7. Villa indah

1069 Words
Reyna membulatkan mata karena berhasil dibuat takjub dengan sebuah rumah ah lebih tepatnya Villa milik budhe Salma yang berada dihadapannya sekarang ini. Bagaimana tidak terpukau dengan Villa itu, perbukitan dengan Villa berbentuk kamar yang berada di tepi di tebing membuat kesan nyaman dan dingin, dindingnya hanya sebuah kaca dan gorden yang menutupi, jika di buka mungkin pemandangan nya akan sangat indah. Satu kamar ini di desain dengan sangat luas dan cukup besar, bisa di pakai untuk lima sampai enam orang tidur, lemari berwarna putih juga menjadi penghias. Di pinggir kamar ada sedikit balkon untuk duduk, sedangkan di depan kamar polos hanya menampilkan pemandangan hutan pinus, serta samar-samar perkebunan Teh yang berada di bukit yang ada di depan sana. "Rio, lo serius bawa kita kesini? Kata lo kan dekat sawah? Ini malah~" Rio terkekeh kecil lantas mengangguk sedari tadi Rio tak sabar untuk memperlihatkan villa ini pada sahabatnya. "Tadinya gue mau bawa ke villa yang di pinggir sawah, tapi sepertinya disini lebih cocok. Lagian kamar nya juga ada lima, cukup untuk kita semua." Reyna tersenyum senang, tetapi ada sedikit kekhawatiran dalam hatinya. Ia takut saat nanti malam banyak makhluk halus yang berkeliaran, ah kenapa dirinya harus bimbang kalau ada Reynand bukan? Tetapi bagaimana dengan Riani, apakah wanita itu akan kuat di saat dirinya dalam kondisi seperti ini. "Kamu mau pilih kamar yang mana?" Tanya Reynand memandang Reyna yang masih menampilkan ekspresi takjubnya. Mereka berkumpul di sebuah saung yang cukup besar, lagi-lagi saung besar ini nampak nyaman Reyna tak menyangka di tempat terpencil ini ada keindahan alam yang luar biasa indahnya. "Disini juga lebih deket ke air terjun, ketimbang rumah di sawah. Reyna, lo gak apa-apa kan? Adek gue juga aman kan?" Reyna tersentak dan segera menatap ke arah Rio yang menatapnya penuh harap bahwa ini akan baik-baik saja. Reyna menghela nafas lantas mengangguk ragu. "InshaaAllah aman," jawab Reyna menenangkan agar tak ada yang panik. Rio mengangguk tersenyum menatap Reyna. "Gue bakalan buka empat kamar, dua kamar buat cewek sisanya buat cowok. Satu kamar jaga-jaga takut ada turis atau mahasiswa yang menginap disini." Mereka setuju dengan pendapat Rio, tetapi Reyna tidak. Dia segera menyela, "Kita ceweknya satu kamar aja. Sepertinya cukup buat berlima," Semua mata melihat ke arah Reyna. "Gue di kamar sebelah kanan kamar cewek, sisanya sebelah kiri kamar cewek." Usul Reynand. Mereka semua mengangguk. Reynand, Doni dan Revin memilih untuk satu kamar sisanya Rio, Angga dan Alvin mengisi kamar di sebelah kiri kamar wanita. Disini fasilitas nya cukup memadai, ada mushola serta kamar mandi musholla yang biasanya digunakan untuk mandi serta kegiatan lainnya, airnya juga sangat bersih. Tetapi disini tidak bisa memasak, hanya ada kulkas kecil dalam ruangan, Microwave untuk menghangatkan makanan. ** Jam telah menunjukkan pukul enam sore, Reyna baru saja melaksanakan shalat ashar di mushola. Sejauh ini tak ada kejanggalan apapun yang membuat hatinya gelisah, tetapi dia merasakan suatu ketakutan yang amat sangat. Hanya perasaan takut saja. "Ngelamun aja, buk." Tiba-tiba saja Reyna terlonjak dan mendapati keberadaan Revan yang duduk di sampingnya sembari membawa cemilan. Cemilan itu Revan taruh di atas meja. Reyna tersenyum kecil, menyenderkan kepala di lengan kokoh kakaknya sembari menikmati udara segar dari pepohonan yang rindang. "Dek, kalau ada apa-apa langsung bicara sama kakak ya." Reyna mengangguk, tangannya ia selipkan di sela-sela tangan Revin sehingga tangannya mengapit tangan Revin. Tah hanya itu saja, Reyna juga menggenggam jemari-jemari Revin dan menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. "Rasanya udah lama gak kayak gini ya kak, adek kangen banget." Revin tersenyum, mengangguk sembari mengusap tangan adiknya dengan lembut. "Mau quality time berdua gak? Kapan-kapan gitu?" "Adek sih pengennya sama Ayah sama kakak Revan juga, tapi mereka pada sibuk. Hmm~" "Mereka sibuk kan demi kamu, demi kita, demi Negara juga sayang." Reyna menggeleng. "Padahal kan adek udah gak minta uang jajan sama mereka. Adek udah bisa cari uang sendiri," Revin terkekeh pelan dengan jawaban adiknya. "Mereka berdua ya kerja buat mereka juga dek." "Kebutuhan ayah semua bisa ditanggung sama Reyna." "Mulia sekali pikiran mu dek, tapi ayah kan niatnya untuk Negara bukan untuk uang. Kalau ayah niat kerja untuk uang, ayah pasti udah berhenti jadi tentara. Terus mending milih kembangin toko perhiasan kita, dan lanjutin usaha bunda yang kak Revan kelola sekarang. Uang nya pasti lebih banyak kan?" Mendengar penjelasan itu membuat Reyna menghela nafas kasar, apa yang di katakan kakaknya memang benar. Ayah nya mengabdi untuk Negara dan demi Negara. Tak seharusnya dia bersikap egois, benar! Materi bukan segalanya di dunia ini. Materi bukanlah hal utama yang membuat hidup bahagia, karena pada dasarnya materi juga tak akan berlaku saat kita merindukan keluarga dengan jarak dan waktu yang tidak tepat. Bukan hanya itu rasanya materi tak berguna disaat batin kita sakit. Sejatinya, waktu tak bisa di beli oleh apapun. "Cemburu sama Negara nih ceritanya?" Reyna kembali terlonjak saat Reynand tiba-tiba saja datang dan duduk di sebelahnya. Reyna menggaruk tengkuknya lantas melepaskan rangkulan tangan pada tangan Revin. Ia jadi malu, pasti tunangannya itu mendengar semua yang dia dan kakaknya bicarakan. "Rey?" Panggil Reyna "Ya sayang, kenapa?" Tanya Reynand. "Jalan-jalan yuk, sekitaran sini aja." Reynand mengerutkan kening, rasanya ingin menolak keinginan Reyna tetapi ia tak kuasa menolaknya. Apalagi saat dirinya mendengar semua keluh kesah dan keinginan sang kekasih beberapa menit yang lalu saat mengadu pada Revin. Reynand mengangguk ragu, "Jangan jauh-jauh ya. Kalau kata aku pulang ya pulang, kalau kata aku sampe situ ya sampe situ. OK!" Reyna mengangguk antusias, berdiri menghadap Reynand, memberi hormat seperti anak buah Reynand saat diberikan tugas terakhir berbicara. "Di mengerti Ndan!" Reynand tertawa mendengar jawaban yang terlontar dari Reyna, sangat lucu dan menggemaskan. "Yuk." "Lo gak di ajak, kak!" Cepat-cepat Reyna berucap seperti itu. Dirinya hanya ingin ada ruang berdua bersama dengan Reynand, sepertinya sudah sangat lama dirinya tak mengobrol kan hal tak penting yang akan membuat keduanya tertawa lepas bersama. "Beneran dek?" Revin kembali memastikan "Iyalah beneran. Tunggu aja kak, lagian adek gak jauh cuman sekitaran sini aja." Revin mengangguk, "Yaudah hati-hati ya. Jangan lupa GPS," "Kakak aku kan udah sama Reynand." "Apa salahnya nya sih, turutin aja dek." "Yaudah iya. Ayo!" Akhirnya Reyna dan Reynand pergi dengan membawa minuman serta cemilan di tangan Reyna. Rasanya tanpa kedua itu suasana tak akan lengkap. "Jalan-jalan ke atas yuk, sepertinya masih ada puncak ya?" Reynand hanya mengangguk, karena tak ingin kecolongan sepanjang jalan Reynand terus saja memetik rumput-rumput liar yang tingginya sampai sepinggang Reynand. Bagaimanapun juga bersikap waspada itu perlu, Reyna pasti tak akan ingat dengan jalan pulang. Itu sebabnya harus dia yang bersikap waspada. *** bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD