“Stef, anterin. Meja sepuluh.” Andra menaruh segelas americano dingin di atas baki dan menaruhnya di atas counter.
Mengernyit, pandangan Stef mengamati ruangan cafe dan mendapati hanya ada dua pelayan atau pramusaji yang sibuk hilir-mudik mengantarkan pesanan. Cafe di jam makan malam pasti ramai oleh pengunjung.
“Gue suruh si Rosa istirahat bentar. Dia pucat gitu. Kayaknya PMS,” imbuh Andra. Posisinya sebagai barista senior membuatnya disegani banyak karyawan cafe. Tak jarang para pramusaji, kasir, ataupun barista lain memperlakukan Andra seakan dia adalah manager di tempat ini.
Selain si pemilik cafe, selama ini memang Andra yang banyak berperan dalam operasional cafe. Hanya saja dia tidak mau disebut sebagai manager.
Stef berdecak, lalu melangkah ke arah sebuah pintu kayu yang memisahkan area tempat mereka meracik minuman dengan dining area di cafe itu. “Waktu istirahat gue nambah setengah jam ya.”
“Lima belas menit,” jawab Andra seraya mendengus.
“Deal.” Barista junior itu menyengir, lalu meraih baki bulat dengan segelas americano itu dan berjalan menuju meja sepuluh yang letaknya di samping dinding kaca bagian samping cafe.
Berada tepat di samping meja yang dimaksud, Stef menyapa sopan. “Permisi, Kak. Satu Americano ice.” Tangannya dengan cekatan meletakkan gelas itu di atas meja. Ketika dia mengangkat kepala, tatapannya bertemu dengan mata jernih di balik kacamata yang bingkainya berbentuk kotak. Kesan tegas dan maskulin terpancar dari raut wajah di hadapannya.
Stef terhenyak. Dia sepertinya mengenal laki-laki ini. Tapi … tunggu, rasanya juga tidak kenal. Ada banyak kemungkinan yang muncul di kepalanya. Siapa laki-laki ini?
“Siapa ya?” tanya Stef tanpa sungkan. “Kita ketemu di rumah sakit ya?”
Pertanyaan itu menimbulkan kerut di wajah lawan bicara Stef. “Rumah sakit? Kamu luka?”
Tanggapannya membuat Stef makin bingung. “Saya kalau luka nggak usah ke rumah sakit, Kak. Lihat Kakak aja langsung sembuh.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Stef bersusah payah tidak tertawa. Garing sekali. Buktinya laki-laki di hadapannya hanya menatapnya datar dengan lebih banyak kerut yang timbul di dahinya, menatap Stef seperti sedang melihat lukisan yang sulit dipahami.
“Saya serius,” kata laki-laki itu dengan wajah tanpa senyumnya.
“Loh, saya juga serius, Kak.” Stef tentu tidak mau kalah walaupun kalau boleh dia ingin segera bersembunyi di balik counter saja.
Belum sempat laki-laki itu menjawab, badan Stef ditabrak oleh sesuatu yang keras diikuti dengan suara kaca pecah yang begitu nyaring, bahkan mengalahkan suara musik yang menggema di ruangan.
Segera berbalik, Stef mendapati seorang berbadan besar dengan tato yang menyembul di balik kaus lengan pendek yang dikenakannya, sedang memelotot garang kepada dirinya.
“Maaf, Kak. Biar saya bantu bereskan.” Gegas Stef bergerak untuk membersihkan kekacauan yang terjadi. Gelas yang pecah dengan cairan manis yang berhamburan tentu harus segera dibersihkan. Belum juga laki-laki garang yang sebagian pakaiannya basah di hadapannya itu.
Namun, langkah Stef terhenti ketika pergelangan tangan kanannya dicengkeram erat dan kasar.
“Mau ke mana kamu, Bocah?”
***
Kakinya seperti ingin segera menegak untuk menghadapi laki-laki yang berlaku begitu kasar kepada barista yang terlihat seperti peri mungil di hadapan laki-laki tinggi-besar itu. Satria tahu bahwa barista itu tidak salah. Dia bahkan hanya berdiri di sana dan lebih pantas disebut korban daripada biang kerok kekacauan.
Dari sudut matanya, Satria melihat pengunjung cafe dan beberapa pramusaji mematung dan terus mengamati si raksasa garang dan peri barista itu.
“Saya mau ambil kain pel buat bersihin lantai dan napkin supaya Kakak bisa bersihkan baju yang basah,” jawab si barista itu dengan senyum lebar, tanpa ada rasa takut yang tampak.
Bukannya melepas cengkeramannya di tangan si barista, laki-laki itu justru memangkas jarak di antara mereka seraya memelotot. Satria yakin laki-laki itu sedang berusaha mengintimidasi dan mengancam si barista yang masih terlihat begitu santai.
“Kamu tahu sedang berhadapan dengan siapa?” tanya si laki-laki itu dengan suara rendah tetapi begitu lantang.
Si barista malah cengar-cengir. “Oh, maaf, saya tadi lupa tanya nama Kakaknya. Boleh nggak tangan saya dilepas supaya kita bisa salaman dan kenalan? Kalau mau kenalan nggak usah begini, Kak. Tangan saya jadi sakit. Saya mau kok salaman sama Kakak.”
Satria mengembus napas keras, berusaha meningkahi rasa geli mendengar respons si barista yang benar-benar tidak ada takutnya. Dia saja –yang dikenal berwajah datar dan minim emosi– mungkin tak mampu menghadapi ancaman dengan begitu tenang seperti yang dilakukan oleh barista itu. Badan boleh mungil, tetapi keberanian dan nyalinya tak perlu diragukan.
Perempuan itu persis seperti petasan banting. Kecil, tetapi punya kekuatan yang besar dan keberanian yang begitu lantang.
Laki-laki garang itu terdiam. Mungkin bingung harus merespons seperti apa, atau mungkin tak menyangka akan mendapat balasan yang begitu tak terduga itu.
Tak ingin menjadi bagian dari pusat perhatian, karena posisi duduknya yang begitu dekat dengan TKP di tengah cafe itu, Satria akhirnya beranjak dari duduknya.
“Mas, kasihan tuh Mbak-nya bisa lebam kalau diterusin,” katanya seraya menunjuk pergelangan tangan si barista yang masih berada dalam cengkeraman si raksasa. “Kalau mau ribut, bukan di sini tempatnya, Mas.”
Bisik-bisik yang terdengar di berbagai sudut membuat laki-laki itu makin dipenuhi keraguan, tampak dari perilakunya yang menoleh ke kanan-kiri dan gerakan bola-matanya yang begitu tak beraturan. Beberapa detik kemudian, laki-laki gahar itu menghempas tangan si barista dan mendengus, lalu pergi begitu saja.
“Kamu diam dulu,” perintah Satria pada si barista. “Salah-salah itu pecahan kaca bisa nembus sepatu kamu.” Satria berjalan dengan amat berhati-hati lalu memunguti bagian pecahan gelas yang cukup besar. Dia meraih baki yang tadi digunakan si barista dan meletakkan potongan pecahan itu di sana.
Setelah Satria meraih semua pecahan yang besar, barulah si barista itu beranjak. Menegakkan tubuhnya, Satria mengamati langkah si barista yang dengan cepat kembali membawa peralatan untuk membersihkan kekacauan yang tersisa.
“Tunggu.” Satria kembali berjongkok, dan tidak membiarkan si barista untuk menyapu area itu. “Itu masih ada pecahan yang halus. Kamu punya lakban?”
Barista itu mengernyit. Tangannya menggantung di udara, membawa sapu dan pengki di masing-masing tangan.
“Pakai lakban untuk angkat pecahan yang halus. Kalau langsung disapu, bisa nyangkut di sapu, masih ada peluang lukain orang. Mending diangkat pakai lakban dulu, baru kamu pel,” terang Satria.
Perempuan mungil itu mengangguk lalu melesat kembali ke area dalam cafe. Ketika kembali, ada seorang laki-laki yang mengikuti si barista.
“Kak, terima kasih bantuannya. Selanjutnya biar kami yang bersihkan ya. Mohon maaf Kakak jadi terganggu,” kata laki-laki itu sopan.
Satria ingin sekali terus berinteraksi dengan barista mungil yang kini sibuk membersihkan lantai yang kotor itu. Namun, dia perlu menahan diri, terlebih setelah laki-laki yang mungkin ada leader atau manager di tempat ini bicara padanya.
Mengangguk sopan, Satria memutuskan untuk duduk kembali di tempat duduknya dan menikmati Americano dengan es batu yang mulai meleleh. Mata Satria masih terus mengamati pergerakan si barista dan leader laki-laki yang kini membersihkan lantai.
“Udah, Stef. Aku udah panggil Tono untuk bersihin. Kamu balik sana, banyak order,” perintah laki-laki itu pada si Mungil.
Ah. Namanya Stef. Padat, tetapi terkesan misterius. Membuat Satria makin ingin tahu siapa barista mungil itu. Perempuan yang begitu tenang menghadapi banyak preman di tempat parkir cafe beberapa waktu yang lalu. Perempuan yang tidak takut menghadapi laki-laki garang yang mengancamnya.
Pandangan Satria terus mengikuti gerak perempuan itu. Dia menjauh dari tempat Satria duduk, kini dengan tangan kiri yang mengusap pergelangan tangan kanannya. Dia masih sempat menyapa seorang petugas pembersih yang menggantikan dirinya membersihkan lantai yang kotor itu.
Satria harus kenal siapa dia. Kalau hari ini tidak bisa, masih ada hari esok.