"Dek lo kemana aja sih!" Revin kini tengah memarahi sang adik di kamar gajebo yang tersedia disana.
"Ya main lah, lagian gue sama Reynand juga. Buktinya ini gue aman-aman aja kan?"
"Iya aman! Lo emang jago bikin gue marah, lain kali sekalian aja Handphone nya jangan dibawa!"
Reyna mengerutkan kening dengan perkataan kakaknya. "Maksud lo gimana kak?"
"Lo gue lacak, kenapa lo matiin GPS nya."
"Mana ada, fitnah lo. Orang hp ada di tas gue. Bahkan gue gak pegang hp sedikitpun ya!"
"Terserah lo aja deh!"
Revin seperti tengah merah sekali kepada adiknya, pasalnya saat tadi dia mencoba melacak keberadaan adiknya, GPS itu tak bisa di lacak. Bahkan tadi sebelum magrib, Revin berniat menerobos hutan pinus seorang diri untuk mencari adiknya, tetapi Valen dan yang lainnya menghalangi agar Revin tak gegabah, lagian mereka percaya jika Reyna pergi bersama dengan Reynand maka semuanya akan aman.
Dengan perasaan kesal dan hati yang tak karuan, Revin segera meninggalkan tempat dan segera masuk ke dalam kamar miliknya tanpa berpamitan pada siapapun, ditutupnya sebelah gorden agar Reyna yang lainnya tak dapat melihat aktifitas dirinya di dalam kamar tersebut.
Reyna dan yang lainnya semakin bingung dengan tingkah Revin yang tak seperti biasanya. Pria itu tak pernah seperti ini sebelumnya.
"Dia kenapa sih?" Felli menatap temannya satu persatu, tetapi mereka hanya menggelengkan kepala tanda tak tahu dengan Revin.
"Len, lo tau kakak gue kenapa? Ada masalah sama lo? Atau emang beneran marah sama gue?"
Valen segera melirik ke arah Reyna yang tengah menatap kamar yang akan ditempati oleh Revin. "Gue baik-baik aja sih sama dia, mungkin emang khawatir sama lo. Tadi aja sampe mau nyusulin kalian,"
Reyna menghela nafas lalu melirik ke arah Reynand yang tak membuka suaranya sedari tadi.
Merasa ada yang memperhatikannya, Reynand segera melirik ke arah Reyna. "Kenapa sayang?" Tanya Reyna dengan kening mengkerut.
"Kakak aku tuh."
Reynand menghela nafas lalu mengangguk. "Nanti aku yang minta maaf, Rey."
Reyna mengangguk dengan jawaban Reynand, setidaknya ada yang akan bertanggung jawab atas semua ini.
"Yaudah gue samperin Revin dulu ya." Valen segera beranjak saat mereka semua menganggukkan kepalanya. Bagaimanapun juga Revin sedang dalam keadaan suasana hati yang tak enak. Mana mungkin Valen membiarkan pria itu dalam mood yang sangat jelek sendirian.
Valen mengetuk kaca yang menjadi akses masuk untuk sampai ke dalam, wanita itu tak berani masuk tanpa ada izin dari Revin. Di dalam sana yang terhalang kaca transparan, Revin sedang menelungkupkan wajahnya di atas bantal, Valen sampai menghela nafas karena tumben sekali Revin seperti itu.
Saat mendengar suara ketukan kaca, Revin segera mendongak dan melihat Valen berdiri di luar sana. Tak tega melihat wajah gusar Valen akhirnya Revin duduk dan melambaikan tangannya kepada sang kekasih.
Mendapat lampu persetujuan dari Revin, membuat Valen tersenyum senang, wanita itu segera membukakan pintu kaca dan mendapati Revin yang tengah tersenyum kecil padanya.
"Sini sayang," dugaan Valen ternyata salah, Revin bersikap manis padanya di banding dengan tadi.
Valen mengangguk kecil, dan duduk di sebelah Revin. Meskipun pria itu tak marah padanya, tetapi entah kenapa ada perasaan takut yang menguasai jiwanya.
"Kamu kenapa sih, Vin?" Akhirnya pertanyaan itu lolos juga dari bibir mungil Valen.
"Aku cuman khawatir aja, maaf ya kekanakan. Emang aku se-khawatir itu sama adikku yang bandel itu."
Valen terkekeh kecil, "Dia emang bandel, Vin." Timpal Valen, "lagian ya. Reyna sama Reynand kan udah pulang, dan gak kenapa-napa, kamu kenapa masih marah aja."
Revin mengedikkan bahu nya tanda tak tahu dengan apa yang terjadi dan ia rasa, entah kenapa saat melihat Reyna dadanya menjadi sesak dan ingin sekali marah-marah, tetapi Revin menahannya. Bagaimanapun juga Reyna tetap adik tersayangnya.
"Sini." tak menjawab perkataan yang terlontar dari bibir kekasihnya, Revin malah menarik tangan Valen agar duduk di ranjang yang sama dekat dengan jendela. Valen menghela nafas pelan tetapi menurut pada apa yang Revin inginkan, tentu saja dirinya tahu apa yang Revin inginkan sekarang.
Revin membuka lebar-lebar kaca jendela dan menampilkan pekatnya malam. Revin sengaja duduk di depan Valen, lantas menyandarkan tubuhnya pada tubuh Valen.
"Mentang-mentang aku polwan terus kuat, kamu gini." Decak Valen, tetapi tangannya ia lilitkan di leher Revin. Posisi Valen yang dibelakang dan menyangga kepala Revin yang bersandar di badannya membuatnya dengan mudah memeluk leher Revin.
Revin terkekeh dengan jawaban sang kekasih. "Manfaatin sekali-kali lah,"
Valen tak menjawab, wanita itu sibuk dengan pikirannya serta sibuk dengan tangannya yang sekarang tengah di elus oleh Revin.
Pikirannya berkecamuk membayangkan jika dulu dirinya dan Reyna tak pernah baikan, mungkin kejadian bahagia ini tak akan pernah ia dapatkan, beruntung sekali dirinya. Tak henti-hentinya memanjatkan doa agar Tuhan selalu berpihak kepadanya. Ia ingin hubungannya dengan Revin langgeng sampai salah satu diantara mereka merenggut nyawa. Ya! Hanya maut yang dapat memisahkan.
"Mikirin apa, hmm?" Valen terlonjak saat tiba-tiba saja Revin mengecup punggung tangannya dengan lembut.
Valen tersenyum kecil lalu menggeleng. "Mikirin kamu yang hari ini aneh."
"Ck, emang aku anehnya dimana sih?"
"Aneh aja, gak kayak biasanya. Kayak cewek PMS tau gak sih, Vin."
Revin menghela nafas kasar, sahabat, adik serta kekasihnya menyebut dirinya aneh. Padahal dia hanya sedang khawatir saja kepada Reyna. Ia tak ingin perempuan itu kenapa-napa, belajar dari masa lalu sudah banyak sekali kesulitan yang adiknya terima. Jadi, lebih baik sekarang dia berjaga-jaga daripada ada sesuatu hal yang tak diinginkan terjadi.
"Huh, hujan." Lirih Valen, baru saja menjawab seperti itu. Para sahabatnya sudah datang berbondong-bondong memasuki kamar Villa yang besarnya tak seberapa dan sekarang malah diisi oleh sebelas orang.
"Ck, ganggu aja kalian ini!"
"Dosa pak, belum sah. Lagian jangan macam-macam sama polisi!" Jawab Alvin, dan segera mengambil tempat untuk duduk di samping kekasihnya, Felli.
"Kalian gak bisa apa di kamar sebelah aja, maksud gue gak disini semuanya. Sesak tau!" Kembali Revin berbicara.
"GAK BISA!" jawab Siska dan Felli serentak, pasti wanita itu yang merekomendasikan untuk ke villa yang sama dengan Valen dan Revin.
"Ribet kalian!"
"Yang gak ribet pokonya bukan kita." Jawab Felli.
"Ya, serah lu aja Fell. Daripada gak di iyain nanti nangis lagi."
Felli memberengut kesal. "Enak aja.
Revin menghela nafas kasar lantas memperbaiki posisi duduknya, lagian dia kasihan pada Valen yang harus menopang berat tubuhnya. Sekuat-kuatnya wanita itu, tak lebih kuat darinya. Badannya juga berat.
..
bersambung.