PART 9 - Kesempatan

1532 Words
     Ini adalah kali ke sekian Yusuf mengunjungi rumah Rizki. Setelah pembagian rapor semester satu, Yusuf, Rizki dan lima temannya yang lain berencana untuk mengadakan pesta kecil-kecilan di rumah Rizki. Rencananya, mereka akan mengadakan pesta barbekyu ala-ala.       Segala macam perlengkapan sedang disiapkan. Mereka juga sudah membeli bahan-bahan yang akan dibakar. Seperti daging, sosis, jagung, dan lain-lain. Tadinya, Umi Nadia bersedia membantu Rizki dan teman-temannya untuk menyiapkan bumbu dan segala macam t***k-bengeknya, namun Rizki menolak. Katanya, ia dan teman-teman bisa mengatasinya sendiri.      Pesta tersebut berlangsung sangat heboh. Hingga, adik Rizki—Zahra sampai keluar dari kamarnya, menyaksikan kakak dan teman-temannya tengah asyik membakar berbagai makanan. Di tengah-tengah kehebohan tersebut, Yusuf menangkap Zahra dengan matanya. Gadis kecil yang sedang duduk di dalam rumah itu asyik menatap ke luar, ke area gazebo belakang rumah yang kini dipenuhi banyak remaja lekaki. Ini pertama kalinya ia bertemu dengan gadis tersebut, setelah berkali-kali mengunjungi rumah ini.      "Ki, itu adik lo?" Yusuf bertanya pada Rizki yang tengah menyiapkan sirup.       "Hah?" Rizki menoleh ke arah yang ditunjuk Yusuf. "Iya. Adik gue."      "Kelas berapa?"      "Kelas enam."      "Perasaan gue baru lihat. Kemarin-kemarin dia ke mana?"      "Ada, kok. Emang suka diem di kamar kalau kalian lagi dateng. Malu, katanya."      Yusuf menatap kembali gadis tersebut. "Namanya siapa?"      "Zahra. Zahratul Nisa," jawab Rizki.       Yusuf mencukupi pertanyaannya. Ia kembali sibuk menata makanan yang telah selesai dibakar di atas piring. Semuanya hampir selesai dibakar, sirup yang dibuat Rizki pun telah jadi, juga sepiring puding dan buah-buahan yang sengaja dibuat Umi Nadia untuk mereka. Semua kudapan dibawa mereka ke gazebo, menatanya di sana.       "Ki, itu adik lo dikasih. Kasihan, dia dari tadi lihatin mulu," ujar Yusuf.       "Nggak papa. Kalau dia mau paling nanti bikin sendiri, atau kalau ini nyisa nanti kasih dia aja."      "Heh, gitu banget sama adik sendiri. Kalau nggak mau biar sama gue aja kasihinnya."      "Hehehe ... yaudah, sama lo aja, ya." Rizki terkekeh, lalu bergabung dengan yang lain di gazebo. Sementara Yusuf, ia memisahkan sepotong ayam,tiga sosis dan dua buah jagung ke dalam piring kecil untuk diberikannnya pada Zahra.      Yusuf kemudian menghampiri Zahra yang masih terduduk di sana. Senyumnya mengembang lebar saat mendapati Zahra menatap heran ke arahnya. Mungkin ia bingung, kenapa teman kakaknya menghampirinya.      "Zahra, ya?" Yusuf berjongkok di hadapan Zahra. Lalu menyodorkan piring kecil tersebut ke arahnya. "Nih, buat kamu."      Zahra terdiam sesaat, ragu untuk menerimanya. Yusuf menyodorkannya lebih dekat, menampilkan senyumnya. "Ambil aja. Nggak perlu malu."       Akhirnya, gadis kecil itu menerima piring yang diberi Yusuf. Kedua ujung bibirnya membentuk lengkungan manis, menampilkan ceruk yang dalam pada pipi kirinya. "Makasih," cicitnya pelan.      Manis sekali. Yusuf mengangguk sebagai jawaban. Senyum gadis itu menular padanya. Tersimpan dengan baik di memorinya. Bahkan, hingga beberapa tahun kemudian. Zahratul Nisa, nama itu melekat dengan erat di benak Yusuf. ***      "Astagfirullah." Yusuf menggumamkan istigfar untuk yang ke sekian kalinya. Sejak tadi ia tidak fokus menyelesaikan bacaannya. Bayang-bayang mengenai seseorang terus berputar di kepalanya.       Zahratul Nisa. Murid berkhimar panjang yang mempunyai sebuah lesung pipi. Nama itu terpatri dengan baik di otaknya. Terlebih lagi, kejadian pada hari Jumat kemarin masih saja tersimpan dengan baik di memorinya.      Yusuf menyimpan bukunya di atas meja, lalu menyeruput segelas teh lemon yang mulai dingin. Ia memejamkan matanya sejenak. Pikirannya kembali pada kejadian bertahun-tahun lalu, ketika mendapati Zahra untuk pertama kalinya dengan kerudung merah muda bermotif Hello Kitty.       Ia ingat bagaimana gadis itu menerima piring yang diberikannya. Ia ingat bagaimana senyum gadis itu dengan mudah menular padanya. Ia mengingat semuanya dengan baik.       Hingga Yusuf tak pernah bertemu dengan gadis itu hingga tahun-tahun berikutnya. Sampai akhirnya Allah mempertemukan mereka kembali. Dan Zahra tak pernah mengingatnya sama sekali.       Yusuf mendesah. Sepertinya, ia butuh sedikit jalan-jalan agar bisa menyegarkan pikirannya. Tanpa pikir panjang, Yusuf segera bersiap-siap untuk pergi ke alun-alun kota. Sesekali ia perlu liburan kecil meski hanya berkeliling di sekitaran Cianjur.  ***      "Waalaikumsalam, kenapa San?" Zahra mengangkat telepon dari Santi sambil membereskan jajaran n****+ pada rak bukunya.      "Anterin aku beli kerudung buat stok jualan dong, Ra. Nggak ada temen, nih," pinta Santi dengan nada memelas di ujung telepon sana.      Zahra mendengus, "Kenapa nggak sekalian tadi aja pas selesai lari?"      "Yakali abis keringetan gitu ke toko, sih, mana yang jualannya abang kece lagi. Bisa tengsin aku."      "Idih, kamu mau beli kerudung sekalian ngecengin abang-abangnya?"       "Iya, siapa tahu jodoh."      Zahra terkekeh dengan jawaban yang diberikan Santi. "Yaudah, nanti janjian di mana?"      "Aku jemput ke rumah pake motor, siap-siap dulu aja."      Zahra mengiakan ucapan sahabatnya. Setelah menutup sambungan telepon, ia kemudian membuka lemari dan memilih baju apa yang akan ia pakai nanti. Setelah berpikir beberapa saat, Zahra akhirnya memilih setelan gamis berwarna dusty pink serta handsock dan khimar hitam.      Setelah selesai bersiap, Zahra kemudian memakai sepatu kesukaannya dan berpamitan pada Umi Nadia yang sedang membaca majalah. Tak lama terdengar deru motor dari luar rumah dan Zahra segera menghampiri Santi yang telah tiba untuk menjemputnya.      Mereka menuju ke sebuah toko yang terletak di pusat kota. Setelah sampai dan memarkirkan motornya, Zahra dan Santi lalu memasuki toko tersebut dan segera membeli berbagai jenis kerudung untuk dijual kembali oleh Santi.      "Banyak banget San, yang pesennya bejibun?" tanya Zahra setelah mereka berdua selesai memilih berbagai jenis kerudung.      "Iya, alhamdulillah pesenannya banyak. Mana jenisnya beda-beda lagi."      Zahra mengangguk. Setelah membayar, keduanya lalu kembali menaiki motor dan berkeliling terlebih dahulu. "San, mampir ke kios buku dulu, yuk. Aku pengen beli n****+ baru," ucap Zahra pada sahabatnya.      "Oke." Santi kemudian membelokkan motornya ke arah kiri jalan yang menuju kios buku yang berada tepat di dekat Masjid Agung Cianjur.      "Ra, kamu masuk sendiri aja, ya. Aku mau jajan mi ayam, lapar soalnya," ujar Santi setelah memarkirkan motor dan melepas helmnya.      Zahra mengangguk setuju, ia lalu memasuki kios buku seorang diri. Sementara sahabatnya sudah memesan mie ayam pada salah satu pedagang yang berjualan tepat di samping jalan masjid agung yang langsung berhadapan dengan kantor pos.      Setiap mengunjungi kios buku, Zahra selalu ingin berlama-lama di sana. Aroma buku baru selalu membuatnya betah. Terlebih lagi jajaran n****+ serta buku lainnya yang seolah menghipnotis Zahra untuk tetap tinggal selama beberapa saat.      Saat memasuki kios, Zahra segera membawa dirinya mendekati rak yang berisi n****+-n****+ keluaran terbaru. Zahra selalu membaca n****+ bergenre remaja atau spiritual. Terkadang, ia juga membeli buku-buku islami seperti buku motivasi muslimah, biografi rasulullah, sejarah Islam, dan lain sebagainya.      Hampir lima belas menit Zahra berada di sana, setelah membaca sinopsis dari beberapa n****+ akhirnya Zahra memilih untuk membeli dua n****+ yang bergenre spiritual. Tidak puas dengan dua buah n****+, ia lalu menyusuri rak yang berisi kumpulan buku bertemakan islami. Ia mengamati berbagai jenis judul buku yang terpampang di sana. Lalu menemukan sebuah buku dengan kover yang menarik perhatiannya. Hanya saja, buku tersebut berada di rak yang cukup tinggi. Sementara tinggi Zahra tidak memadai untuk mengambil buku tersebut.      "Perlu bantuan?"      Suara seseorang yang terasa familier menghentikan gerakan Zahra. Ia lalu menoleh ke arah kiri tubuhnya dan mendapati seorang laki-laki berpakaian kasual sedang tersenyum padanya. Tak ayal jantungnya tiba-tiba berdegup begitu kencang melihat senyuman serta sorot mata teduh itu.      "Eh ... Pak Yusuf."      Yusuf kembali tersenyum saat muridnya menyebutkan namanya. Ia lalu mengambil buku yang tadi diincar oleh Zahra. Sejenak, ia tertegun membaca judul buku tersebut. "Nikah ... Asik?"      Mata Zahra membulat, ia mengedip dengan cepat. "Eh, ma-masa sih, Pak?"      Yusuf terkekeh. "Nih, bukunya." Ia menyodorkan buku tersebut pada Zahra. Zahra mengambilnya dengan hati-hati, takut jika jemarinya tidak sengaja menyentuh tangan gurunya. Benar saja, judul buku tersebut ternyata Nikah Asik.       "Mau nikah muda?" tanya Yusuf jenaka.      "Nggak, kok, Pak. Saya nggak tahu kalau judulnya kayak gini. Saya cuma lihat kovernya aja, soalnya bagus."      "Saya kira kamu mau nikah muda."      "Saya mau kuliah dulu, Pak. Nggak berencana buat nikah muda."      Yusuf membuang napas. Ia duduk pada bangku yang terdapat di sana. "Yah ... saya nggak punya kesempatan dong."      Zahra mendelik. Apa ia tidak salah dengar barusan? Kesempatan apa yang dimaksud gurunya? Kesempatan untuk menikahinya? Detak jantung Zahra menggila. Ia menunduk, tak berani barang sedetik pun menatap lelaki di depannya.       Gadis berlesung pipi itu mengembuskan napas, sadar Yusuf tak lagi bicara. Mungkin, ia menunggu balasan dari Zahra. "M-maksudnya ... kesempatan apa, Pak?"      "Kesempatan buat ... nikah?"      "Kok bisa gitu?"      "Gitu gimana?"      "Bapak katanya nggak punya kesempatan buat nikah. Kok bisa?"      "Karena ... kamu bilang katanya nggak mau nikah muda."      Duh, Gusti. Zahra tak tahu harus bicara apa lagi. Ia menatap ke arah lain, asal tak melihat ke arah Yusuf. "Bapak aneh-aneh aja ngomongnya," balas Zahra dengan suara lirih.      "Saya serius."      Zahra menahan napas. Detak jantungnya seolah berhenti sejenak. Beberapa detik terlewati tanpa suara, hingga akhirnya Yusuf memutuskan untuk berdiri. "Bapak duluan, ya, Ra. Kamu hati-hati pulangnya."      "Eh ... Pak," serunya.      "Ya?"      "Makasih," cicitnya.      Yusuf menaikkan kedua alisnya, bingung. "Buat?"      "Udah ngambilin buku buat saya."       Senyum Yusuf mengembang, "Sama-sama," katanya. Kemudian, Yusuf pergi dari kios buku, meninggalkan Zahra sendirian berada dalam kebingungan.      Setelah memastikan Yusuf sudah tak ada, Zahra memegang dadanya lalu memejamkan kedua matanya sejenak. Sejak kehadiran gurunya, jantungnya tidak bisa berhenti berdegup dengan kencang. Ditambah lagi dengan kata-katanya tadi, membuatnya tak tahu harus merespons seperti apa. Perkataan Yusuf benar-benar membuat jantungnya berolahraga.      Jika gurunya tersebut hanya bercanda atas perkataannya, itu sangat-sangat menyebalkan. Bukannya Zahra menginginkan itu adalah hal serius. Tapi ... ayolah, bicara soal menikah dengan gadis sepertinya?      Kedua mata Zahra kembali terbuka. Tanganya menggenggam buku yang tadi dibawakan oleh Yusuf. Ia beristigfar pelan. Ada apa dengannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD