ENAM

1360 Words
Jam operasional cafe sudah berakhir. Ruangan utama sudah temaram, hanya dengan beberapa lampu yang menyala. Beberapa meja –yang letaknya paling jauh dari pintu masuk cafe– digabung menjadi sebuah rangkaian panjang, tempat beberapa staf yang masih tinggal dan berbincang, makan bersama. Oh, tentu mereka tidak memanfaatkan stok makanan di cafe. Biasanya mereka mengeluarkan bekal sendiri atau malah membeli nasi goreng dari abang yang melewati jalanan di depan cafe, menjajakan masakannya dengan gerobak yang sepertinya sudah perlu dicat ulang. Walau gerobaknya tampak kurang meyakinkan, nasi goreng Jawa bikinan si abang tak perlu diragukan rasanya. Seperti malam ini, Andra sudah memastikan si abang akan mampir dengan mengirimkan pesan pendek. Benar saja, ketika cafe tutup, si abang sudah tiba di depan pintu dan siap memasak beberapa porsi pesanan. “Lo kenal laki-laki yang tadi?” tanya Andra pada Stef, seraya menyuap sesendok nasi goreng merah yang masih mengepulkan uap. Stef menggeleng, memutuskan untuk tetap berfokus pada nasi goreng di hadapannya. “Nggak penting juga, Bang.” “Penting! Gue curiga, tuh orang tiba-tiba nyenggol lo lalu bikin ribut begitu?” Beberapa kepala yang lain ikut manggut-manggut, walau pandangan mereka tertuju pada bungkusan nasi goreng yang sudah terbuka atau kotak bekal di hadapan masing-masing. Stef pun memutuskan untuk tetap berfokus pada nasi goreng ekstra telur di hadapannya. Dia hanya mengedikkan bahu tak acuh. “Iya ih. Gue ngeri lo, Stef. Kalau tiba-tiba ada badan segede gaban gitu melototin gue, kayaknya gue udah teriak-teriak minta tolong,” timpal Rosa, pramusaji senior yang duduk di samping Andra. Sudah sekian waktu, Stef mengamati bahwa Rosa sering curi-curi pandang pada Andra yang memang dikenal ramah pada semua karyawan cafe dan menjadi idola banyak kaum perempuan yang mencari penghidupan di tempat ini. Belum lagi, Andra cukup sering berinteraksi dengan Rosa membahas perihal cafe. Salah paham dan salah jatuh hati tentu rentan terjadi. Untung saja, Rosa bukan tipe perempuan ganjen yang sok julid pada karyawan perempuan lainnya. Dia malah menjadi kakak yang mengayomi dan peduli pada karyawan yang bekerja bersamanya. “Mana nih bocah sok-sokan berani ngadepinnya. Gue ikut adem-panas tahu gak.” Andra berkomentar dan mendengus, sementara tangannya menyendok acar timun yang ada di sudut kertas pembungkus nasi goreng Rosa. Stef hanya melirik lalu tersenyum simpul. Seharusnya membahas relasi Andra dan Rosa lebih seru daripada mengingat laki-laki berbadan besar yang tiba-tiba “menyerangnya” tadi. Sejujurnya, Stef juga takut. Jantungnya berdebar tak tahu diri dan tak tahu tempat. Tetapi, dia juga tak mau orang menginjak-injak dan berlaku seenaknya pada dirinya. Kehidupan yang sulit ini mengajarkan Stef untuk tidak menampilkan rasa takut itu pada siapa pun. Dia harus menjadi kuat. Tangguh. Karena kalau bukan dia yang membela dirinya sendiri, Stef tahu tidak akan ada orang lain yang berdiri untuk dirinya. “Belum lagi tuh laki-laki yang belain lo. Kenalan lo? Kenapa bisa tiba-tiba dia belain lo. Jarang kali orang kayak gitu. Kebanyakan mah langsung angkat gawai pintarnya terus ngerekam, biar viral. Lo ada hubungan sama tuh laki-laki?” cecar Andra lagi. Mendengus sebal, Stef menatap Andra tajam. “Bisa nggak lo nggak rese, Bang? Cerewet tuh nggak cocok sama lo.” Rosa terkekeh, lalu menutup mulutnya dengan satu tangan yang masih memegang sendok. “Iya nih. Tumben lo cerewet?” Ganti kali ini Andra yang mendengus. “Gue nggak bisa diem kalau lihat kejadian aneh di tempat kerja, di mana gue jadi penanggung jawabnya. Kalian apa nggak merasa ada yang aneh sama kejadian tadi? Kayak udah diatur gitu. Sengaja banget si Badan Gede itu bikin ribut pas Stef di sana. Emang dia duduk deket-deket situ? Kayaknya kok enggak. Gue bakal cek CCTV dah.” “Hedew! Ribet banget sih hidup lo, Bang!” Stef menaruh sendok –lebih tepatnya setengah membanting– lalu menatap Andra dengan serius. “Nggak usah parno. Namanya juga nggak sengaja. Orang itu juga langsung pergi kan?” Andra mengangkat sendok dan menudingkannya pada Stef. “Itu yang paling aneh. Kenapa dia langsung ngilang? Nggak masuk akal banget kan? Sengaja banget itu dia cari-cari masalah sama Stef. Terus, ngapain tiba-tiba batal bikin ributnya?” Stef cepat-cepat menyendok sisa-sisa nasi goreng, menjejalkannya ke dalam mulut. Setelah mengunyah secepat kilat dan menenggak habis air yang ada di botol minumnya, dia berdiri. Tangannya meremas kertas pembungkus nasi goreng dan matanya terarah pada beberapa orang yang duduk di meja panjang itu. “Udah, cepetan makannya. Gue mau kunci pintu. Besok gue berangkat kerja pagi. Gue mau tidur. Cepetan!” *** Stef menatap nanar sepeda motor terakhir yang keluar dari area parkir cafe. Pak Dadang, security cafe, sudah menarik pagar yang kini memisahkan area cafe dengan jalanan di luar, menandakan bahwa cafe benar-benar sudah tidak dapat diakses umum. Menghela napas, Stef mengunci pintu utama cafe, lalu melangkah gontai ke area dapur. Kakinya bergerak tanpa perlu dikomando, menapaki tangga sempit yang membawanya ke lantai tiga. Akses tangga ini melewati lantai 2, yang terhubung dengan area service untuk ruang VIP dan area cafe di lantai itu. Anak-anak tangga pada akhirnya membawa Stef ke lantai teratas cafe. Suasananya jauh berbeda dari lantai 1 atau lantai 2 yang ditata apik oleh desainer interior kepercayaan sang pemilik cafe. Tetapi di lantai 3, Stef disambut oleh aroma debu yang pekat dan bau apak akibat jamur di sudut-sudut lembap. Kardus-kardus menumpuk di satu sudut, berseberangan dengan jendela kecil yang sengaja Stef buka sedikit untuk tujuan sirkulasi udara. Barang-barang inventaris cafe –yang jarang digunakan– ditempatkan di sana. Stef bisa mengingat jelas di mana kardus yang berisi pernak-pernik dekorasi ditempatkan. Terbenam di antara kardus-kardus berisi packaging makanan atau piring dan gelas. Tempat ini adalah daerah kekuasaannya. Dia tahu benar apa-apa saja yang disimpan di sana. Barang-barang yang sering dilupakan dan hanya dicari ketika dibutuhkan. Seperti dirinya, yang ditempatkan di kamar kecil di ujung ruangan, di lantai di mana barang-barang tak diingat disimpan. Dia melangkah pada sebuah pintu kayu yang lapisannya mulai terkelupas. Setelah membuka kunci, dia masuk dan disambut oleh lampu yang otomatis menyala. Terinspirasi drama Korea, Stef memasang sendiri sensor gerak pada lampu yang berada di dekat pintu. Melepaskan sepatu di area kecil yang dia fungsikan sebagai foyer, Stef berteriak sambil menyunggingkan senyum lelah. “I’m home!” Kamar itu begitu mungil. Luasnya hanya 3 kali 4 meter. Di sebelah kiri foyer, ada pintu berwarna cokelat yang terhubung dengan kamar mandi super mungil, cukup untuk kloset dan shower. Di balik tembok kamar mandi, berdiri lemari dengan dua pintu geser yang berhadapan dengan tempat tidurnya. Dinding samping tempat tidur memiliki jendela dua daun yang tertutup oleh kain motif bunga-bunga berwarna pastel. Nuansa minimalis bergaya Jepang itu tampak sangat kontras dengan ruangan di luar pintu. Sentuhan kayu juga menyusun kitchen kabinet yang memenuhi dinding sebelah kanan. Kulkas kecil berdiri paling ujung, dekat foyer. Diikuti kemudian dengan bak cuci piring –yang juga berfungsi sebagai wastafel– dan kompor elektrik. Meja dapur membentang hingga membuat letter L, tempat di mana Stef suka menikmati makan pagi atau makan malamnya. Di dinding tergantung beberapa rak terbuka, tempat Stef menyimpan peralatan memasaknya, juga beberapa barang kepunyaannya. Sementara buku-buku koleksinya harus disimpan di bawah tempat tidur, memanfaatkan ruang seefektif mungkin. Menggantung tas pada beberapa hook yang dipasang di sisi samping lemari bajunya, Stef melangkah masuk lalu merebahkan diri di atas karpet yang mengisi ruang kosong di antara tempat tidur dan kabinet dapur mininya. Butuh setahun lebih untuk mengubah ruang kecil ini menjadi tempat istirahat yang nyaman bagi dirinya. Stef rela mengencangkan ikat pinggang dan benar-benar berhemat untuk membuat ruangan ini layak dihuni dan nyaman seperti saat ini. Satu demi satu perabot dia beli, tentu tidak sekaligus. Dan sekalipun dia tahu bahwa tempat ini seperti sebuah tempat pengasingan di mana dia dibuang, di tempat ini juga orang-orang itu tidak bisa menyentuh dirinya. Dia bisa menjadi Stef, apa adanya, di tempat ini. Dia aman. Tak perlu takut akan ancaman yang mengintai. Pergelangan tangan kanannya kini terasa nyeri. Setelah semalaman mengabaikan ketidaknyamanan itu, kini denyut linu itu seakan menusuk hingga ke tulang. Mendengus sebal, Stef mengusap bagian yang mulai membiru itu dengan tangan kirinya. Dia harus mengobatinya. Paling tidak mengurangi rasa nyerinya. Dia butuh tangan itu untuk bekerja. Besok dia masih harus bekerja. “Ayo, Stef, jangan manja,” katanya pada diri sendiri. “Kamu … harus kuat.” Dan air mata tak lagi bisa terbendung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD