Larangan

1386 Words
     Kemaren sepulang sekolah dan kena marah karena telat sampai rumah. Hari ini aku ada janji dengan para sahabatku. Kota akan pergi ke Club yanh biasa Rendra datangi. Biasanya aku jarang mau di ajak  pergi ke tempat bising seperti itu, kami biasa menghabiskan waktu untuk bersenang-senang di pantai atau dimana saja yang jauh dari keramaian. Tapi karena kemaren dan hari ini aku kena damprak mama baruku, aku lebih memilih keluar. Baju tipis berwarna silver, memperlihatkan perut bagian tengahku, celana jen's pendek hanya sebatas paha, dan jangan lupakan tas keluaran terbaru yang aku order online dari butik langganan. Gawaiku bergetar di nakas samping ranjangku, ku lihat para sahabatku sudah menunggu di depan gerbang, enggan untuk masuk pekarangan seperti dulu karena takut kena semprot lagi. Aku keluar dan menuruni anak tangga. Mama Nova baru saja keluar dari dapur untuk mengambil sesuatu. Dia melihat ke arahku. "Mau kemana Vin?" Tanyanya, aku kembali menuruni sisa anak tangga. Aku berdiri di depannya. "Mau jalan ma temen." Jawabku jujur. "Lihat!" Ucapnya ia mengarahkan telunjuk untuk melihat jam di dinding ruang tamu. Jarum pendek sudah tepat angka sembilan. "Main jam segini?" Tanyanya heran. "Ini waktunya orang balik rumah Vin." Geramnya. "Lagian papa kamu juga nggak ada di rumah, dan kamu..." Sambungnya sambil menunjuk wajahku. "..Mau keluar main jam segini! Kamu masih waras kan?" Ujarnya lagi. "Jangan norak deh Ma! Ini tuh zaman modern, bukan zaman aki-aki kayak mama dulu." Jawabku. "Jam segini tuh masih normal, malah ini masih pagi di Jakarta, So, mama harus terbiasa dengan kehidupan disini." Jawabku santai. Aku tau dia kesal terlihat dari wajahnya yang sawo matang kini sudah berubah memerah. Aku tidah perduli.      Aku langkahkan kaki menuju pintu. "Mama tidak ijinkan kamu pergi." Ujarnya. Aku menoleh sekilas sebelum benar-benar keluar. "Aku tidak butuh ijinmu." Jawabku tegas. Aku segera berlari ke gerbang, karena di luar ternyata gerimis, sampai mobil aku mengambil tisu dari dashboard mengelap sedikit tubuhku basah terkena gerimis.       "Mama baru lo enggak ngamuk Vin?" Tanya Bagas yang memegang kemudi, di sampingnya ada Neni, yang aku tau mereka pacaran, sementara di tengah ada aku dan Rendra, dia membantuku mengelap sisa air di wajahku, dan di bagian belakang ada Lola dan Restu, yang asik ciuman, bahkan decapan sensual dan nikmat mereka sampai terdengar.    "Wow!" Teriakku. "Kalo mau cipokan liat tempat dulu peak," ujarku sarkas, namun mereka seakan hilang akal tak ada yang mengalah dan tak ingin berhenti. Rendra masih mengelap wajahku, dan Bagas sudah menjalankan mobil berbaur di jalan dan mulai masuk area kemacetan. "Astaga!" Keluhku. Aku sepertinya akan bosan dengan kemacetan kota ini, entah berapa lama kami akan berada disini, tapi dua insan di belakang ku masih saja sibuk dengam kegiatan mereka, Bagas diam, ku lihat tangannya meraba tubuh Neni, mungkin bisa menjadi hiburan menunggu jalan kembali normal.    "Kok kayak nggak seneng gitu sih yang?" Tanya Rendra sambil menarik kepalaku untuk bersandar di bahunya. "Kamu berantem lagi ma mama kamu?" Karena aku tak menjawab kembali ia membuka suara. "Kamu kenapa hemm?"  "Kamu pasti tau yang jawabannya." Jawabku. Rendra merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku sudah tak menghiraukan decapan sensual dari Lola dan Restu yang semakin terdengar keras, lain halnya dengan sejoli di depanku yang mendesah tak karuan, ku lihat Bagas semakin liar dan agresif, entah apa yang ia raba di sana, hingga membuat Neni mendesah tak karuan. Aku mendongak melihat Rendra, dan di saat yang sama pun Rendra melihatku. Satu kecupan mendarat di keningku hangat rasanya mendapat perlakuan seperti itu. *******      Mobil yang di kemudikan Bagas akhirnya terparkir mulus di sebuah Club, setelah melewati kemacetan yang di selingi kemesraaan para pasangan, akhirnya kita sampai juga. Terlihat biasa saja dari luar nyatanya saat pintu terbuka, lampu kerlap kerlip menjadi sambutan dan suara bising menjadi penghuninya. Kami berjalan duduk di sofa yang telah Restu pesan, sementara Rendra dan Bagas memesan minuman untuk kami. Aku kurang nyaman disini, bising dan melihat beberapa wanita yang hanya menutup bagian intinya saja sedang bergoyang di tengah-tengah kaum adam yang sudah menatap liar.      Jujur aku suka minum, tapj bukan disini, aku pernah datang kesini tapi nggak malem, melainkan siang bersama mereka juga, tapi rasanya aneh juga berada disini, lebih ramai daripada pertama aku datang.   Rendra yang melihaku sedikit risih pun membuka sauara. "Kenapa nggak nyaman?" Tanya yang melihat tingkahku dan memeluk bahuku. "Sedikit." Jawabku jujur.  Entah barapa gelas sudah ku minum, ku lihat Rendra tak mabuk sedikitpun. "Mau pulang?" Tanyanya, aku hanya mengangguk. Kepalaku pusing, perutku mual, penglihatanku berkunang-kunang. Rendra memapahku menuju mobil, ke empat sahabatku entah sudah lenyap kemana, aku tak tau.    Mobil itu membelah jalan dengan gerimis yang sedikit membuat jalan licin. Rendra dengan hati-hati menjalankan kuda besi itu. "Rendra berhenti." Ujarku. "Kenapa?" Tanyanya heran. "BERHENTI!" Aku merasa mobil sudah berhenti segera aku keluar dari mobil, aku menuju trotoar. Huekkkkk Huekkkkkk   Aku memuntahkan apa saja yang ada di perutkuRebdra meminjat tengkukku. Huekkkkk Huekkkk Huekkkkk Kembali aku mengeluarkan sisa-sisa apa saja yang aku makan, tubuhku rasanya sudah tak sanggup untuk berdiri, kepalaku benar-benar pusing.  "Kamu apakan anakku?" Aku kenal suara itu. SANGAT. Tapi kepala dan mata ini enggan untuk terbuka. Aku bisa mendengar Rendra meminta maaf. Sampai aku tak sadarkan diri.         Mataku mulai terbuka, aku memegang keningku ada sebuah handuk kecil disana. Ku lihat sekeliling seperti kamarku, dan ku lihat ke samping ada bubur kacang hijau. "Apa ini sudah pagi? Tapi jam berapa?" Lirihku. Aku mencari gawaiku tapi tak aku temukan, aku berjalan dengan tertatih menuju meja rias, namun tak ada juga.       Mataku melihat ke arah pintu yang terbuka, wajah mama baruku lah yang muncul. "Mama nggak mau papa kamu sampai tau yang semalam." Ucapnya tanpa basa basi. "Mulai sekarang jangan keluar rumah tanpa ijin mama." Larangnya lagi. Aku yang sudah muak dengan semua ini pun buka suara meski aku masih merasakan kepalaku berat. "Aku ingatkan sekali lagi, kamu nggak punya hak atas diriku dan hidupku." Tegasku telak. "Aku punya hak, dan aku disini  untuk kamu."  "Aku nggak pernah nyuruh kamu untuk ada disini." Jawabku. Berdebat dengannya membuat kepalaku makin pusing saja. "Mama nggak perduli, mulai sekarang, mama akan atur jam keluar  malam kamu, dan jam berapa kamu harus pulang." Titahnya seenak jidat. "Aku udah gede, nggak perlu dan nggak harus mama atur semua tentang aku, dan masalah pergaulan aku." Timpalku. Aku masih ingin bebas menikmati hidup dan masa remajaku dengan indah bukan dengan cara di atur dan di awasi seperti burunonan seperti ini. "Mama nggak perduli, mama udah urus semuanya." Ujarnya. Entah apa yang di lakukan wanita ini untuk hidupku, aku ingin sekali mendepaknya keluar dari sini.     Perdebatan beberapa saat lalu, masih membuatku emosi. Aku mulai jengah dengan semua ini, di atur bukanlah hidupku. Andai saja waktu itu aku nggak ijinin papa nikah hanya gara-gara mobil sialan, hidupku nggak akan sekacau ini.  "Sialan!" Umpatku kesal. Daripada aku hanya diam di perapianku, ku bawa tubuh yang enggan untuk beranjak ke kamar mandi, mungkin ini bisa meringankan kepalaku. Setelah beberapa saat aku selesai dengan kegiatanku, ku duduk merias diri untuk menghilangakan mata pandaku. Cukup lima belas menit aku sudah siap, ku cari gawai milikku namun tak ku temukan, aku lupa mungkin wanita sialan itu yang mengambilnya. Segera aku turun dan mencari keberadaannya.  "Mama!" Teriakku sambil menuruni anak tangga.  "Mama!" Kembali aku berteriak karena tak ada jawaban. "Mam...," panggilan ku terhenti karena melihat wanita itu keluar dari pintu belakang. "Ada apa Vin?" Tannya tanpa dosa. "Handphone aku mana?" Tanya ku to the poin. "Buat apa?" Bukannya menjawab wanita sialan ini malah balik bertanya. "Buat apa?" Geramku. "Aku bilang mana handphone aku?" Teriakku. "Mama akan kasih dengan satu syarat." Kurang ajar beraninya dia memerintahkan aku semaunya. "Aku mau milikku, hartaku, dan kepunyaanku, jadi atas dasar apa kau..." ku tunjuk wajahnya dengan berani. "Memerintahkan aku dan memberikan aku syarat atas apa yang aku punya. "Mama tau itu milikmu, hartamu dan punyamu, tapi kau telah melewati batas kelakuanmu, jadi apapun yang terjadi itu adalah tanggung jawab mama." "Aku tidak perduli,  terserah kau mau apa, aku hanya ingin handphone ku."  "Mama nggak akan kasih sebelum kau berjanji." Sungguh aku sudah muak. Aku nggak bakalan bikin hidup kamu tenang w************n. Ku lihat jam tanganku sudah pukul delapan. Aku tak punya waktu untuk berdebat dengannya. Aku langsung saja berjalan ke pintu dengan marah. Niat ingin masuk mobil terhenti karena aku melihat mobil Rendra terparkir di gerbang. Tanpa pikir panjang aku berlari ke sana. "Non!" Teriak supir yang bertugas mengantar aku "Vina!" Suara itu, aku yakin w************n itu melihatku naik ke mobil milik Rendra.          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD