Belajar di rumah

1145 Words
                    Aku sudah beberapa kali menggedor pintu namun tetap saja masih tak dapat di buka. Aku bersandar di balik pintu sambil menangis. Mana kepalaku masih berat lagi, ya tuhan, cobaan macam apalagi ini.      Entah berapa lama aku berada dalam keadaan seperti ini. Aku hanya diam sambil menyembunyikan wajahaku di kedua lututku.  Hikkks  Hikkks "Mama." Lirih ku. Terdengar suara lanhkah kaki yang mulai mendekat. Segera aku berdiri mencoba memanggil siapa saja yang ada. "Mbokk, tolong buka pintunya." Panggil ku. Namun langkah kaki itu semakin menjauh. "Mbok, tolong siapa oun yang ada di luar tolong buka pintunya." Pinta ku.        Langkah kaki itu sudah tak terdengar lagi. Aku semakin  histeris saja. "Papa, mama, tolong buka pintunya." Teriak ku.  Duarrrr Duarrrr Duarrrr  Aku menggedor pintu itu sekuat yang aaku bisa, tapi apa? Orang-orang yang ada dk luar sana tak ada yang berniat membukakan aku pintu. Aku mulai berpikir untuk membiat kekacauan di kamar ku. Aku beranjak dari duduk ku dan  berjalan mencari sesuatu yang bisa membuat kebisingan.   Aku melempar apa saja yang ada di kamar agar siapa pun yang di liar hisa membuka pintunya. Pranggggggg Tinggggggg Duarrrrrr        Semua yang bisa membuat kebisingan aku lempar ke sembarang arah.     Bahkan vas bunga yang tidak berasalah pun menjadi korban kemarahan ku. Dengan begitu berisiknya aku di dalam kamar masih aja tak membuat pintu itu terbuka.  Aku sudah lelah, tenaga ku terkuras, bahkan  kepala ku semkain berdenyut saja, mana aku belum makan dati kemaren siang, hanya minuman itu yang mengisi perut kosong ku. Dan lihat apa yang terjadi sekarang. Perut ku perih bukan main. Wanita sialan itu todak akan membuka pintunya. Aku yakin ini adalah kerjaannya. Dan yahh aku berpikir siapa yang mengantar ku pulang, apa si bar tender itu? Tapi sudahlah, yang pebting aku sudah berada di rumah meski harus di kurung seperti ini.            Dalam kebingungan ku, ku cari gawai yang selalu menkadi teman setia. Aku berharap dia ada di sekitar ku. "Ya tuhan semoga saja ada." Batin ku.        Ku coba mencarinya di laci sampin ranjang, bahkan meja riasku tak luput dari mata. Aku berjalan perlahan, belahan kaca dan beling dari benda yang aku hancur kan bisa saja membuat kaki ku terluka.       Setelah aku mencari beberapa saat aku tak menemukan gawai ku. "Astaga." Lirih ku. "Apa dia juga mengambilnya." Pikir ku.    Dengan cepat aku menggeleng. Aku tetap berusaha mencarinya, tak ingin menyerah begitu saja, aku yakin dia tak akan menemukannya, karena semalam aku pergi aku tak membawanya.       Kalau begini saja aku akan gila, di kurung, tanpa hp, dan yahh, tanpa teman juga. "Ini seperti penjara terbuka bagiku."    Daripada aku harus membuang tenaga sia-sia, lebih baik aku tidur kembali, rasa perih di perut ku, semakin membuat ku lemas saja. Derrrrtttt Derttttttt        Baru saja aku meletakkan kepala ku di bantal, suara getar dari bawah membuat aku mengukir senyum.  "Semoga itu suara hp aku." Lirih ku.     Segera aku mengangkat bantal yang aku tiduri,  bagaikan menemukan air di tengah gurun pasir. Ternyata yang aku cari-cari ada disana.     Aku melihat siapa yang telah menelponku. Ada bbanyak pesan di grup. Bahkan Restu telah mengeluarkan Rendra dari sana dan menganti nama grup kami. Bahkan ada pesan pribadi di aplikasi hijau dati Rendra. Bukan hanya pesan ada puluhan panggilan yang tak aku jawab. Tak berniat membalas atau mengangkat panggilan nya. Segera aku hapus nomornya dari gawai ku. Bahkan di semua akun sosial media ku, ku block dia, agar wajah yang selalu aku puja selama ini enyah dari hidupku.      k*****a pesan dari grup, semua seolah mendukung ku, menyemangati ku, bahkan candaan dari Restu dan Bagas yang berniat memcatikan aku ganti Rendra dengan suka rela akan melakuaknnya.  Restu. [Vin, kalo lho mau cari yang lain, gie bakalan bantuin lho, tonggal lho bilang aja, modelannya kayak gimana!] Bagas [Gue bantuin lho juga Res.] Restu [Bantuin apa peak? Lho cari aja sendiri, kalo dah ngumpul banyak tinggal kita adakan kencan buta.] Lola [Aku juga mau dong di cariin.]  Bagas [Yang! Kamu mau duain aku?] Lola [Nggak kok, cuman buat cadangan doang, biar kalo kamu nyakitin aku,  aku dah punya simpenan. Hihi]  Restu [Hhhhhh, emang enak bro, gue yang cariin La, tipe lho kayak apa?] Bagas [Coba aja kalo lo berani Res, kepala lo yang abis, kebetulan tangan gue juga masih gatel , pengen gebukin orang.] Restu [Alah! Gaya lo mah.] Neni [Wahhh, ada yang cari simpenan ya, gue mau dong beb, cariin dua atau tiga ya, lumayan buat koleksi.] Restu [Beb! Kok kamu ikutan sih pengen duain aku, aku setia loh ma kamu beb.] Bagas [Emang enak rasaon tuh telur makan telur, amis ya amis aja. Hhhhh] Lola [Say, entar kita kerumah Vina ya, kita ajak ke mall, sekalian mau cuci mata.] Restu [Aku ikut beb] Bagas [Sayang mau aku jemput] Lola [Nggak usah ini cuman biat ladies] Neni  [Nggak perlu, entar bikin repot lagi.] Dan beberapa chat grup yang membuat mereka berdebat.     Mereka memang bisa membuat aku tersenyum, walaupin sakit ini belum berkurang sedikitpun. Tapi dengan adanya mereka ini lebih baik.      Aku hanya perlu berpikir  cara agar bisa membuka pintu itu, aku lapar sungguh. Perut ku sudah perih banget. Ceklekk Suara pintu yang  terbuka membuat aku angakt kepala. Disana ada mbok Mirah yang membawakan aku sarapan. "Cah ayu siap-siap ya, pake baju rumahan aja, di bawah ada guru yang akan ngajar cah ayu." Ucap mbok sambil meletakkan nampan yang berisi sarapan ku. "Mama kemana mbok?" Tanyaku.  "Ibu keluar sebentar, katanya ada perlu." Jawabnya singkat. "Pintunya di kunci lagi ya mbok?"  "Nggak cah ayu, sekarang lebih baik sarapan dan siap-siap saja, bajunya ada di lemari." Jawabnya sebelum meninggalkan kamar ku, dan membiarkannya terbuka.           Aku langsung saja melahap sarapan ku, karena perut ku benar-benar lapar, dan perih. Di tambah lagi aku jarus belajar. Aku harus bisa masuk tiga besar untuk kelulusan ku, meski aku harus belajar di rumah. Mungkin ini salah satu cara agar aku juga mudah untuk melupakan Rendra dan penghiatannya.      Setelalh sarapan aku memilih baju yang harus aku pakai. Aku pusing tujuh keliling. Bagaimana  bisa aku memakai pakian tertutup seperti ini, dalam keadaan panas bukan kepalang. Sumua yang ada di lemari ku hanya gamis dan baju muslimah. "Ya tuhan, masak aku harus pake kayak gini sih?" Tanya ku pada diri sendiri.    Yah kau bagaimana lagi, aku harus memilih salah satu dari semua ini. Dari pada aku harus telat belajar dan ketinggalan banyak materi.  "Ohhh ya toyibah, jangan sampai." Pikirku.  Setelah mengenakan satu pakaian muslim berwarna moca, dan menghulung rambut ku, membiarkan kedua sisinya terurai sedikit.  Aku menuruni anak tangga. Benar saja disana audah ada seorang laki-laki dengan beberapa buku di depannya serta laptop yang menyala. Melihat aku yang menuruni anak tangga, kegiatan mengetiknya ia hentikan. "Assamualaikum, pagi."  Sapanya. Aku hanya membalas senyum dan duduk di hadapannya. "Bisa kita mulai pak." Pintaku. Dia hanya mengangguk sekali dan membuka bukunya. "Materinya sampai mana?" Tanyanya, aku menunjukan buku paket yang aku bawa. Membuka bagian yang alu pelajari di sekolah, selama dia membacanya aku menyiapakan alat tulis serta yang lainnya. "Baiklah, kita mulai." Ucapnya setelah beberapa saat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD