4. Korban penjajahan

1520 Words
Jam sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam. Mereka baru saja selesai melaksanakan shalat berjamaah di tengah rumah dengan Reynand yang menjadi imam nya. Setelah mereka melaksanakan shalat isya berjamaah mereka duduk di sofa karena tidak ada yang berani masuk ke dalam kamar, khususnya para wanita saja bahkan Reyna sekali pun enggan untuk mengajak teman-temannya pergi ke kamar. Di sana ada juga yang duduk di atas karpet karena sofa ruangan tidak cukup menampung mereka semua. "Rey buka dong buku itu, penasaran banget gue." ujar Siska membuat yang lain membenarkan perkataannya. Reyna mengangguk-anggukan kepalanya, lantas mulai menyimpan buku bersampul cokelat itu di atas meja dan membukanya secara perlahan. "Lah? Kok kosong?" Felli menatap Reyna dengan bingung, begitu juga dengan yang lain. Menatap wanita itu seolah-olah ingin meminta penjelasan. Reyna mengangguk lalu berpikir sejenak, "coba matiin lampunya" Rio yang lebih dekat dengan sakral lampu pun, akhirnya berjalan dan mematikannya. Kini didalam ruangan hanya ada pencahayaan yang berasal dari luar villa, ruangan remang-remang itu cukup membuat hawa menjadi semakin dingin. Buku pun di buka kembali, dan akhirnya menunjukkan sebuah tulisan dari darah yang tidak terlalu kentara, namun masih dapat di baca. "Tulisannya jelek, urusan dokter aja." ujar Alvin, membuat Felli mendelik tak terima. "Enak aja ya, jadi kamu bilang tulisanku jelek gitu?" jawab Felli tak terima. "Bukan gitu yang, ya gimana ya. Biasanya kan dokter gitu, kamu juga gitu kok kalau nulis aku pernah lihat." elak Alvin, membuat Felli mendengus kesal. Pasalnya apa yang Alvin ucapkan adalah benar, dan dia tak dapat mengelak lagi. "Kalian ini ribut mulu, bisa baca gak nih?" ujar Reyna. Mereka semua segera melihat dengan seksama ke arah buku itu meskipun dengan sedikit cahaya, lalu mereka mencoba menggabung-gabungkan katanya hingga membentuk ... Please Help Me Ketika kata dalam buku sudah terbaca, mereka semua terkejut tak percaya dengan kata itu. Mereka semua bertanya-tanya dalam hati, apa yang harus mereka bantu. Reyna segera membuka lembar buku selanjutnya. Please help me .. Ronald. Kata itu lagi yang muncul di buku itu, Reyna semakin bingung ralat bukan hanya Reyna yang bingung tetapi mereka yang ada disana pun ikutan bingung. "Namanya pasti Ronald " celetuk Siska, membuat mereka semua mengangguk membenarkan perkataan Siska. Reyna membuka kembali halaman buku selanjutnya. Please help me. I'm sick! Namun lagi-lagi hanya kata itulah yang mereka semua baca. Sick? Eja Reyna, membuat mereka semua saling pandang. "Mungkin dia sedang kesakitan." celetuk Revin, membuat Reyna menganggukkan kepala setelah menghela nafas kasarnya. "Hmmm ... Kayanya kita harus manggil Ronald nih." ujar Reyna, mereka semua memandang Reyna dengan tatapan tak percaya. "Gimana caranya?" tanya Reynand. "Seperti tadi. Aku bakal coba nemuin dia. Aku yakin dia sekarang lagi ada di tengah-tengah kita." jawab Reyna, membuat Reynand membulatkan matanya lebar-lebar. Namun tidak dapat terlihat dengan jelas karena di dalam ruangan itu gelap. "Aku ikut kalau gitu," ujar Reynand. Membuat Reyna menggeleng. "Gak usah Rey, aku bisa sendiri. Udah biasa juga. Dan aku janji cuman sebentar bimbing dia aja." ujar Reyna. "Dek, masih ada cara lain. Gue gak izinin kalau lo sendiri, mending kalau kak Revan datang ini enggak. Kita pakai cara meditasi aja." Reyna nampak diam, dia menimbang-nimbang apa yang kakaknya bilang, dan memang benar juga saran kakaknya. " Hmm oke deh, dan sekarang siapa yang mau jadi pelantara nya." "Maksud lo pelantara apa?" tanya Alvin. "Ya, sebagai pelantara, nanti Ronald masuk ke tubuh siapapun itu. Kayaknya Felli cocok" jawab Reyna, membuat Felli bergidik ngeri lalu segera mendengus kesal. "Sembarangan aja lo Rey, ogah gak mau gue. Mending Alvin aja." ujar Felli sembari memeluk lengan Alvin erat. "Hmmm, hehe. Yaudah gak akan di pilih. Siapa aja, jangan Reynand tapi. Gak akan masuk mereka." ujar Reyna kembali. "Masa?" tanya Reynand. "Iya Rey, malah mereka jadi takut kalau ada kamu." jawab Reyna, membuat Reynand mengedikkan bahunya acuh. "Yaudah gue aja." kini Siska yang berucap, membuat semua orang menatap ke arah sumber suara dengan tatapan tak percaya nya. "Gue serius ya, gue aja." sambung Siska. Membuat Reyna mengangguk. "Sayang, kamu gak akan apa-apa?" tanya Angga, dari pertanyaannya menunjukkan bahwa dia begitu khawatir. "Gak akan, inshaallah aku akan aman, Ga." "Yaudah deh, baca doa dulu." pasrah Angga, ia sangat khawatir. Namun dalam hatinya mengagumi keberanian Siska. "Sekarang mulai ya. Sis, lo penjamin mata lo dan fokus. Tarik nafas dan Rileks" Seketika itu juga tubuh Siska langsung menegang, kepalanya menunduk, rambut panjangnya menutupi seluruh wajahnya. "Hai Ronald. Aku Reyna, ingin membantumu. Aku serius ingin membantumu, bisakah kamu menceritakan semuanya." "Ik ben Ronald, ik ben het slachtoffer van marteling tijdens de koloniale periode. En ik ben niet kalm en nog steeds niet oprecht." Reyna membulatkan matanya, dengan kosakata yang Ronald katakan. Dia bahkan tidak tahu, Ronald sedang memakai bahasa apa. Hebat juga Siska bisa berbicara seperti itu, meskipun itu adalah Ronald. "Dus, wat moeten we voor u doen?" jawab Reynand, hal itu membuat Reyna menghela nafasnya, setidaknya ada Reynand yang mengerti bahasa asing itu. "Ik ben onwaardig begraven en weet niet waar." jawab Ronald, membuat Reynand menganggukkan kepalanya. "Rey, kita udah tau dimana masalahnya." Reyna mengangguk. "Syukur deh, ayo kamu bilang suruh dia buat ganti lagi sama Siska. Dan bilang juga kalau kita akan membantunya." ujar Reyna pelan, Reynand mengangguk. "Nou ja, nu handel ik weer met Siska. We zullen je helpen als we kunnen." "Thank you," jawab Ronald. "Siska ... Siska ... Siska," ujar Reyna memanggil nama Siska beberapa kali. Guna untuk kembali menyadarkan Siska. Tubuh Siska kembali menegang, Siska segera melihat kearah mereka yang pencahayaan masih remang-remang akibat lampu yang belum juga dihidupkan. "Sayang, kamu gak apa-apa kan?" tanya Angga, dia segera mengelus kepala Siska dengan sayang. "Gak papa Angga, cuman badanku sedikit sakit, sama kepalaku berat aja." jawab Siska, membuat Reyna tersenyum. Sementara Angga segera meraih tubuh Siska untuk dia peluk. Jujur, sedari tadi Angga sangat khawatir. "Pagi nanti, lo keramas aja Sis. Dan akan segera hilang tuh sakit." jawab Reyna. Siska hanya mengangguk. "Ehh, bay the way. Gimana tadi?" Reyna malah beralih menatap Reynand, yang berada disampingnya. "Gimana Rey? Tadi tuh bahasa apaan sih." jawab Reyna mengerucutkan bibirnya. Meskipun keadaan gelap tapi Reynand tahu jika Reyna sedang mengerucutkan bibirnya. Reynand terkekeh, "Bahasa Belanda Rey. Mana bahasa Belanda ku masih cetek lagi. Ini gak tau bener gak tau enggak aku translate nya." jawab Reynand. "Ohh pantesan aja. Ayo apa coba?" "Dia gak fasih berbahasa Inggris. Intinya dia tuh korban pemberantasan dulu saat masa penjajahan. Dia di kuburkan gak layak, mungkin juga gak dikuburkan kan? Dan kayaknya dia masih ada amarah atau dendam di dunia ini. Dia minta kita membantunya." jawab Reynand. Membuat mereka semua membulatkan matanya tak percaya. "Ya kali, itu tuh udah lama banget." jawab Reyna. Sementara Reynand mengedikkan bahunya acuh. "Kita nyari pun gimana dan dimana? Hmm harus apa yaa." ujar Reyna. "Kenapa gak minta bantuan kak Revan aja sih Rey." celetuk Siska. "Maksud lo?" balas Reyna "Iya bener dek, sekarang kita telepon kakak. Kita minta solusi gimana baiknya." kali ini Revin lah yang berbicara. Reyna mengangguk, "Lampunya hidupin lagi dong." ujar Reyna, Rio segera beranjak dan menghidupkan lampu hingga ruangan menjadi terang. Reyna segera merogoh sakunya dan mengeluarkan handphone yang nya. "Assalamualaikum kak." ujar Reyna, setelah telepon tersambung. Reyna segera meload speakernya. "Waalaikumsalam salam dek, kenapa?" jawab Revan di sebrang sana. "Kakak lagi sibuk gak?" "Enggak dek, lagi santai kok." jawab Revan, membuat Reyna tersenyum. "Jadi kak, Ronald itu korban pemberantasan saat penjajahan dulu. Dia minta kita untuk membantunya. Adek bingung harus bantu apa?" Di seberang sana Revan tersenyum. "Dek, kakak udah ajarin kan doa itu. Sekarang kamu amalkan, terus air doa nya ciprat-cipratin ke sudut rumah. Pelantara aja dek, jangan lupa minta sama Allah ya." "Berarti sama aja kita ngusir dia dong, kasihan kak." "Kita bukan ngusir sayang, kita cuman cari aman aja. Coba pikirkan, kita harus nyari tengkorak nya dimana coba? Itu udah lama. Mereka tuh cuman arwah penasaran dan itu adalah dendam amarah nya. Roh nya udah kembali, tapi amarah nya masih ada karena dia masih punya dendam di dunia ." ujar Revan panjang lebar, membuat Reyna mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. "Hmm oke kak... Makasih ya udah bantuin, dan maaf ganggu piket kakak." jawab Reyna. "Iya dek, hati-hati ya disana. Nurut sama kak Revin ya, jangan aneh-aneh. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." jawab mereka serentak. "Jadi gimana?" tanya Reynand "Ya seperti apa yang kakak bilang, aku gak bisa pake cara lain. Karena kalau kakak udah bilang gitu ya harus gitu." Mereka semua mengangguk, lalu mulai menjalankan aksinya, lebih ke mengirim do'a untuk Ronald semoga tenang di alam sana. *** Saat selesai jam sudah menunjukkan pukul setengah dua malam. "Tahajud yuk," bisik Reynand ditelinga Reyna, membuat Reyna membulatkan mata tetapi langsung tersenyum manis. Ah Reyna jadi membayangkan jika Reynand mengajak nya shalat tahajud nanti setelah menikah. Reyna mengangguk. "Yuk, aku duluan ya." jawab Reyna, namun dia tidak berbisik. Reynand menganggukkan kepalanya, dan melihat Reyna berdiri langsung menuju ke arah kamar mandi. "Rey, lo mau kemana?" tanya Siska. "Wudhu." "Ikuttttt." akhirnya Siska menyusul Reyna untuk berwudhu. Sementara Felli, dia tertidur pulas di sofa dengan paha Alvin yang menjadi bantalnya. Akhirnya mereka semua melaksanakan sholat tahajud, tapi tidak dengan Alvin dan Felli, Alvin tidak tega membangunkan Felli. Setelah sholat tahajud, mereka semua duduk kembali di sofa. Tak ada yang membuat suara, karena semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. *** Bersambung..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD