua manusia yang berbeda jenis, berada dalam satu kamar dalam kondisi mabuk. Kamu bisa bayangkan bukan. Dan kamu perlu tau bukan salah ku jika kita melakukan itu sayang.” Ucapnya. “KAMU!!”
Geram ku.
“Kenapa sayang, bukankah selama ini aku tak pernah menyentuhmu melebihi bibir ini.” Si b******k itu mengelap bibirku.
“Aku merindukanmu sayang, sangat, panggilan itu, manjamu itu, aku rindu.” Lirihnya. Aku mulai terisak.
Kemana mereka yang semalam ada bersamaku, apa ini jebakan mereka. Ya Tuhan apa yang sudah aku lakukan. Hiks Hiks Hiks “Sayang kenapa kamu nangis.” Ucapnya. Kenapa dia beribah sekarang sikapbya persis speryi orang gila.
“Kenapa kamu kayak gini hah, kamu dah gila, kamu melebihi batas kamu, apa yang sudah terjadi, jangan bilang kita sudah... tidak, tidak.”
Aku menggeleng dengan pikiranku, namun Rendra memegang kedua pipiku.
“Kenapa tidak sayang. Kita saling mencintai bukan?” tanyanya. “Nggak, kamu gila Ndra kamu gila.” Teriakku.
“Dia pun semakin mendekat bahakn jika tidak ada selimut yang menghalanginya maka tubuh kami sudah pasti menempel seperti perangko.
“Aku mohon jangan, tolong Ndra aku nggak mau ma kamu lagi, tolong jangan sentuh aku, aku mohon.” Pintaku memelas. Aku pengang dengan erat selimut itu. “Iya aku emang gila, dan kamu yang buat aku kayak gini.” Dia masih saja mendekat dan mulai mencium leherku.
Dengan sebelah tangan aku menarik rambutnya agar menjauh dariku. “kamu kenapa Vin, kenapa sekarang kamu takut, aku sayang sama kamu Vin, aku bersumpah dan aku janji nggak akan nyakitin kamu lagi, aku mohon.” Pintnya sambil menautkan kedua tangannya. Aku hanya menggeleng. “Aku nggak akan pernah Ngulangin kesalahan untuk yang kedua kali, sekarang tolong menjauhlah dari aku sekarang.” Pinta ku.
“Aku mohon jangan kamu siksa aku kayak gini Vin.” Ucapnya frustasi. “Aku nggak pernah nyoksa kamu, tapu kamu yang buat aku kayak gini.” Balasku. “Tapi aku udah minta maaf, tolong kasih aku kesempatan.” Pintanya.
“Nggak.” Aku menggeleng.
“Aku nggak akan pernah maafin kamu, apalagi ngasih kamu kesempatan.” Ucap ku.
“Vina lama-lama kamu bikin aku gila. Aku setres jauh dari kamu Vin. Aku kangen ma kamu. Aku cinta ma kamu.” “Nggak kamu bahong Ndra, dan aku mulai sekarang rasa itu udah berubah jadi benci.”
Dia pun dengan amarah menjauh dari ranjang. Dan itu bisa aku jadikan kesempatan untuk mencari pakaian yang bisa aku pakai. Karena aku mencari pakaian ku entah berada dimana. “Seharusnya aku tau Vin, hati aku cuman buat kamu, dan aku nyesel banget dah kayak gini. Aku nyesel Vin.” Ucapnya.
Dia masih saja sibuk mengucapkan penyesalannya. Aku memanfaatkan keadaan itu untuk memakai apapun yang bisa menutup tubuhku. “Seandainya kamu kasih aku kesempatan, aku nggak akan kayak gini.” Ucapnya sambil berbalik.
Dia terkejut melihat ku, memakai sweternya yang hanya menutup tubuhku sampai paha dan sudah memegang handle pintu. “Vina.” Lirihnya. “Aku mau pulang. Tolong.” Pinta ku. Dia tak menjawab hanya saja dia perlahan mulai mendekat dan berdiri tepat di hadapanku. “Ok. Aku bakalan biarin kamu keluar dari sini. Tapi aku mohon, jangan jauhi aku kayak kemaren, dan tolong buka semua blokiran kamu ke semua sosmed juga telpon. Please.” Aku mulai bepikir laki-laki di depanku memang sudah tidak waras.
Namun agar dia bisa membebaskan aku dari sini, mungkin dengan kata iya aku bisa membuatnya luluh. “Iya, tapi aku mohon buka pintunya.” Ucapku. Dia menuruti kataku seperti dulu. Kenapa dia membuat semua kenangan yang dulu ku pikir indah kini membuat aku tersiksa. Setetes air mata membasahi pipi yang tadi sempat mengering kini basah kembali.
“Kamu kenapa sayang? Kenapa nangis, apa kamu takut di marahi ma mma kamu?” tanyanya. Aku hampir melupakan wanita itu yang mungkin sudah menungguku di rumah dengan amarah. Tanpa ku jawab pertanyaan Rendra aku langsung saja pergi dari tempat terkutuk itu.
Entah betada di mana tas dan semua isinya bahkan gawai ku, aku tak tau dimana, ya tuhan bagaimana aku akan pulang sekarang. Sesampainya aku di depan hotel, aku bingung apa yanv harus aku lakukan, bahkan ada beberapa pasang mata yang melihatku. Lihat saja Bagaimana penampilanku saat ini, persis seperti orang gila. Rambut berantakan, sweter yang hanya menutup sampai paha, dan yah, mungkin juga melihat mataku bengkak serta wajah yang urakan, ya toyibah, begini banget yah hidupku.
Entah barapa lama aku berdiri mematung di tempatku, tidak mungkin sekali aku akan masuk kedalam dan meminta bantuan dari Rendra. Itu tidak akan mungkin, dalam sekelebat pikiranku, sebuah mobil hitam berhenti di depanku. “Mbak Vina kan?” tanyanya.
“Iya, saya Vina, ada apa mas?” Tanya ku balik. “Mbak pesen taksol kan?” “Maaf mas, rapi saya tidak merasa pesan apapun.” “Tapi disini,” sopir taksi itu menunjukan gawainya pesanan yang di tujukan atas namaku. Memang benar itu nomor dan nama ku, bahkan telah di bayar pula. “Iya mas, itu memang benar nama saya, juga nomer saya, tapi sekarang saya lagi nggak pegang hp.” Jujurku. “Nggak papa mbak, lan sudah di bayar, lebih baik saya antarkan ke lokasi yang di kirim aja.” Ucapnya. “Baiklah mas, terimakasih.” Ucapku. Aku pun menaiki taksol itu, di dalam sana aku terus berpikir siapa yang telah memesannya untukku.
“Apa Rendra?” lirihku. “Atau jangan-jangan.” Aku geram jika memang benar merekatelah rencanakan ini semua, tapi mungkin nanti aku pikirkan hukuman yang pantas untuk mereka, sekrang yang paling penting aku harus memikirkan jawaban apa yang haris aku berikan pada wanita yang ada di rumah sekarang ini.
“Mbak, sudah sampai.” Ucap sang sopir. Aku kaget bukan kepalang, berarti aku cukup lama melamun. “Terimakasih mas.” Balasku. Aku pun turun dari mobil itu dan memencet bel yang ada di gerbang. Tettttt Tetttttt “Ya tuhan bantu aku.” Bantinku.