Seorang siswi berjalan menerusuri lorong asrama wanita Britania High School yang akan ditinggalinya mulai hari ini, ditemani oleh seekor kucing hitam kesayangannya. Filiae Morte, gadis berparas cantik bertubuh mungil itu berjalan sambil melihat ke arah sisi kanannya yang merupakan taman kecil di asrama itu.
Mendadak seolah waktu terhenti, matanya bertemu pandang dengan sesosok pria tinggi yang sangat tampan, pria itu memiliki tatapan mata yang sangat lembut, bola mata hitam pekat yang tampak sangat serasi dengan kulit putih susunya. Tanpa disadarinya, Filiae menjatuhkan Fea, kucing hitam kesayangannya.
"Eh, Fea... kemari," pekik Filiae, ketika sadar kucing kesayangannya telah ia jatuhkan. Namun, sama halnya dengan si majikan, Fea juga tampak terpesona oleh pria itu. Kucing itu melompat ke arah pria tampan di hadapan mereka, melihat itu Filiae bergegas berjalan mendekatinya.
"Maafkan aku, Tuan. Itu kucing milikku. Tidak keberatan kan, bila kamu mengembalikannya?" kata Filiae berusaha setenang mungkin menyembunyikan detak jantungnya yang melompat-lompat, lantaran jarak mereka yang sangat tipis.
"Tentu, Nona," pria itu menatap Filiae bingung, lantaran tidak mengetahui nama gadis di hadapannya. "Filiae Morte, aku siswi tahun pertama di sini." Filiae membungkukkan badannya menunjukkan sikap santun kepada pria yang lebih tua darinya itu. Ia jelas mengetahuinya, karena ini adalah asrama wanita. Jika ada pria yang berkeliaran di sini, sudah tentu ia merupakan seorang staf pengajar.
"Nona Morte, kenalkan aku Wiliam Quercus penanggung jawab asrama." Wiliam tersenyum kepada Filiae sambil memberikan Fea, Filiae segera mengulurkan tangannya menyambut kucing kesayangannya kembali ke pelukannya. Tanpa sengaja tangan mereka bersentuhan, seketika itu Filiae langsung melompat mundur mengambil jarak dari Wiliam, ia sadar ada yang tidak beres dengan pria itu.
"Kamu bukan manusia, Tuan Quercus!" mendengar perkataan Filiae, senyum di wajah Wiliam hilang tergantikan oleh raut wajah cemas. Ia kemudian bersikap waspada kepada Filiae yang tengah memandanginya dengan tatapan yang amat dingin.
"Begitu juga dengan kamu, Nona Morte, apa niatmu datang ke sekolah ini? Ini bukan tempat bermain makhluk immortal seperti mu," Wiliam mulai bertanya, ia perlu tahu apa maksud Filiae datang ke sini, jika gadis itu berniat jahat maka ia harus membereskannya terlebih dahulu.
"Huh! Memangnya kamu bukan makhluk immortal juga!" tapi tampaknya Filiae juga berpikiran sama seperti Wiliam, ia menunjukkan sikap menantang kepada Wiliam.
"Aku tidak membahayakan manusia, berbeda denganmu. Aura hitam itu, aku rasa kamu berasal dari ras terkutuk." Perlahan Wiliam mulai merasakan aura hitam yang dikeluarkan oleh Filiae, tanda bahwa gadis itu telah melepas segel kekuatan yang dari awal ia sembunyikan.
"Bukan! Aku adalah kaum Witch, bangsa pelindung dan pemimpin makhluk immortal. Aku punya hak untuk tahu kenapa ada makhluk immortal yang berbaur dengan manusia, itu jelas melanggar aturan kerajaan." Wiliam terkejut mendengar pernyataan Filiae.
"Bagaimana mungkin, kaum Witch tidak berbaur dengan manusia dan hak itu hanya berlaku untuk bangsawan. Bukan berarti semua ras Witch mempunyai hak." Suasana di antara mereka mulai mencekam, keduanya tidak mau saling mengalah.
"Tentu aku punya hak, aku adalah putri bungsu Raja Ramoz, raja bangsa Witch." Setelah mengatakan itu, Filiae mengangkat rambutnya, menunjukkan simbol seekor burung bermahkota yang merupakan lambang anggota keluarga kerajaan yang terletak di tengkuknya.
Melihat itu, Wiliam tahu bahwa Filiae tidak berbohong. Lambang berwarna emas diukir oleh sihir kuno itu tidak dapat ditiru oleh siapa pun, hanya sang raja bangsa Witch yang bisa membuatnya. Wiliam segera menekuk kaki kanannya dan berlutut di hadapan Filiae.
"Maafkan kelancanganku Nona Morte, aku adalah kaum Druid," ucap Wiliam sambil menundukkan kepalanya. Kali ini Filiae yang terkejut, bagaimana mungkin? Kaum Druid telah punah lebih dari 1.000 tahun yang lalu. Mereka adalah manusia yang diberkahi kemampuan menggunakan kekuatan alam, manusia suci yang sering dianggap sebagai sahabat bangsa Witch.
"Apakah ada kaum Druid lain selain kamu, Tuan Quercus?" Filiae mulai bertanya, bila kaum Druid masih ada maka ia harus segera melaporkan hal ini kepada ayahnya, Raja Ramoz.
"Tidak ada. Aku satu-satunya yang selamat dari masa perburuan kaum Druid 1.000 tahun yang lalu," kali ini Filiae makin terkejut olah jawaban Wiliam. Ia berjongkok mencengkeram kedua bahu Wiliam dan menatap mata pria itu mencari kejujuran dalam tatapannya.
"Bagaimana mungkin? Kaum Druid adalah manusia, kalian tidak bisa hidup selama itu." Suara lirih penuh keheranan keluar dari mulut Filiae. Ia tidak habis pikir, kaum Druid tidak punya kekuatan untuk hidup abadi. Jika pria itu berasal dari masa perburuan, meski selamat, harusnya ia tetap akan mati dimakan oleh usia.
"Sihir. Ratu Zealia meminumkan darahnya kepadaku." Wiliam menghela napasnya dan kemudian menjelaskan kepada Filiae. Tidak ada alasan untuk menyembunyikan kenyataan itu kepada Filiae, mengingat bahwa gadis itu adalah putri raja sekaligus cucu dari ratu bangsa Witch yang memberinya keabadian.
"Ratu Zealia? nenekku yang memberimu keabadian." Filiae menutup mulutnya tidak percaya, tapi ia tahu bahwa Wiliam tidak berbohong. Memang ada sihir kuno keabadian menggunakan darah, tapi sihir itu hanya diketahui oleh keturunan murni raja. Jika nenek yang melakukannya, maka itu cukup masuk akal untuk diterima, tapi kenapa? sekalipun kaum Druid adalah manusia suci yang hidup berdampingan dengan roh alam, tidak seharusnya seorang ratu bangsa Witch melanggar hukum kematian seperti itu. Ini sama saja mempermainkan kehidupan.
Wiliam mulai cemas melihat Filiae yang tampak shock, gadis itu terduduk di tanah tanpa bergerak sedikit pun. Ia ingin menyentuhnya, tapi Filiae adalah anak raja, tentu saja ia tidak boleh seenaknya menyentuh gadis itu.
"Nona Morte, kamu baik-baik saja?" akhirnya hanya bertanyalah yang bisa dilakukan oleh Wiliam.
Mendengar suara yang memanggilnya, Filiae tersadar kembali. Ia menatap mata Wiliam lekat-lekat yang membuat Wiliam tersenyum lega. Melihat senyuman itu, Filiae menyentuh dadanya, jantungnya kembali berdetak sangat keras, wajahnya panas merona. Ia segera sadar akan keanehannya, dengan cepat Filiae kembali berdiri dan berlari menuju ke kamarnya. Meninggalkan Fea dan Wiliam yang juga merasakan debaran jantung saat melihat wajah merona Filiae.
"Sepertinya majikanmu melupakanmu Fea," ucap Wiliam sambil membawa kucing hitam milik Filiae ke pelukannya. Ia pun berjalan menuju kamarnya sambil mengingat-ingat wajah merona Filiae yang membuatnya terpesona.
∞
Filiae berlari kencang memasuki kamar asrama yang ditempatinya, begitu pintu tertutup, ia langsung tersungkur jatuh terduduk di lantai tepat di depan pintu. Tangan kanannya masih berada di dadanya, bisa ia rasakan jantungnya masih berdetak keras akibat melihat senyuman Wiliam yang memesona.
Gadis itu menutup mata pelan, menghela napas berusaha menenangkan dirinya. Daya tarik jiwa murni dari ras terberkati sangat berbahaya bagi jantungku, mereka selalu bisa membuat makhluk immortal seperti ku terpesona, batin Filiae, setelah tenang ia kembali tersadar.
Kenapa? Jika Wiliam benar-benar menggunakan sihir keabadian dari neneknya, kenapa jiwanya masih murni? Harga untuk sihir yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian adalah kutukan. Pertanyaan itu terus terbayang-bayang di benaknya, apakah ia salah menilai Wiliam? Tidak!! Tidak!! Filiae jelas yakin bahwa jiwa pria itu masih murni.
Filiae begitu bingung, ia berjalan mondar-mandir di kamarnya, pikiran Filiae begitu kusut memikirkan berbagai kemungkinan. Apakah pria itu berbohong padanya? Tapi ia bisa melihat kejujuran di mata pria itu, lantas kenapa jiwa pria itu tidak dikutuk? Kenapa aura yang dikeluarkan oleh Wiliam begitu murni? Tidak ada aura hitam sama sekali. Atau jangan-jangan, ada harga lain untuk sihir keabadian selain kutukan!?
Merasa tidak mungkin bisa menemukan jawaban yang ia cari, Filiae kemudian berjalan ke arah nakas di samping tempat tidurnya. Ia membuka laci paling atas dan mengambil sebuah buku tua berwarna cokelat yang terlihat seperti sebuah jurnal. Namun, sebenarnya itu adalah sebuah buku sihir. Kemudian Filiae mengiris pergelangan tangannya menggunakan pisau yang ia buat dari sihir angin. Dibukanya buku tua itu, menampilkan halaman yang kosong. Filiae lalu meneteskan darah yang mengalir dari nadinya ke halaman kosong dari buku sihir itu dan menggumamkan mantra.
"Wahai arwah para leluhur, beri tahukan kepadaku segala hal mengenai sihir keabadian, kehidupan dan kelahiran." Seketika itulah, angin bertiup lembut ruangan itu, lembar demi lembaran dalam buku sihir terus terbuka menampilkan tulisan-tulisan berwarna perak yang indah, segala informasi yang diinginkan oleh gadis itu mulai bermunculan. Luka di pergelangan tangannya telah sembuh sempurna. Filiae lalu tersenyum tipis dan mulai membaca isi dari buku sihir itu.
Sementara di tempat lain, Wiliam tengah sibuk bermain dengan Fea, kucing hitam kesayangan Filiae. “Aku tidak sabar menunggu majikanmu datang menjemputmu, Fea." Pria itu tersenyum sendiri memikirkan Filiae, berbicara dengan Fea sebagai ganti dari majikan kucing itu.
∞
Esok harinya, Filiae terbangun di lantai kamarnya. Ia terlalu larut membaca buku sihir itu hingga tertidur di lantai kayu yang dingin. Namun, apa yang dicarinya tidak juga ditemukan.
Filiae kemudian berjalan ke kamar mandi dan bersiap-siap ke sekolah, setelah siap gadis itu mencari kucing kesayangannya. "Fea, kemarilah." Ia memanggil kucing itu dengan lembut sambil memegang sepotong biskuit kucing, tapi Fea tidak kunjung datang membuat Filiae menjadi panik. Ia pun menggunakan sihir untuk melacak keberadaan Fea di kamarnya, tapi hasilnya nihil.
Gadis itu lalu menepuk jidatnya dan bergumam, "Aduh... aku lupa! Fea ada bersama dengan pria Druid itu." Ia ingin sekali mencari Wiliam dan meminta kembali Fea, tapi sayang ia tidak memiliki waktu lagi, jam sudah menunjukkan pukul 08:45. Jika Filiae tidak berangkat sekarang maka ia akan telat masuk kelas di hari pertamanya, gadis itu pun bergegas menutup pintu dan berlari ke arah sekolah yang terletak tepat di seberang jalan asramanya.
Brak! Bruk!
Filiae terjatuh lantaran menabrak seorang pria ketika ia sedang berlari di lorong kelas, bel telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Gadis itu tidak mau datang terlalu telat ke kelasnya, tapi sayang kali ini justru sepertinya ia akan semakin terlambat.
"Ke mana matamu, Nona! Berlarian seperti anak kecil di lorong!?" bentak seorang pria bertubuh tinggi dengan rambut berwarna cokelat tua dan bola mata berwarna kuning keemasan, samar-samar tercium bau darah segar dari napasnya.
Filiae mulai bangkit berdiri, ia terdiam sejenak, merasa ganjil dengan bau darah itu. Terlebih, karena kulit pria di hadapannya ini sangat dingin, sehingga ia segera tahu bahwa pria ini sama sepertinya, seorang makhluk immortal. Filiae berniat menanyakan kenapa makhluk di hadapannya ini berada di sekolah. Akan tetapi, suara bentakan pria itu membuat beberapa siswi dan guru keluar dari kelas, ia pun mengurungkan niatnya.
"Maafkan aku, Tuan. Aku sedang terburu-buru dan tidak melihat ke depan." Filiae memutuskan untuk meminta maaf dan berpura-pura seolah ia manusia karena sepertinya pria itu tidak sadar siapa dirinya.
"Ya sudah, lain kali kamu harus berhati-hati!" Pria itu mendengus kesal dan berjalan pergi. Menyusahkan bila manusia sudah berkumpul seperti ini. Ia melirik ke belakang, melirik pada gadis bertubuh mungil yang menabraknya tadi. Gadis itu sudah berjalan cukup jauh dan orang-orang yang mulai berkumpul sudah kembali ke kelas mereka masing-masing.
Pria berambut cokelat tua itu adalah Daniel Black, ia seorang dari bangsa Vampire. Daniel merasa yakin bahwa gadis yang bertabrakan dengannya itu adalah manusia. Namun, ia merasa ada kejanggalan dalam diri gadis itu, seolah ada sesuatu buruk yang disembunyikan di balik wajah lembut nan cantik itu.
"Kau akan menjadi mangsaku yang berikutnya gadis manis," ucapnya pada dirinya sendiri sambil tersenyum culas. Kemudian Daniel mulai bersenandung dan melangkah menuju kelas yang akan diajarnya. Daniel merupakan guru kelas musik di sekolah khusus putri itu.