Ada banyak misteri dalam dunia ini. Manusia terlalu mudah tertipu dengan silau dan kilaunya penampilan luar.
Langit Bogor sudah gelap saat aku dan Nania tiba di rumah Alvin. Seperti yang disampaikan Nania, Alvin memang tidak ada di rumahnya. Kehadiran aku dan Nania disambut dengan tangisan Bu Marni, ibunya Alvin. Sementara Bapaknya sedang di kios tanaman hiasanya di pinggir jalan.
Bu Marni menyesalkan tindakan anaknya yang menurutnya sangat malukan dan kini Alvin pergi entah kemana. Nania pun kembali menangis meraung-raung menimpali tangis kesedihan Ibunya Alvin. Aku sangat paham mengapa dua wanita berbeda usia ini sangat sedih.
Nania walau tidak pernah bicara, namun aku yakin hati kecilnya sangat menyukai Alvin. Hal tersebut sangat tergambar dari sikapnya yang begitu perhatian sama Alvin. Namun aku juga tidak bisa memaksa si kurus berbatang jumbo itu untuk membuka hatinya mencintai Nania. Alvin punya standar sendiri untuk cewek idamannya. Alvin juga lebih menyukai Firda, namun seperginya dia juga tahu kalau aku suka sama gadis Solo itu.
“Alvin sangat ketakutan. Sudah beberapa kali ada orang tak dikenal yang mencarinya ke sini. Dia gak mau ibu dan bapak jadi sasaran kemarahan Bu Melia, makanya dia memilih kabur.” Bu Marni menjelaskan. Air matanya masih berderai-derai walau beberapa kali dia mengelapnya dengan ujung kerudungnya.
Aku dan Nania hanya bisa saling bertatapan. Merasakan bagaimana takutnya seorang ibu ketika anaknya yang jelas-jelas bersalah dicari oleh beberapa orang yang tak dikenal. Apalagi bila tampang mereka seperti tukang pukul, tentu itu akan menjadi teror tersendiri buat keluarganya.
“Ibu juga malu pada semua orang. Tak menduga Alvin bisa berbuat seperti itu. Kenapa dia harus nurut ajakan Galang. Kalau sudah begini kan Galang juga tidak bertanggung jawab, akhirnya orang tua yang direpotkan.” Bu Marni menatapku sendu.
“Sabar ya Bu. Saya yakin Alvin baik-baik saja. Dia pasti bisa menjaga dirinya.” Aku mencoba menenangkan wanita yang sehari-harinya mengais rizki dengan berpanas-panasan dan hujan-hujanan menunggui tanaman segar yang dijualnya di pinggir jalan.
“Sekarang Alvin jadi omongan para tetangga. Kalau saja kami punya kampung halaman untuk pulang, mungkin sudah pindah. Ibu gak berani ke luar apalagi ke warung. Ibu takut ribut dengan tetangga karena tak tahan dengan omongan mereka. Biar bagaimanapun Alvin itu anak ibu, Nak Pras.” Bu Marni begitu menyesali kebodohan anak kesayangannya.
“Ya kami semua juga menyesalinya, Bu. Tapi saya yakin, Alvin hanya terbawa-bawa aja. Nanti saya dengan Pras mau mencoba menemui Tante Melia. Mudah-mudahan ada solusi.” Nania ikut menimpali sambil mengelus-elus punggung Bu Marni.
“Sudah hampir dua bulan, Bapaknya Alvin curiga. Entah dari mana Alvin sering ngasih uang yang lumayan besar sama ibu. Malah lebih besar dari yang Bapaknya berikan. Waktu ditanya, katanya itu uang pemberian dari Galang, atau kadang dia bilang ada rizki dari menang main game dengan Pras. Ibu kan gak tahu, mengiranya bener. Gak tahunya.. hiks..hiks..hiks..” Bu Marni kembali menangisi Alvin.
Cukup lama aku dan Nania terdiam. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku utarakan namun melihat Bu Marni seakan ragu untuk terbuka, aku memilih diam. Mungkin karena ada Nania. Entah lah hatiiku mengatakan jika Bu m**i sedikit ragu bercerita, tapi sorot matanya seolah mengatakan, ‘Banyak yang ingin ibu ceritakan sama kamu, Pras.’
Aku yang sudah mulai kelimpungan melihat dua wajah wanita yang sayu dan sendu itu, segera mengajak Nania pulang. Masih ada urusan lain yang mesti aku selesaikan. Malam ini juga aku harus menemui Tante Melia yang tentu saja tanpa Nania.
Setelah mengantar Nania, aku segera kembali ke rumah orang tua Alvin dan bicara empat mata di belakang rumah sederhananya yang terlinding dari pandangan siapapun.
“Ibu beneran gak tahu keberadaan Alvin?” selidikku setelah Bu Marni terlihat sedikit lega wajahnya. Namun dia malah menatapku ragu, seolah mengukur kedalaman mata dan hatiku.
“Bu, saya datang ke sini buat ngebantu Alvin. Kalau dia memang masih ada di sekitar sini, biar saya yang datangi dia. Saya hanya ingin dia terbebas dari ketakutan dan jangan sampai berhenti sekolah.” Aku terus berusaha meyakinkan wanita sederhana ini.
“Alvin gak mungkin berani sekolah lagi, soalnya teman-temannya juga udah rame. Dia malu, Nak Pras,” ucap Bu Marni sambil menunduk.
“Ya, sekolahnya pindah aja, bareng saya di Sukabumi. Insya Allah semua akan baik-baik saja, Bu.”
“Biayanya gimana? Kan pindah sekolah itu butuh biaya besar, Nak Pras.”
“Insya Allah ada, Bu. Nanti kedepannya kan bisa sama-sama usaha. Saya punya Om yang buka kios bakso dan salon. Insya Allah bisa sambil bantu-bantu. Rencana saya juga mau sambil bantu-bantu. Saya gak rela kalau Alvin sampai keluar sekolah tanpa membawa ijazah. Sayang tinggal setahun lagi, Bu.”
“Ibu juga gak tahu. Gak ngerti nantinya nasib Alvin gimana. Padahal dia satu-satunya harapan keluarga. Pras tahu sendiri gimana nasibnya dua kakanya Alvin. Mereka hanya jadi pengguran yang…” Bu Marni sepertinya tak tega menyebutkan jika Andika dan Anang hanyalah jadi sampah masyarakat. Preman kampung yang hobinya malak orang dengan berkedok tukang parkir liar.
“Iya Bu, makanya kasih tahu saya dimana Alvin, biar saya yang bicara sama dia.” Aku mencoba memaksa dan makin yakin jika Alvin masih ada di sekitar sini.
“Ibu gak berani menyebutkan Alvin dimana, Nak Pras. Harus bicara dulu dengan bapak dan kakak-kakaknya.” Bu Marni masih ragu dan aku pun tidak mau memaksanya. Seorang ibu pasti punya alasan kuat untuk melindungi anaknya dan mencurigai siapapun.
Tak ada seorang ibu pun yang tak ingin melindungi anaknya terlepas salah atau benar. Tapi aku sendiri cukup lega, karena sudah bisa dipastikan Alvin berada di tempat yang aman, hanya aku harus segera menghubungi Tante Melia agar semuanya menjadi clear. Alvin hanyalah alat yang dikorbankan dan Tante Melia tidak boleh mengusiknya lagi.
“Bu, sekali lagi, jangan lupa. Besok atau lusa suruh Alvin segera temui saya di Sukabumi. Dia sudah tahu kok rumah Uwa saya. Pokoknya kalau untuk makan dan hidup sehari-hari gak usah dipikirin. Saya siap bertanggung jawab. Yang penting Alvin ketemu saya dulu. Kasih saja nomor hape saya.” Aku kembali memeluk Bu Marni. Wanita yang entah sudah berapa puluh kali memasakkan mie rebus buat Alvin, aku, Nania, Firda juga Galang.
“Nak Pras, sekali lagi Ibu ucapin terima kasih atas kebaikannya. Nanti Alvin ibu suruh menghubungi Nak Pras. Alvin suka ketakutan kalau ada nomor yang gak dikenal menghubungi dia.” Bu Marni ikut berdiri saat aku berdiri dan mencium punggung tangannya.
“Bu, saya permisi dulu. Mau menemui Tante Melia. Mudah-mudah beliau ada di rumahnya dan saya bisa membicarkan masalah Alvin secara baik-baik. Doakan saja semoga hati dan pintu maafnya terbuka buat Alvin.”
“Amiin. Nak Pras, hati-hati ya, jangan bicara sembarangan. Ibu takut dia tersinggung malah makin marah, nanti ibu juga yang kena akibatnya.”
“Insya Allah, Bu. Saya gak bakal gegabah. Saya yakin Tante Melia bisa memaafkan Alvin karena saya juga yakin Alvin tidak salah-salah amat.”
Aku mencoba menenangkan hati Bu Marni, walau aku sendiri tidak tahu sejauh mana keterlibatan Alvin dalam penjebakan itu dan semarah apa Tante Melia sama Alvin.
“Oh oya, itu rumah Nak Pras beneran sudah disewakan.?” tanya Bu Marni ketika aku hampir saja membalikan badan untuk meninggalkannya.
Aku hanya menjawab dengan mengangguk. Sejujurnya sedikit malas menjawab pertanyaan itu karena khawatir Bu Marni akan terus banyak bertanya tentang apa dan bagaimananya hingga akhirnya aku pindah ke Sukabumi.
“Terus Nak Pras sekarang mau tidur dimana? Kalau Nak Pras bersedia, bisa tidur di sini aja, hanya…,” tawar Bu Marni seraya menatapku bingung.
“Saya rencananya mau ke rumah Argi atau mungkin cari penginapan,” balasku dengan suara pelan.
Bukanya aku tidak menghargai tawarannya, namun aku tahu rumah kecilnya hanya ada dua kamar. Rumahnya sangat sempit dan aku pun tidak akan nyaman karena tidak terlalu akrab dengan kekak-kakaknya Alvin.
“Hati-hati ya Nak. Terima kasih atas kepeduliannya sama Alvin. Gak ada satu pun temannya yang berani menghadap Tante Melia, malahan mereka pada menghujat, Alvin.” Bu Marni masih menggantungkan harapannya padaku. Semoga saja semua bisa diselesaikan dengan baik.
Karena tidak memiliki nomor hape Tante Melia, terpaksa aku harus mendatangi rumahnya. Aku sangat yakin Tante Melian orang yang sangat baik. Alvin juga sudah sangat tahu kalau Tante Melia aslinya memang super baik. Hanya sayangnya dia tergiur dengan iming-iming motor dari Galang.
Andai saja Alvin tidak gelap mata dan bisa terus melanjutkan hubungannya dengan Tante Melia secara baik dan tanpa terlibat menjebaknya, mungkin lebih dari motor pun akan bisa dia dapatkan.
Aku yakin Tante Melia aslinya bukan hanya nafsu pada Alvin. Dia juga punya perasaan hati yang lebih. Gak mungkin Alvin diajak berlibur kalau Tante Melia hanya menganggapnya sekadar brondong pemuasnya. Terlalu banyak brondong lain yang bisa dia beli di tempat lain, tanpa harus mengajak Alvin.
Tante Melia tidak ada di rumahnya. Satpam yang menjaga rumah pun mengatakan tidak tahu majikannya dinas luar kemana. Dia juga tidak bersedia memberikan nomor pribadi majikannya tanpa izin. Padahal security itu sudah sangat kenal denganku. Sepertinya memang Tante Melia sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun.
Setelah menyerahkan nomor hapeku yang baru untuk diberikan pada Tante Melia, aku pun pulang ke rumah Argi, sahabat sebangkuku di SMA.
Kenapa harus ke rumah Alvin? Sesungguhnya dia adalah orang yang paling memahami seluk beluk dunia esek-esek tante dan brondong. Sudah sejak lama dia menggeluti dunia itu. Walaupun bukan cari uang. Keluarga Argi lebih dari cukup untuk memberinya jajan harian. Argi memang seorang manak emak-emak.
Argi salah seorang sahabat yang satu sekolah dan satu kelas dengaku. Dia kenal dengan Alvin juga Galang, walau tidak terlalu akrab. Jika Argi yang terkena kasus seperti Alvin mungkin aku tidak akan telalu kaget. Argi anak pengusaha itu memang sudah selon dan nakal sejak lama. Argi bahkan sudah tidak malu lagi dengan kenakalannya.