MUSIK 16

1574 Words
Jingga membuka matanya secara perlahan. Ia juga menguap kecil dan merasa tubuhnya terlilit selimut. Jingga langsung terduduk dan melihat ke sebelah tempat tidur yang kosong.  Vano sudah bangun? Ahhh, gagal sudah khayalannya yang ingin melihat wajah bangun tidur Vano. Tiba-tiba wajahnya memanas membayangkan kejadian semalam. Vano tidur memeluk Jingga dan ia jadi ikut-ikutan terlelap, sampai pagi. Bagaimana posisi Vano saat bangun tadi? Jingga langsung keluar dari kamar Vano menuju kamarnya sendiri. Setelah mandi kilat, ia langsung turun menuju dapur, dan di sana ada Vano yang sedang memotong-motong sayuran dengan telaten. Seharusnya itu menjadi tugas Jingga. Setelah sarapan siap, mereka berkumpul di meja makan. Neneknya berceloteh tentang budaya kampung dan meminta Vano dan Jingga menginap lagi, tetapi itu tidak mungkin. Karena mereka berdua harus kembali sekolah. “Neng, sebelum pulang, ke Ayah dulu, atuh.” Ucapan Nini membuat Jingga mengangguk dengan gugup. “Nak Vano, anterin Jingga, ya.” “Iya,” jawab Vano. “Ya udah deh, Jingga ke Ayah sekarang.” Jingga membereskan piring kotornya kemudian keluar rumah untuk memetik bunga mawar yang ada di halaman depan. Vano hanya mengikuti saja. Mereka berdua menelusuri jalan setapak yang sekelilingnya dipenuhi rumput-rumput yang masih berembun. Langkah Vano tiba-tiba terhenti. “Nggak usah sungkan, Van. Ayah gue pasti seneng ada yang berkunjung.” Jingga berjalan melewati beberapa makam dan berjongkok pada makam yang bertuliskan nama 'Andriansyah'. Vano tak berkomentar apa pun, ia hanya ikut berjongkok untuk membersihkan rumput-rumput yang mulai tumbuh di sekitar makam. Jingga tak bersuara, ia hanya menengadahkan kedua tangannya lalu menutup matanya. Menyalurkan kerinduan lewat doa. “Yuk, balik.” Jingga langsung berdiri, berjalan melewati Vano. “Gue turut berduka,” kata Vano, tulus. Jingga mengangguk santai. Ia terlihat tegar walau Vano sempat melihat kilauan bening mendesak keluar dari pelupuk mata gadis itu. “Lo oke?” tanya Vano. “Gue udah ikhlas. Bokap gue meninggal dari semenjak gue SD. Jadi rasanya udah terbiasa.” Sekuat apa pun, ditinggalkan selamanya oleh orang yang disayang akan tetap meningalkan bekas. Buktinya sekarang Jingga merasakan pelupuk matanya memanas. Vano melangkah mendekati Jingga yang menunduk. Ia berkata, “Maaf gue lancang, Ji.” Vano meminta izin mengusap cairan bening pada pipi gadis itu dengan perlahan. Menghapus air mata seorang gadis urakan yang beberapa detik lalu menunjukkan sisi lemahnya pada Vano.   ***   “Vano pulang...” Pintu utama keluarga Adiputra dibuka perlahan oleh Vano. Ia langsung disambut Aufa yang tersenyum dengan cantiknya. “Hai, Ganteng. Gimana olimpiadenya? Menang?” Ah, Vano lupa soal itu. Apa Dion menang? Vano benar-benar lupa menanyakan hal ini pada Dion. “Mama tahu kamu menang, tadi malem Dion hubungin Mama. Selamat, ya.” Vano tak mengerti pada sahabat-sahabatnya yang selalu bertingkah seperti melindungi Vano. Tetapi ia sangat bersyukur mempunyai ketiganya. Masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian, Vano sudah siap mengajar lagi. Bermodalkan buku-buku tentang musik yang berada dalam tasnya, ia pergi menuju sekolah musik keluarganya. Ternyata tempat Vano mengajar sudah ramai. Ia langsung masuk menuju ruang musik dan Vano melihat Jingga yang sedang bercengkerama dengan buku biru dongkernya. “Hai, Ayang.” Gadis itu nyengir lebar dengan kedua alisnya yang dinaikturunkan. Sapaan Jingga membuat Vano mual. “Lo bisa nggak berhenti mengucapkan kata menjijikkan itu?” “Kata yang mana? Kata 'Ayang' maksudnya?” Vano memilih tidak menjawab. Berbicara dengan Jingga sama seperti berbicara pada pisang. Lalu Dea datang dan langsung melemparkan beberapa kertas di depan meja Vano. Tampang Dea sangat kusut. “Pihak SMA Citra Bangsa mengadakan reuni buat angkatan ke-12 dan minta MVM yang jadi pengisi acara. Waktunya empat hari dari sekarang!” “Mendadak banget?” komentar Vano. “Pihak CB bilang dari dua minggu kemarin tapi kakak lo lupa!” Vano mendekatkan wajahnya pada telinga Dea. Ia berbisik, “Murid gue belum ada yang lancar main pianonya.” “Lo aja yang main piano, ya?” Ini salah Mei, tetapi Vano dan Dea harus menanggung pusingnya. Vano tidak mau bermain piano karena ia harus belajar. Nilai adalah segalanya bagi Vano. “Paling lo main dua lagu doang. Dan masalah yang nyanyi, biar murid gue aja. Luna.” Ucapan Dea membuat Vano langsung terbatuk. “Apa?” “Gue nggak mau lo batuk, Van. Gue maunya lo main piano. Tunggu,” Dea memanggil seseorang dan menarik tangannya menghadap Vano. “Kalian berdua ngisi acara reunian sekolah CB, ya. Empat hari dari sekarang dan kakak mau kalian harus nampilin yang terbaik.” Mata Luna membulat, tangan kanannya menunjuk dadanya sendiri. “Luna, Kak?” “Please...” Dea merengek. Luna langsung melirik Vano yang tampaknya juga kebingungan. Ia takut mengecewakan karena baru les beberapa kali, sedangkan Vano memikirkan bagaimana nasibnya jika latihan dan tampil berdua dengan Luna. “Ya udah,” ucap Vano. Dea tersenyum senang lalu memberikan beberapa kertas berisikan lagu pada Luna dan Vano. Ketika Luna dan Dea sudah beranjak, saatnya untuk Vano menghela napas. Jingga yang awalnya sedang curhat pada si Dongki, langsung menguping pembicaraan. Jingga menggigit pulpen yang sedang ia pegang, kenapa ia tidak rela begini? “Ngapain lo?” tanya Vano ketus. Jingga langsung berdeham lalu menggeleng. “Lo dikasih beasiswa sama kakak gue bukan buat bengong,” tambah Vano. “Cerewet.” Jingga langsung membalikkan tubuhnya menghadap piano lalu menekan tuts dengan asal setengah kesal. Vano menghempaskan tangan Jingga dari tuts sampai tubuh gadis itu terdorong mundur. Jingga menggeram, menatap Vano penuh dendam. “Main piano yang bener,” kata Vano dengan penuh penekanan. Arghhh, kenapa gue harus suka sama cowok es macem dia, sih?!   ***   Jingga yakin ia sudah belajar dengan giat, tetapi mengapa tidak pintar-pintar? Sebenarnya, giat dalam kamus Jingga adalah malas dalam kamus orang rajin. Ia belajar jam delapan malam, lima belas menit kemudian merebus mi instan. Main HP dua jam. Seperti itu terus sampai mengantuk dan akhirnya tertidur sebelum benar-benar membaca buku. Lalu Leo memberi usul bermain game di kamarnya karena tidak tega melihat Jingga yang begitu stres. Pembantu Leo membawakan beberapa cemilan dan jus sehingga senyum Jingga mengembang. Mengapa makanan selalu tampak indah? Jingga sudah mengunyah berbagai cemilan yang menurutnya enak. Akhirnya Leo asyik sendiri dengan game down hill. Lalu Jingga membuka sedikit laci Leo dan menemukan beberapa permen. Mereknya cukup asing, mungkin permen mahal? “Yo? lo permen addict?” tanya Jingga. Leo tidak mendengar pertanyaan Jingga karena asyik bermain game. Gadis itu mendengus sambil kembali melihat permen-permen dengan merek asing ini. Ukurannya seperti permen pada umumnya, hanya saja bungkusannya jauh lebih menarik. Pasti enak! Jingga merobek satu bungkus permen dan langsung memasukannya ke dalam mulut. Well, menurut Jingga rasanya tidak buruk. Lama kelamaan, lehernya terasa gatal. Ia menggaruk sedikit tetapi malah terasa geli. Ia juga beberapa kali menggigit bibir bawahnya. Berjalan pelan dan terduduk di dekat Leo. “Hmm...,” Jingga kembali merasakan sensasi aneh dalam tubuhnya. Ia kemudian memeluk Leo dan cowok itu langsung terkejut. Leo mencoba menjauhkan Jingga yang sedang mengigau tidak jelas. Malah semakin aneh, terkekeh-kekeh tidak jelas. “Peluk gue...” kata gadis itu dengan pelan dan terdengar mendesah bagai sapi betina yang siap diperah. Leo mencoba melepaskan tangan Jingga, namun Jingga semakin mendekatkan tubuhnya pada Leo, membuat cowok blasteran Jerman-Itali itu mengumpat ketika tangan Jingga terjatuh tepat di juniornya. “Anjrit! Lo kenapa Jingga?!” Leo berteriak. “Hehehe, peluk gue, hehehe...” “Jangan-jangan, lo... aishh! Lo makan permen gue?!” Leo melirik meja yang sudah berserakan oleh bungkus permen berharga miliknya. “Aduh berabe, lo makan yang mana?” Ia langsung bangkit dan berlari menuju meja. Leo menemukan satu bungkus permen yang sudah dikupas. Jingga masih mengigau, dengan perlahan Leo berjalan ke arah Jingga, kemudian berbisik, “Jingga, gue bukan jahat, tapi gue harus iket lo. Oke? Lo nggak mau kan, bangunin sesuatu dalam diri gue? Libido nggak kenal temen atau bukan, daripada berabe!” Leo langsung mengikat tangan Jingga dengan dasi miliknya pada tepian tempat tidur. Jingga meracau di sela-sela Leo mengikat, menggesekkan tubuhnya pada tangan Leo. “s**t! Tahan Leo!” Setelah selesai mengikat, Leo langsung keluar dari kamarnya hendak mengambil air dingin supaya menetralkan rasa paniknya.  “Aduh, bisa dibunuh Vano nih gue!”   *** Vano mendudukkan Jingga di kursi depan lalu memakaikannya sabuk pengaman. Agak kesulitan memang, tapi dengan berbekal kesabaran akhirnya Vano bisa bernapas lega. Gadis ini... selalu membuatnya susah. Jingga sudah mengganggu Vano lagi dengan sok tahunya memakan permen penambah libido milik Leo. Apa maksudnya coba? Jadinya, Vano harus menyetir terburu-buru ketika Leo memberinya pesan padahal ia sedang belajar. Benar juga, kenapa Vano langsung ke rumah Leo? Ah, itu tidak penting. Yang penting, sekarang bagaimana caranya efek fly dari permen itu cepat hilang? Vano tahu parahnya efek permen itu. Orang yang memakannya akan kehilangan kesadaran dan lebih agresif pada siapa saja di dekatnya, dengan tujuan memuaskan libidonya yang sedang memuncak. Dan Vano tidak habis pikir, gadis yang berstatus pacar pura-puranya ini dengan bodohnya memakan permen itu. Di mana otaknya? Lalu mengapa Vano merasa kesal? Tentu saja karena gadis ini merepotkan! Jingga mencoba menggapai paha Vano secara terus menerus. Vano menghela napasnya. Ia tidak seberengsek Leo, tapi ia juga cowok normal. Jingga benar-benar berantakan. Apalagi kancing kemeja atasnya sudah terbuka, memperlihatkan lekukan d**a Jingga. Vano lebih memilih Jingga mengganggunya dengan cara mengomel daripada mengganggu dengan cara seperti ini. Jingga menarik kaus Vano sampai wajah mereka sangat dekat. Vano mencoba memundurkan kepalanya tetapi Jingga memaju-majukan hidungnya sampai bersentuhan dengan hidung mancung Vano. Mereka terlalu dekat! Hembusan napas Jingga sampai terasa di sekitar bibir Vano. Tangan Jingga yang semula ditahan Vano, kini mulai melembut. Jingga memajukan wajahnya lebih dekat, dan Vano, mengapa tidak bisa bergerak sama sekali? Cup!   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD