“Iya, benar, Bu. Sore tadi tim kami sudah mengirimkan revisi desain yang akan menjadi bahan pertemuan dengan Pak Cole dan Bu Ana besok.”
Sembari mendengarkan balasan dari lawan bicaranya, pemuda jangkung yang duduk di atas motor itu mengamati sekitar. Di tempat parkir cafe itu berjajar berbagai motor, dari yang paling kotor hingga yang bersih mengkilap, dari yang paling ekonomis hingga motor gede seharga sebuah rumah. Penerangan dibuat remang dengan lampu kekuningan untuk membuatnya menyerupai nuansa di dalam cafe yang memberi kesan vintage.
“Baik, Bu. Saya sampaikan kepada Pak Cole. Sampai bertemu besok.”
Panggilan dimatikan dan Satria, pemuda itu, menaikkan bridge –bagian tengah yang menghubungkan sisi kanan dan kiri kacamata– yang sebenarnya tidak terlalu melorot dari hidungnya. Dia segera mengetikkan beberapa catatan dari pembicaraan barusan ke dalam agenda bosnya.
Bekerja sebagai seorang personal assistant menuntut Satria untuk tetap sedia menerima informasi, permintaan, dan perubahan kapan pun dan di mana pun. Untung saja bosnya bukan orang yang semena-mena. Satria jarang sekali harus bekerja hingga larut malam, kecuali pada hari-hari khusus di mana pekerjaan memang tidak terelakkan.
Mas, masih kerja aja? Ngaso sono!
Benar, kan? Bosnya mengirim sebuah pesan, mungkin karena melihat ada catatan yang baru Satria masukkan ke dalam agenda online. Cole Suryadjaja, CEO dari Suryadjaja Konstruksi tempat Satria bekerja, memang lebih muda darinya. Mereka sebenarnya sudah saling mengenal sejak kecil. Karena itu, di luar jam kerja, Cole tak sungkan untuk menyapa Satria dengan panggilan yang memang sudah dia gunakan sejak mereka muda.
Sans, Bos. Supaya nggak lupa aja.
Panggilan telepon berikutnya masuk. Ibu.
“Ya, Bu?”
“Kamu sudah jemput Gita, Mas?” tanya Ibu langsung. Sekilas terdengar suara batuk-batuk di seberang.
Satria mengangguk. Dia melihat ke dalam dari jendela kaca yang menjadi dinding dari cafe itu. Adiknya sedang tertawa bersama dengan teman-temannya.
“Sudah di cafe, Bu. Gita belum beres. Bapak batuk lagi?”
Suara decak Ibu terdengar. “Lah ya bapakmu itu bandel. Sudah dibilang jangan motoran masih nggak nurut. Kalau sudah masuk angin ya langsung batuk-batuk begitu.”
Satria tersenyum mendengar keluhan Ibu. Dia bisa memahami hati Bapak, yang memang lebih suka naik motor ketimbang mobil. Bapak dulu sering membawanya keliling kota dengan motor, berdua saja. Dan mungkin hal itulah yang membuat Satria mirip dengan Bapak, lebih suka menghabiskan waktu dengan motor sport yang dibelinya dari hasil tabungan sejak dia SMA.
“Dikerok juga sembuh, Bu,” goda Satria yang kini berusaha menahan tawa.
Tawa renyah Ibu memenuhi ruang pendengarannya. “Nanti nginap di rumah, Mas? Sudah lama kamu nggak pulang?”
Sejak dia diangkat menjadi personal assistant CEO, Satria memang memanfaatkan fasilitas apartemen yang disediakan kantor. Kalau bukan karena Bapak yang sakit, dia tidak akan diminta menjemput Gita yang sedang sibuk merencanakan acara perpisahan SMA dengan teman-temannya. Ya, usia Satria dan Gita memang terpaut cukup jauh.
Baru saja Satria ingin menjawab ketika matanya menangkap suara lantang yang berasal dari belakang cafe. Dari tempatnya berada, di parkiran motor, dia bisa melihat segerombolan laki-laki yang sedang merubung seseorang. Dari suaranya sepertinya seorang perempuan.
“Awas lo! Gue teriak nih!” suara itu berteriak lantang.
Segerombolan laki-laki itu tertawa menghina.
“Teriak aja, Neng. Siapa juga yang mau nolong cewek kayak lo. Teriak sana!”
Satria melompat turun dari motor.
“Bu, nanti bicara lagi ya. Ada yang penting. Sayang Ibu!”
Setelah menyudahi panggilan dan menyimpan ponselnya ke dalam saku, Satria berjalan mendekat ke arah sudut itu, yang memang lebih gelap dari sekitar.
“Woy! Ngapain kalian?” teriaknya.
Laki-laki itu –yang berjumlah lima orang– menoleh pada Satria. Namun, hanya dua orang yang kini mendekat ke arahnya, meninggalkan tiga lainnya tetap di dekat perempuan yang wajahnya tidak bisa Satria lihat dengan jelas.
“Ini bukan urusan lo. Kagak usah sok jadi pahlawan. Sono pergi,” usir salah satunya, yang berbadan besar dengan tato ular di lengan kanannya.
Walau masih ada jarak di antara mereka, Satria bisa mencium bau alkohol menguar dari tubuh kedua orang itu.
“Itu temen gue. Jadi ini urusan gue juga,” kata Satria bersikukuh. Dia terus melangkah mendekati tempat perempuan itu berdiri, dan tentu saja dihadang oleh dua laki-laki itu.
Tangan besar kedua laki-laki itu menghalangi Satria.
“Eh, bocah tengil, pergi! Temen atau bukan lo kagak usah ikut-ikut!” Laki-laki kedua, dengan kumis lebat yang sepertinya tidak dirapikan itu menghalau Satria.
Mereka memandangi Satria dengan mata memelotot dan senyum sinis yang sangat merendahkan. Pemandangan itu memang tampak sangat kontras. Dua laki-laki berbadan besar dan berpenampilan sangar dibanding dengan Satria dengan tubuh jangkung berbalut kemeja lengan panjang yang dikenakannya untuk bekerja tadi.
Tangan kedua orang itu terentang menghadang langkah Satria. Seakan benar-benar tak mengizinkan laki-laki itu melangkah lebih jauh lagi.
Namun, Satria sepertinya tidak peduli. Dia terus melangkah bahkan hendak menerobos tangan bertato yang berusaha menahannya. Tidak gentar, dia bahkan menatap kedua laki-laki itu tepat di mata mereka.
Salah satu tangan mereka mencekal pergelangan tangan Satria. Bukannya takut atau menghindar, Satria menunduk dan tertawa kecut. Tangan kanannya yang bebas kembali membenahi letak kacamatanya yang sedikit turun dari hidungnya.
“Cuma segini aja, Bang?” tanyakan sinis.
Sedetik kemudian, Satria balas memelintir tangan yang tadi mencekal pergelangan tangannya. Tubuh besar itu terayun dengan begitu mudah yang roboh di tanah. Satria menoleh dan melihat laki-laki yang lain hendak menyerang. Dia menunduk, menghindari pukulan yang diarahkan pada wajahnya, lalu menyikut perut lawannya. Meringkuk kesakitan dan terdorong beberapa langkah ke belakang, laki-laki berkumis itu akhirnya jatuh ke tanah setelah Satria mengeluarkan tendangan yang keras.
Dua laki-laki lain yang tadi berada dengan dengan si perempuan merangsek maju, meninggalkan satu teman mereka yang memegangi perempuan yang masih meronta.
Satria hanya tersenyum. Dia mulai menegakkan kuda-kudanya. Dengan mudah dia menangkis pukulan laki-laki dengan parut di wajahnya. Sikunya dilabuhkan di titik antara bahu dan tengkuk laki-laki itu yang sukses membuatnya terjatuh lemas. Lawan berikutnya tidak langsung menyerang. Dia mengamati Satria kemudian berusaha menyerang bagian perut. Satria terkecoh karena ternyata serangan yang sebenarnya dilabuhkan di rahangnya.
Dia terdiam sejenak. Pukulan itu cukup membuatnya pening. Matanya mengerjap dan melihat laki-laki itu tersenyum begitu sinis. Menarik napas demi menahan nyeri di rahang, Satria terdiam hingga sang lawan –yang mungkin menilai lawannya hilang fokus– menyerang tanpa perhitungan. Hal itu membuat Satria menunduk dan menyerudukkan diri ke arah perut lawannya. Ketika si lawan jatuh, Satria menduduki tubuhnya dan melabuhkan pukulan bertubi-tubi, memastikan lawannya sulit untuk bangun kembali.
Suara peluit terdengar. “Hei, ngapain berantem di sana?”
Satria terbangun dan melihat dua orang petugas keamanan mendekat, menyorot mereka dengan senter dan membawa pentungan. Yang terjadi berikutnya tidak bisa dia ingat dengan baik. Kepalanya masih pening akibat pukulan tadi, dan nyeri di badannnya mulai terasa karena sudah lama dia tidak melatih bela dirinya.
Seorang perempuan mendekat. “Mas, nggak apa?”
“Mbak, bener Mas ini yang bantuin?” tanya seorang petugas keamanan.
“Iya, Pak Dadang. Mas ini yang bantuin saya tadi. Orang-orang yang lari tadi yang nyerang saya pas lagi mau buang sampah.”
“Punten ya, Mbak. Kami nggak tahu kalau ada berandalan yang berniat bikin onar.”
“Nggak apa, Pak. Bapak-bapak kembali ke pos saja. Saya yang bantu Mas ini.”
Satria balas mengangguk ketika dua laki-laki itu mengangguk padanya. Tangannya mengusap rahang kiri yang mungkin sudah memar dan akan meninggalkan nyeri selama beberapa hari.
“Mas!”
Seruan itu membuat Satria menoleh dan menemukan Gita –bersama beberapa temannya– mendekat ke arah mereka.
“Mas kenapa? Ngapain tawuran sih?”
Tangan Satria terangkat, hendak menghentikan Gita yang sudah menyerocos.
“Maaf, Mbak. Tadi Masnya bantuin saya. Ada preman yang menyerang saya di belakang cafe.”
Saat itulah Satria mengamati penampilan perempuan yang ada di hadapannya. Rambutnya tersisir rapi, lurus jatuh hingga di bawah telinganya. Sebuah celemek cokelat terpasang rapi menutupi kemeja putih yang dikenakan perempuan itu. Rupanya dia salah satu pegawai cafe ini.
“Mas, mau dikompres dulu pipinya? Saya ambilkan es dari dapur ya?” tawar perempuan itu.
Satria hanya menggeleng lalu menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
“Nggak seberapa sakit kok, Mbak. Nanti bisa saya obati sendiri saja. Mbak sendiri nggak apa? Ada yang luka?” tanya Satria perlahan, berusaha menyesuaikan dengan nyeri yang dia rasakan.
Perempuan itu menatap Satria dengan pandangan yang sulit diartikan. Bingung. Kaget. Tetapi juga ada sayu kesedihan di sana. Apakah Satria salah bertanya?
“Mbak?” tanyanya lagi karena tidak mendapat jawaban.
“Ah,” kata perempuan itu seperti tersadar dari lamunan. “Terima kasih banyak sudah menolong saya, Mas. Kalau Masnya baik-baik, saya jadi lega. Saya permisi dulu, harus kembali ke dapur.”
Begitu saja, lalu perempuan itu menghilang.
“Mas, kenapa Mbak itu?” tanya Gita yang sepertinya juga keheranan.
Satria menatap Gita lalu mengedikkan bahu. Dia mendesis, mulai merasakan nyeri yang lebih hebat di rahangnya.
“Kamu udah beres? Pulang yuk. Sakit nih.”
Gita berdecak, diikuti dengan senyum geli oleh teman-teman yang berdiri di belakangnya.
“Sok kuat kamu, Mas. Nanti kalau diobati Ibu, jangan teriak-teriak!”
Setelah Gita berpamitan, Satria membonceng sang adik meninggalkan tempat parkir. Dia sempat menoleh ke arah konter kopi dan menemukan perempuan tadi sedang melayani pelanggan.
Siapa kamu sebenarnya? Mengapa kamu berada di situasi tadi?