Love 2

1709 Words
9 tahun kemudian… Taman itu terlihat sepi, bersih, dan begitu asri. Dari kejauhan terlihat seorang laki-laki remaja yang tengah asik duduk di atas bangku di bawah pohon akasia. Laki-laki itu duduk dengan memangku kedua tangannya di atas lutut. Pandangan matanya tak pernah berhenti mengarah pada sepasang anak kecil yang sedang asyik bermain seolah tak kenal lelah. Di depannya seorang anak laki-laki terlihat sedang mengejar seorang anak perempuan yang rambutnya dikuncir dua. Setelah sekian lama saling kejar mengejar, akhirnya anak laki-laki itu berhasil menangkap anak perempuan yang kini sudah berwajah manyun. Anak laki-laki itu terlihat senang karena berhasil mengejar anak perempuan tersebut. Laki-laki itu menatap dengan sendu sepasang anak kecil yang kini tangah berguling-guling di atas rumput, menatap langit sore yang menggantungkan mega-mega di kaki langit. Rasa rindu yang bergelora kini berkecamuk di relung hatinya. Dia tersenyum kecil saat mengingat kenangan yang dulu pernah di laluinya. Kenangan yang membuatnya selalu mendatangi taman ini setiap senja datang. Rindu di dalam hatinya semakin menganga lebar setiap kali melihat sepasang anak kecil itu tertawa renyah, mengekpresikan kesenangan mereka dari raut wajah. Rindu yang selama bertahun-tahun dia simpan rapat-rapat di dalam hatinya. Rindu pada teman masa kecilnya yang tak akan pernah luntur dari ingatannya seiring berjalannya waktu. Rindu pada gadis kecil yang selalu melewati hari-hari ceria bersamanya. Taman bunga ini menjadi saksi bisu kenangan masa kecil yang tidak akan pernah memudar sampai kapan pun itu. Di taman inilah dia menghabiskan waktu-waktunya untuk bermain dengan gadis kecilnya itu. Di taman ini jugalah tersimpan berbagai serpihan kenangan yang hanya tersimpan indah di memori otaknya. Taman ini adalah sejarah terpenting dalam jalan cerita di hidupnya. Sebagian masa kecilnya yang indah telah tertinggal di taman bunga yang tetap asri seperti dulu. Taman ini tempat terindah dan terpenting dalam sejarah hidupnya. Tempatnya meluangkan segala kerinduannya pada gadis kecil yang meninggalkannya sembilan tahun yang lalu. Sudah hampir satu jam laki-laki itu duduk di bangku kayu panjang yang terdapat di sana. Tapi, laki-laki itu seolah enggan beranjak dari duduknya yang tidak berubah sejak tadi. Dia masih ingin menikmati kenangannya yang seolah-olah berputar di depan mata kepalanya. Bernostalgia sedikit dengan kenangan yang tak akan pernah mati. Perlahan sepasang anak kecil itu bangkit dari pembaringannya. Melihat hal itu—dengan mata berkaca-kaca— laki-laki itu pun ikut berdiri dari duduknya. Sepasang anak kecil itu kemudian berlari meninggalkan taman dengan saling bergandengan tangan. Saling melempar senyum kebahagiaan. Dengan langkah pelan, laki-laki itu menuju rerumputan yang digunakan sepasang anak kecil itu untuk berguling-guling ria. Dengan senyuman samar, laki-laki itu pun membanting tubuhnya di atas rerumputan hijau itu, tak perduli dengan rasa nyeri yang menggerogoti punggungnya. Matanya yang tajam memandang lurus langit di atas sana yang kini memunculkan warna jingga yang sangat indah itu. Laki-laki itu menghembuskan nafasnya yang terdengar berat. “Gue kangen sama elo. Gue selalu nungguin elo disini, Al. Kapan elo balik kesini lagi? Sampai kapan gue nungguin elo disini? Cepat pulang, Alina...” *** Laki-laki itu memasuki koridor sekolahnya sambil bersiul-siul kecil. Tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku celana sekolahnya, sedangkan tangan kirinya memegang tali ranselnya. Setiap kali dia melangkah, dia tidak pernah lepas dari pandangan kagum para kaum hawa di sekolahnya. “Pagi, Kak…” sapa seorang cewek mungil dengan malu-malu. “Pagi juga.” balas laki-laki itu dengan memberikan senyuman hangatnya. Melihat laki-laki itu tersenyum, spontan cewek-cewek yang kebetulan ada di dekatnya langsung berteriak histeris penuh kekaguman. Bahkan ada pula seorang cewek yang langsung terduduk dengan lemas karena sangat terpesona. Terkesan berlebihan memang. Tapi, pesona laki-laki itu memang dapat menyihir hampir semua penghuni sekolahnya yang bergender perempuan. Bahkan anak-anak penjual makanan di kantin pun ada yang diam-diam mengagumi laki-laki itu. Mereka cukup bahagia walaupun hanya mengagumi laki-laki itu. Emangnya siapa sih yang gak kenal sama laki-laki itu? Cowok idaman wanita yang menjadi salah satu idola di SMA Majasriya. Cowok yang memiliki mata yang setajam mata elang, hidung mancung, alis tebal yang melengkung sempurna, bibirnya yang tipis dan merah alami, sungguh menguji imam para kaum wanita. Dengan fisik yang hampir sempurna itu sangat tidak mungkin para cewek yang ada di sekitarnya tidak klepek-klepek pada cowok satu itu. Namanya Rezariko Marindas, atau yang biasa dipanggil Reza. Salah satu anak donatur yang sudah banyak menyumbang untuk pembangunan SMA Majasriya. Cowok yang jago main piano dan ketua kelas di XI IPA 2. “Enak banget, ya, jadi elo. Pengen deh gue tukeran posisi sama elo.” Sahut sebuah suara di samping Reza saat cowok itu baru duduk di kursi kesayangannya di dalam kelasnya. Reza menoleh ke samping kirinya dan mendapati Hendra sedang bertopang dagu melihatnya. “Enak apanya?” tanya Reza keki. “Ya enaklah. Tiap hari di kerubungi cewek-cewek. Saat valentine selalu dapet cokelat yang akhirnya elo sumbangin ke gue. Selalu di tatap dengan pandangan kagum…” sahut Hendra sambil memasang wajah iri. “Ha.., menurut gue malah gak enak, Ndra. Rasanya hidup gue gak bebas gitu. Setiap gue bergerak dikit aja pasti langsung diliatin. Yang ada malah gue pengen kayak elo. Gue selalu ngerasa gak nyaman di ganggu dengan kehadiran cewek-cewek, padahal saat itu gue pengen istirahat. Mau ngusir mereka, gue gak tega.” “Elo sih terlalu baik sama mereka. Coba kalo elo gak terlalu baik sama mereka, pasti mereka gak ngerasa kalo elo itu ngasih harapan sama mereka.” “Terus gue mesti gimana? Kalau mereka dateng sama gue secara baik-baik, ya pasti gue terima mereka secara baik-baik juga. Gak mungkin gue bentak-bentak mereka dan ngusir mereka...” “Tapi, kalo sama Selly lo gak bersikap baik-baik tuh.” Mendengar nama Selly di sebut, Reza sedikit bergidik takut. “Ngapain lo nyebut tuh nama? Gak tau apa kalau gue alergi denger nama tuh orang?” Hendra terkikik geli mendengar ucapan Reza. Siapa sih yang gak kenal Selly? Seluruh penghuni sekolah SMA Majasriya juga udah pada tahu siapa Selly itu. Ketua cheers yang udah dari kelas 1 selalu berusaha mendekati Reza. Tapi karena Selly terlalu agresif, Reza jadi sedikit ngeri setiap kali Selly selalu berusaha mendekatinya. “Haha, kenapa sih elo gak nerima aja cintanya si Selly? Kan dia terobsesi banget tuh buat ngegebet elo. Haha …” Hendra tak dapat menahan geli di hatinya. “Kalo elo mau, elo aja deh yang jadian sama tuh cewek. Gue mah ogah.” Sahut Reza sambil bergidik ngeri. “Gue ngeri kalau harus dideketin tuh cewek.” “Kenapa lo gak nyari cewek aja sih?” Tanya Hendra sambil menatap lurus wajah Reza. Mendengar itu, Reza langsung menutup matanya, kemudian membukanya kembali setelah menghembuskan nafasnya pelan. Reza mengubah posisi duduknya sehingga kini dia duduk berhadapan dengan Hendra. “Gue gak niat nyari cewek, Ndra...” bisik Reza pelan. Hendra membelalakan matanya mendengar perkataan Reza. “Jangan bilang kalo elo…” “Lo kira gue suka sesama jenis? Gitu?” Reza tertawa kecil, sedangkan Hendra menatap Reza dengan sedikit ngeri. “Ya enggalah, Ndra. Gue masih normal tahu. Gue masih mau sama cewek, jadi mending lo buang jauh-jauh deh pikiran negatif lo itu.” Hendra sedikit bernafas lega mendengar penuturan Reza. “Jadi, kenapa sampe sekarang elo gak nyari pacar aja? Kalau lo udah punya pacar kan otomatis seluruh fans-fans elo di sekolah ini bakalan mundur dengan sendirinya. Begitu juga si Selly. Tapi, setelah 5 tahun gue temenan sama elo, gue belum pernah liat elo gandeng cewek.” “Karena sampe sekarang, gue gak ada alasan buat niat nyari cewek, Ndra.” “Maksud lo?” tanya Hendra dengan kening berkerut. “Gue masih menunggu seorang cewek, Ndra.” Ujar Reza sambil menatap langit-langit kelasnya. “Menunggu seorang cewek?” Hendra mengulangi ucapan Reza. “Emangnya elo nungguin siapa sampe-sampe elo gak niat nyari cewek? Emangnya apa sih spesialnya tuh cewek sampe elo nungguin dia? Mending elo pacaran aja sama Selly. Toh, dia itu lumayan kok. Body-nya juga oke.” “Jawaban dari semua pertanyaan elo itu adalah karena gue, hati gue udah terkunci sama dia. Perasaan gue tercipta untuk di berikan buat dia. Karena itu, gue sama sekali gak tertarik buat nyari cewek, Ndra.” *** Gadis itu duduk tepat di depan sebuah kanvas yang sudah tertutupi sebagian oleh warna-warna yang cerah. Bibirnya tersenyum tipis saat mengoleskan kuas hijau yang sedang dia genggam di tangan kanannya. Angin berhembus perlahan dari jendela yang dibiarkan terbuka. Menampilkan gambaran sang malam yang berhiaskan bulan dan bintang-bintang kecil yang bersinar terang menyinari gelapnya sang malam. Beberapa buah lukisan dengan puluhan gradasi warna yang indah berseliweran di dalam ruangan tersebut. Bahkan tak sedikit lukisan yang tergantung di dinding yang berwarna abu-abu kusam itu. Suara rintik hujan perlahan mulai menghiasi keheningan yang tercipta di sekitar gadis itu. Sekilas gadis itu menatap hujan di luar sana sambil tersenyum kecil. Suara petir mulai terdengar menggelegar di atas sana. Kilatan sang halilintar memberikan warna tersendiri di tengah-tengah warna hitam di langit malam ini. Gadis itu tetap tidak berkutik dari duduknya. Dia biarkan angin sepoi-sepoi menampar-nampar pipinya yang tirus. Menimbulkan hawa dingin yang mulai menyergapi raganya. Meskipun berkali-kali suara petir itu menggelegar menakutkan, gadis itu tetap asyik bergelut dengan aktivitasnya, tanpa sedikit pun terganggu dengan kebisingan yang terjadi. “Rupanya kamu ada di sini, Sayang.” Sebuah suara terdengar di dekat pintu ruangan tersebut. Gadis itu pun menoleh dan tersenyum pada wanita yang sebentar lagi menginjak kepala 4 itu. Wanita itu pun berjalan mendekati gadis itu dan menyampirkan selimut coklat yang dia bawa pada tubuh ramping gadis itu. Gadis itu menggumamkan ucapan terima kasih saat wanita itu menutup jendela yang berada dekatnya. “Sekarang kamu tidur, ya, Sayang, udah malam. Besok kamu harus bangun pagi buat pergi sekolah.” “Iya, Ma,” jawab gadis itu lembut. Wanita itu hendak mendorong kursi roda yang di duduki gadis tersebut, tapi gadis itu menahan tanggan wanita itu. Gadis itu menatap wanita tersebut dengan tatapan memohon. Wanita itu mengangguk kecil, dan kemudian mulai membereskan perlengkapan melukis tersebut dan menyimpannya dengan rapi di tempat semula. “Maafin aku, Ma, udah ngerepotin Mama.” “Kamu tidak merepotkan Mama, Nak. Karena sudah kewajiban Mama untuk mengurusi kamu. Saat ini cuma kamu yang Mama miliki di dunia ini, kamu harta Mama paling berharga...” wanita itu meneteskan air matanya perlahan. “Mama nangis?” sahut gadis itu saat air mata Mamanya jatuh di punggung tangannya. “Udah, kamu jangan mikirin Mama, sekarang tidur, ya, Sayang? Ngelukisnya lanjutin besok aja…” “Iya, Ma.” Kata gadis itu patuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD