Obrolan kami sedikit terganggu dengan masuknya beberapa pesan dari Bagas, sepupuku dari Jogja. Dia masih belum menyerah merayuku untuk sekolah di Jogja dan tinggal dengan Bude Ines atau Pakde Sis. Sungguh sangat memuakan. Aku sama sekali tak berminat dengan tawaran apapun yang datangnya dari keluarga besar ayah. Kecuali Om Teguh.
[Gas, lupakan Pras juga Prili. Yakinlah tanpa bantuan saudra-saudara di Jogja, kami masih bisa bertahan hidup. Insya Allah masih bisa sekolah, juga kuliah.] balasku jengkel.
[Lu jangan mudah tersulut gitu dong, Pras. Kita semua sayang sama lu dan Prili, berharap kalian mau buka hati. Lu boleh marah sama ayah, tapi sampai kapan pun kita tetap saudara] Balasan Bagas
[Sudahlah, Gas. Gua udah tahu siapa kalian semua. Kalian hanya peduli sama keluarga-keluarga kalian yang tajir doang. Dah lah basi!]
“Jadi serius, anak-anak gang lu sampe taruhan buat dapetin Tante Melia?” Aku kembali bertanya pada Argi setelah pesan terakhirku tak ada balasan dari Bagas.
“Serius, makanya yang nyari si Alvin itu bukan cuma Tante Melia. Teman-teman gua juga banyak yang nyari. Tapi tujuan mereka hanya pengen kenal and siapa tahu bisa dapat akses buat masuk ke link si Tante, itu aja. Kalau nyokap si Alvin bilang banyak yang nyari anaknya, belum tentu orangnya si Tante, Bro.”
“Oh.. Jadi lu juga minta akses si Tante, hanya untuk dapetin hadiah. Memang hadiahnya apa sampe lu ngebet gitu? Motor? Emang lu mau motor apa lagi, Bro. Perasaan semua jenis motor udah pernah lu punya.”
“Hahaha, hadiahnya cuma hape doang. Gua sama sekali gak minat sama hadiahnya. Jujur aja gua makin penasaran sama si Tante. Gua yakin dia sealiran sama gua dalam urusan seks. Dia kayaknya seorang eksib, sama kaya gua.” Argi bicara santai namun justru sukses membuatku bingung dan melongo.
“Eksib apaan?” tanyaku.
Argi nyengir kuda sambil memainkan hapenya.
“Coba lu liat video ini.” ucapnya sambil menyodorkan hapenya yang sedang memutar sebuah video.
Dengan perasaan bingung, ragu dan penasaran, aku segera menonton video yang terputar. Tampak Tante Melia sedang berjalan santai, berlenggek-lenggok seksi dengan bikininya di pinggir sebuah kolam renang. Di sana pun banyak lelaki berbagai usia yang sedang duduk-duduk santai. Namun wajah mereka kebanyakan terlihat mupeng tergiur dengan kemolekan dan keindahan tubuh Tante Melia yang berjalan goyang itik.
“Gi, Tante Melia pake bikini lenggak lenggok dekat kolam renang, gua sering banget liat dia begitu di kolam renang rumahnya. Apa istimewanya?” tanyaku masih tak mengerti.
“Hahaha, berarti lu bener-bener cupu, Bro.” Argi menertawakan kedunguanku. “Lu coba perhatiin lagi lebih fokus,” lanjutnya.
Aku terpaksa memutar dan menonton ulang video berdurasi tidak lebih dari 2 menit itu. Dan sama sekali tidak ada perubahan serta tidak ada yang terlalu menonjol menurutku. Cara jalan dan sebagainya memang itu sudah ciri khasnya Tante Melia.
“Orang awam mungkin menilai biasa. Tapi bagi gua sesama eksib, tahu banget kalau cara jalan, gesture dan lenggak-lenggoknya sengaja banget pamer. Orang eksib punya kepuasan tersendiri jika mampu mengekspose keindahan dan keseksian tubuhnya. Sebisa mungkin wajib bikin orang lain h***y. Kalau perlu bugil di depan umum.”
“Hah!”
“Yes. Bahkan berani melakukan hal-hal ekstrim untuk urusan seks. Kalau perlu bercinta di tempat-tempat yang tak lajim, di area publik yang besar kemungkinan terlihat orang lain. Semakin berisiko, semakin terpacu andrenalinnya.”
“Hah, gila lu!” sergahku spontan. Wajahku melongo menatap Argi yang cengengesan tanpa berdosa.
Sebelum ini aku dan beberapa teman sekelas, menganggap Argi sedikit belok otaknya. Dia senang pamer tonjolan di slangkangannya kepada publik. Semua celananya super ketat. Terkadang nekat suka membuka seleting dan ngeluarin senjatanya yang lagi ngeceng saat sedang belajar, bahkan ketika guru menerangkan di depan kelas. Untung saja belum pernah terciduk sama guru.
“Amazing!” itu jawaban yang biasa dia berikan setiap aku menegur keganjilannya. Kini aku baru tahu kalau sahabat tajirku ini seorang exibitionisme.
Pikiranku melayang pada peristiwa Alvin dan Tante Melia di Pantai Plara kala itu. Mereka dengan santainya berjalan di tengah keramaian dengan pakaian super ketat dan basah yang menempel di badan. Bagian-bagian tubuh mereka yang paling pribadi terekspose sempurna. Rupanya mereka sengaja melakukan itu untuk pemer diri sebagai pelampiasan dari syahwat eksibnya.
“Eksib nular ya, Gi?” tanyaku penasaran.
“Hehehe, lu kira corona, pake nular segala!” pungkas Argi.
“Gini, Gi. Selama ini, gua belum pernah liat Alvin kaya lu gitu. Gak pernah pamer-pamer senjata di depan umum, bahkan depan gua sahabatnya sendiri. Tapi beberapa waktu yang lalu, sebelum ada kasus ini, Alvin dan Tante Melia pernah cuek wara-wiri depan umum dengan pakaian yang gua sendiri malu hati ngeliatnya. Mungkinkah si Alvin udah ketularan eksib dari Tante Melia?”
“Bukan nular. Si Alvin mungkin udah punya bakat eksib juga. Cuma tersembunyi karena malu. Nah pas ketemu dengan Tante Melia yang satu frekwensi, meledaklah jiwa eksibnya. Gua juga kalau sama Tante Melia bisa jauh lebih berani dari si Alvin. Gak cuma jalan santai gitu, kalau diajak ngentoot depan orang juga, gua berani, hahahaha.”
“Syaraf lu!” sergahku.
“Hahahahah. Siapa yang berani nolak diajak ngehe sama tante cantik, bahenol and super tajir. Pengacara lagi. Lu juga gak bisa nolak kan?”
“Ya, tapi gak di depan orang juga, Nyet! Masih waras gua!”
Dan entah mengapa bulu kudukku tiba-tiba sedikit berdiri. Untung saja saat itu Tante Melia ngajak hubungan intim di kamar penginapan. Tak terbayangakan jika ngajak di pantai. Hadeeeeuh…
“Kalau lu udah pernah ngesek di alam terbuka, lu bakal tahu gimana nikmatnya salah satu sensasi eksib itu, Bro. Coba aja.”
Salah satu sensasi eksib? Berarti sensasinya banyak dong?
Hmmm jadi teringat dengan Bu Anhar. Aku selalu memiliki gairaah dan sensasi yang sangat berbeda cebderung liar saat onani di depannya. Apalagi ketika bercinta yang sangat mendebarkan dengan Mbak Avni di Bus Malam. Kepuasan yang aku dapatkan saat itu benar-benar paripurna. Sempurna lahir dan batin.
Apakah aku termasuk eksib? Astaga! Mengapa aku jadi begini?
Ketika sedang asik membahas eksib dengan Argi, tiba-tiba sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Ternyata Tante Melia sudah ada di rumahnya. Aku meloncat saking senangnya, namun saat Argi bertanya, aku jawab itu WA dari Mama.
Tante Melia memintaku untuk ke rumahnya malam ini juga, karena besok dia ada dinas luar lagi. Sebenarnya aku meminta dia untuk bicara via telpon, karena aku tak membawa motor. Sementara kendaraan dan ojol luar tidak bisa sembarangan masuk ke kompleks elitenya.
Tante Melia memerintahkan sopirnya untuk menjemputku dekat KFC yang tak teralu jauh dari rumah Argi. Aku pun berpamitan pada Argi dengan tetap tidak memberi tahu siapa sebenarnya yang memintaku bertemu secara mendadak itu.
Sebenarnya malas bertemu malam-malam dengan Tante Melia, aku yakin ini akan berujung dengan mesuum. Namun demi kebaikan seorang Alvin semua akan aku lakukan dengan maksimal. Anggap saja menolong teman sambil ganti oli. Hehehehe.
Tak sampai setengah jam dari sejak keluar dari rumah Argi, aku sudah berada di depan rumah megah sang Tante. Rumah yang dulu menjadi rumah keduaku. Kondisinya tidak ada yang berubah, hanya suasanya saja yang jauh lebih sepi. Sangat sepi malah. Lampu pun tidak semuanya menyala, padahal baru jam sembilan malam.
Begitu turun dari mobil sang penjaga keamanan yang tadi aku titipi nomor hape, langsung memintaku untuk ke halaman belakang lewat pintu samping.
“Tasnya di simpan di sini aja, Pras.” Pak Sakib menambahkan.
Aku pun menyerahkan tas punggungku pada Satpam yang katanya sudah lebih dari sepuluh tahun mengabdi pada keluarga Tante Melia. Tidak ada barang berharga atau benda rahasia di tasku, sehingga tidak ada alasan untuk khawatir tas ditunda di pos satpam. Sudah ketentuan baku, karena malam ini aku datang bukan sebagai teman Galang lagi.
Tante Melia langsung memeluk dan menciumi saat aku dan dia bertemu di halaman belakang. Tampaknya dia sudah dari tadi menunggu, hingga tidak sempat ganti pakaian.
“Mau minum apa, Pras?” tanya Tante Melia manja seraya melepaskan pelukannya dan meninggalkan slangkanganku yang mulai sempit. Ternyata si jagur tidak bisa diajak kompromi untuk santai sejenak. mungkin si jagur ingat lagi bahwa orang di depannya pernah dia tembusi.
“Apa aja, Tan,” balasku sambil berusaha tersenyum dan merapikan batang si jagur yang kesakitan karena posisinya sedikit menyamping.
“Makin gede and panjang aja, heheheh,” ucap si Tante sambil kembali meremas lembut si jagur. Lalu meninggalkanku mungkin akan menyuruh pembantunya untuk membuatkan minum.
Aku mengedarkan pandangan mata ke sekeliling. Tak ada yang berubah. Air kolam pun tampak tenang dan jernih memantulkan bayangan pepohonan yang berdiri di sekitarnya. Hanya cahaya lampu sekitar tidak seterang biasanya. Kolam renang yang biasanya selalu meriah oleh teman-teman Galang dan Ghita, kini benar-benar sunyi. Tembok belakang yang angkuh dan menjulang tinggi, menawarkan kesunyian yang terkesan lebih privacy.
Aku duduk di salah satu bangku taman yang berada tepat di samping kolam. Terbayang kembali kemeriahan kolam renang ini. Bahkan bayangan Om Gunardi yang terkadang ikut-ikutan ngintip saat teman-teman Ghita sedang berenang. Tampaknya tua bangka itu sedang mengincar calon mangsanya. Bisa jadi bukan hanya Firda yang jadi korbannya. Teman-teman Ghita yang jauh lebih centil-centil dan kinyis-kinyis, pasti jadi sasarannya.
Aku segera mengambil hape mengabari Nania kalau malam ini aku bertemu Tante Melia di rumahnya. Nania menyambutnya dengan antusias, dia bahkan ingin menyusul untuk menemaniku. Namun aku cegah. Bisa kacau hasilnya, karena aku sudah bertekad akan menggunakan segala cara. Sekalian ingin membuktikan ucapan Argi.
Sesaat setelah mengeluarkan rokok dan mengisapnya, tiba-tiba.
“Nih tante buatin juice jeruk aja. Tante sendiri loh yang bikinnya.” Tante Melia yang ternyata sudah berdiri di depanku membuyarkan lamunan.
“Emang Bi Ina, Bi Yayah dan Bi Ani kemana, Tan?” tanyaku berusaha santai walau jantungku makin loncat-loncat. Entah perasaan apa yang ada dalam dadaku saat hanya berdua begini.
“Jam segini, mereka udah pada tenggelam di alam mimpinya,” balas Tante Melia sambil duduk di sampingku.
“Ouh, terima kasih minumnya, Tan.” Aku berusaha tetap cool dan tersenyum seindah mungkin.
“Lagian udah jadi komitmen. Meraka kan bangun pagi-pagi sekali, jadi lewat jam sembilan malam, tante gak mau ganggu mereka. Pras juga mungkin udah tahu.” Tante bicara sambil memegang pahaku dan si jagur makin menggeliat, dia benar-benar sudah sangat kenal dengan bau tubuh Tante Melia.
Ya, sebenarnya aku memang sudah tahu. Tapi aku pikir aturan itu hanya berlaku buat Galang dan Ghita saja. Saat menginap di sini. Galang sering mengatakan jika sudah lewat jam sembilan malam, maka semua wajib melayani diri sendiri, jangan mengganggu pembantu.
Kamar Gilang dan Ghita ada di lantai dua sedangkan kamar Tante Melia ada di lantai satu, posisinya tak jauh dengan tiga kamar pembantunya. Aku pikir dia bebas mengganggu pembantunya kapan saja.
“Majikan yang sangat baik hati,” pujiku setelah menyesap minum yang hangat, manis asem menyegarkan.
“Nyonya Melia Mailastry, SH, gitu loh, hihihi,” candanya menyombongkan diri.
Sebenarnya bukan sombong. Tidak banyak majikan yang bersikap seperti dia. Kebanyakan para pemilik uang dan kekuasaan, menganggap ART hanyalah manusia dengan kasta nomor sekian, sehingga wajib mewakafkan dirinya sepanjang waktu pada sang majikan. Bahkan jika waktu itu lebih dari 24 jam.
Aku menyandarkan punggung pada sandaran bangku yang aku duduki. Kedua mataku lekat menatap wajah Tante Melia yang tampaknya masih sangat lelah. Tadi juga aku sudah menawarkan bertemu besok pagi atau siang, takutnya dia kecapekan baru pulang, namun si Tante tetap maksa.
“Pasti mau nanyain kasus Gilang dan keluarganya kan?” Tante Melia langsung menembakku. Padahal aku baru sedang merangkai kalimat terbaik untuk memulai pembicaraan mengenai hal itu. Aku hanya membalasnya dengan anggukan.
Walau saat chat tadi sempat disinggung, namun ketika berhadapan begini, aku harus mencari kata-kata yang pas. Jangan sampai menyinggung perasaan sang Tuan Rumah. Sesuai amanat dari Bu Marni, jangan sampai jadi bumerang, niat baik kalau caranya salah akan berakhir berantakan.
“Kalau gitu tante ganti pakaian dulu ya, soalnya bakal lama nih ngobrolnya, hehehe. Sudah makan Pras?” tanyanya.
“Sudah Tan, terima kasih,” balasku sambil mengangguk dan tersenyum indah.
Tante Melia lalu beranjak pergi meninggalkanku hendak mandi atau mungkin hanya ganti pakaian. aku harus benar-benar tebar pesona, supaya si Tante bertekuk dan membebaskan Alvin dan misi selelsai!
Masihkah butuhkah tebar pesona?