Yusuf berjalan ke arah perpustakaan, diikuti oleh Zahra di belakangnya. Ia menyuruh gadis itu untuk meminjam buku paket sejarah di perpustakaan yang nanti akan dipakai belajar. Sebenarnya, bisa saja ia menyuruh Zahra dan seorang siswa lainnya untuk mengambil buku, dan ia tak perlu ikut. Namun, ada hal lain yang mendorong keinginan guru muda tersebut untuk mengunjungi perpustakaan bersama Zahra.
Tiba di sana, puluhan rak dengan buku yang berjejer rapi menyambut kedatangan mereka. Yusuf membiarkan Zahra berjalan terlebih dahulu, untuk menunjukkan letak bukut paketnya. Lagi pula, ini pertama kalinya Yusuf mengunjungi perpustakaan sekolah.
Bagi Zahra, ini adalah momen paling canggung dalam hidupnya. Berdua, bersama seorang guru muda nan tampan, di perpustakaan. Sembari mencari buku, gadis itu merutuk dalam hati, kenapa gurunya harus ikut ke perpustakaan? Dia kan bisa saja diam di kelas.
"Ini bukunya?" Yusuf menunjuk pada deretan buku bersampul cokelat.
"Iya, Pak."
Kemudian, keduanya mengambil buku tersebut dan menghitungnya sesuai dengan jumlah siswa di kelas Zahra. Sembari menghitungnya satu per satu, Yusuf melihat penampilan Zahra yang berbeda dari teman-temannya yang lain. Gadis itu memakai seragam yang lebih tertutup dibandingkan dengan siswa perempuan lainnya. Diam-diam, Yusuf mengulum senyum.
"Bapak suka melihat penampilan kamu. Kalau bisa, kamu juga ajak teman-teman kamu yang lain untuk berpenampilan seperti ini. Syar'i, adem deh lihatnya," ujar Yusuf.
Zahra melirik Yusuf, kemudian tersenyum kikuk. "Yah ... gimana ya, Pak. Nggak semudah itu buat ngajak teman-teman berpakaian yang sama kayak saya."
"Kamu bisa mulai ngajak dari teman dekat dulu, atau teman satu kelas. Kalau kemauan bapak sih, satu sekolahan berpakaian kayak kamu ini. Miris soalnya liat penampilan remaja cewek zaman sekarang. Bikin merinding, hahaha," kekehnya.
"Insyaallah deh, Pak, hehe. Biar sambil jalan aja dakwahinnya."
"Nah, iya. Dengan memperlihatkan penampilan kamu yang sekarang juga bisa sambil mendakwahkan sama yang lainnya. Kalau penampilan muslimah itu ya kayak gini."
Zahra hanya mengangguk sebagai balasan. Keduanya telah selesai menghitung bukunya. Yusuf mempersilakan Zahra berjalan duluan. Namun, baru beberapa langkah gadis itu menjauh, Yusuf menghentikannya.
"Zahra ....," panggilnya pelan, namun dapat terdengar dengan jelas.
Langkah Zahra terhenti. Ia terpaku. Bagaimana bisa sosok di belakangnya ini mengetahui namanya? Ragu, Zahra berbalik, lalu mendapati Yusuf menatap tepat di netranya.
"B—bapak ... tahu nama saya?"
"Zahratul Nisa," ulang Yusuf, memperjelas panggilannya.
Napas Zahra tertahan. Yusuf benar-benar mengetahui namanya. "Dari mana bapak tahu?" Tatapan Zahra menyelidik.
Yusuf tersenyum. Menyadari bahwa gadis di depannya pasti tercengang bahwa ia mengetahui namanya dengan jelas. "Udah saya kira, kamu pasti lupa sama saya—atau bahkan nggak pernah inget sama sekali."
Penjelasan Yusuf tidak membuat Zahra puas sama sekali atas pertanyaan yang dilontarkannya. Justru membuat pikirannya semakin berbelit. Ia memandang Yusuf dengan tatapan bingung dan bertanya-tanya. "Maksud bapak gimana, ya? Emang ... kita pernah ketemu dan saling kenal sebelumnya?"
"Mungkin." Yusuf mempertahankan senyumnya. "Yusuf Rahman Fauzi, itu nama saya—kalau kamu lupa. Kamu boleh tanya sama Rizki, kalau mau tahu."
Tunggu. Rizki? Apa yang dimaksud Yusuf adalah Rizki kakaknya? Keningnya berkerut, ia semakin bingung.
" Udah. Dipikirinnya nanti aja. Jam pelajarannya keburu habis. Ayo." Yusuf memilih untuk berjalan duluan.
"Eh? Pak, tungguin saya." Zahra bergegas menyusul Yusuf.
"Ngomong-ngomong, saya harus panggil kamu apa?" tanya Yusuf.
"Bapak bisa panggil saya apa aja. Lagian, bapak juga udah tahu nama saya."
Yusuf terkekeh, padahal menurut Zahra tidak ada yang lucu. "Oke, saya panggil kamu Zahra aja."
Zahra hanya mengangguk dan tersenyum kecil, sehingga menampilkan sebuah ceruk pada pipi kirinya.
***
"Ra, Pak Yusuf itu ganteng ya. Udah ganteng, guru, masih muda lagi. Duh, aku mau deh kalau seumur hidup diajarin sama dia," oceh Santi tanpa jeda. Zahra hanya mendengarkannya dan sesekali mengangguk menanggapi ucapan Santi.
Keduanya sedang berada di dalam kelas sambil memakan bekal masing-masing yang dibawa dari rumah. Zahra memakan nasi putih dengan cumi asam manis buatan Umi Nadia. Sedangkan Santi makan dengan nasi goreng dan telur ceplok setengah matang. Teman-teman mereka yang lain lebih memilih untuk makan di kantin sekolah, sementara kedua remaja tersebut sudah terbiasa membawa bekal dari rumah, dan uang jajan mereka yang tersisa selalu digunakan untuk menabung.
"Zahra, kamu dengerin aku ngomong nggak, sih?" protes Santi ketika sahabatnya sejak tadi hanya diam dan memakan bekalnya.
"Iya, Santi. Dari tadi aku dengerin omongan kamu, kok."
"Apa coba?"
Zahra mendengus, terpaksa ia kembali mengucapkan apa yang tadi Santi katakan padanya. "Ra, Pak Yusuf itu ganteng ya. Udah ganteng, guru, masih muda lagi. Duh, aku mau deh kalau seumur hidup diajarin sama dia."
"Wah, kamu mau seumur hidup diajarin sama bapak?"
Suara tersebut membuat Zahra menoleh dengan was-was ke arah pintu masuk kelas. Dan ia pun mendapati Yusuf sedang berdiri di ambang pintu sambil terkekeh kecil. Matilah ia.
"B-bapak? Sejak kapan bapak ada di sana?" tanya Zahra gugup. Ia takut jika gurunya itu benar-benar mendengar apa yang tadi ia katakan. Padahal Zahra hanya mengulangi apa yang sebelumnya Santi ucapkan. Sementara Santi, sahabatnya itu kini sedang menahan tawanya kuat-kuat. Gadis itu tidak menyangka jika Yusuf akan datang disaat Zahra sedang berbicara tentangnya.
"Sejak kamu bilang kalau saya itu ganteng, dan blablabla lainnya."
Habis sudah Zahra hari ini. Ia malu. Bagaimana bisa gurunya mendengar semua yang ia katakan. Mau ditaruh dimana mukanya. Belum lagi, kejadian canggung di perpustakaan tadi masih berputar dengan jelas di kepalanya.
"Bapak ... eh, bapak ngapain ke sini? Pelajaran bapak kan udah selesai sejak tadi?" Zahra mencoba mengalihkan topik.
"Oh, itu, bapak mau ambil buku yang tadi ketinggalan. Tuh, ada di atas meja guru," jawab Yusuf sambil menunjuk setumpukan buku miliknya.
Zahra mengangguk kaku. Ia hanya terdiam saat gurunya tersebut masuk ke dalam kelas dan mengambil bukunya. Kemudian berhenti tepat di meja paling depan, selisih satu meja dengan meja yang kini ditempatinya.
"Kalau kamu mau diajarin sama bapak seumur hidup, berarti kamu harus bayar dengan harga eksklusif." Senyumnya terukir manis. "Bapak duluan, ya. Assalamualaikum." Guru muda itu melenggang ke luar kelas, meninggalkan kedua siswanya.
"Waalaikumsalam," jawab Zahra dan Santi bersamaan. Tak lama kemudian, tawa Santi meledak. Bahkan, ia sampai menitikkan air mata saking lucunya kejadian tadi menurutnya.
"Iiih, kamu mah nyebelin. Kenapa nggak bilang sih kalau tadi ada Pak Yusuf di depan kelas," omel Zahra sambil mencubit gemas lengan Santi.
Masih dengan sisa tawanya, Santi mengusap sudut matanya yang berair, kemudian membetulkan letak kacamatanya.
"Aku juga nggak tahu kali, Ra, kalau Pak Yusuf ada di sana. Aku juga tahunya pas dia ngomong sama kamu tadi. Duh, lucu banget sih, Ya Allah. Nggak papa, kan, Ra, aku ketawa? Nggak akan dosa, kan?" ledeknya kemudian kembali tergelak.
Sambil kembali menyuap nasi ke dalam mulutnya, Zahra menggerutu karena kesal ditambah rasa malu yang berkali-kali lipat jumlahnya. Untung saja tadi semua teman-temannya sedang berada di kantin. Jadi tidak melihat aksinya yang memalukan di depan Pak Yusuf.
Bagaimana ia bisa bertatap muka dengan Pak Yusuf esok hari saat pelajarannya berlangsung? Zahra sungguh malu, ini semua karena ulah Santi yang menyuruhnya untuk mengulang kembali ucapannya.
"Ah, kamu sih, Santi. Jadinya aku malu kan sama Pak Yusuf. Terus, besok aku gimana coba? Kan malu kalo harus ketemu lagi sama dia," gerutu Zahra. Akan tetapi sahabatnya malah sibuk menertawakannya meskipun tidak seheboh tadi.
"Santi, iiih ....," pekik Zahra.
"Iya ... iya ... nggak papa lah, palingan juga besok Pak Yusufnya udah lupa sama kejadian yang tadi. Lagian sih, kamu mau-maunya ngomong gitu."
"Eh, kan tadi kamu yang nyuruh aku ngomong begitu. Kalau kamu nggak nyuruh aku juga nggak mungkin ngomong kali," elak Zahra.
"Tapi kan kamu bisa nolak kalau nggak mau ngomong." Santi masih saja menyangkal Zahra. Ia kembali tertawa saat sahabatnya menggerutu dan mencubitnya kecil karena kesal.
"Iya ... iya, Ra, maaf deh, maaf," ujar Santi kemudian, tapi masih dengan sisa tawanya.