PSYCHOPATH

2691 Words
Malam harinya Vallery terbangun dengan pemandangan yang tidak pernah bosan ia lihat, bagaimana tidak bosan jika yang ia lihat pertama kali saat membuka mata adalah wajah sang suami yang begitu tampan? Bahkan ia senang kala dapat menyaksikan perubahan wajah sang suami dari tahun ke tahun selama menjadi istri dari pria itu. "Daddy" panggil Vallery seraya mengusap rahang sang suami yang tidak pernah bersih, selalu saja ditumbuhi dengan bulu-bulu halus yang sialnya justru terlihat sangat seksi di mata Vallery. "Hmm?" gumam Brian yang masih memejamkan keduanya matanya namun tangan kiri nya menangkap jemari sang istri yang bermain di rahangnya. "Kita harus kembali ke rumah sakit malam ini" mendengar ucapan dari sang istri membuat gerakan jemari Brian yang mengikuti gerakan jemari Vallery di wajahnya terhenti. "Tidak ada yang menjaga Arthur, hanya ada Justin yang berjaga di depan pintu" ucap Vallery mengingat ia telah meninggalkan putranya selama seharian ini, malam ini ia akan kembali ke rumah sakit. Brian membuka kedua matanya seraya menatap sendu ke arah wanita yang berada di dalam dekapannya saat ini setelah itu ia merebahkan tubuhnya terlentang dan menatap langit-langit kamar penthouse tersebut. "Kau pergilah sendiri" ucap Brian membuat Vallery terkejut. "Aku belum siap untuk bertemu dengan putra kita" ucap Brian kembali dengan rasa sesak yang mulai menjalar di hatinya mengingat kejadian tadi pagi. Ia belum siap untuk mendengar perkataan kasar atau tatapan benci dari putra sulung nya sedangkan Vallery memejamkan mata, ia ikut merasakan kesedihan yang dialami oleh suaminya saat ini. Ia segera bangkit dari tidur nya, menghadap sang suami yang tengah terlentang, ia bersimpu dengan sikunya untuk menatap wajah pria itu, diusapnya kembali wajah sang suami hingga pria itu menatapnya dengan tatapan sendu. "Baiklah jika itu mau mu, tapi jangan terlalu lama untuk tidak menemui putra kita karna aku akan selalu ada di sisi mu, aku akan selalu menguatkan mu" ucap Vallery dengan lembut seraya tersenyum menenangkan membuat rasa sesak di hati Brian menguap secara perlahan. "Thank's, Honey" jawab Brian lalu mengecup jemari sang istri dengan lembut. "Ah, aku lupa. Putra kita yang lain sedang sakit" ucap Vallery membuat Brian terkejut namun setelah itu ia menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Anak nakal itu" desis Brian yang sudah menebak sakit apa yang di derita oleh putra bungsu nya tersebut sedangkan Vallery hanya terkekeh melihat sikap sang suami yang terkesan marah namun ia tahu bahwa suaminya itu tengah cemas saat ini. "Jangan memarahinya" Vallery mengusap lengan sang suami kala pria itu bangkit dari tidur nya. "Dia selalu saja membuat ku cemas" ucap Brian lalu memakai kembali kemeja yang sempat ia lempar ke sembarang tempat sebelum ikut tidur bersama dengan sang istri. Setelah itu ia kembali menaiki ranjang untuk mengecup kening sang istri. "Aku akan mengantar mu ke rumah sakit" ucap Brian membuat Vallery menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, aku akan menghubungi Royal dan meminta ia untuk mengantar ku" ucap Vallery membuat Brian menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Tidak, aku akan mengantarkan mu" ucap Brian bersikukuh. "Kau harus mengecek keadaan Mathew" "Tidak ada penolakan, aku akan mengantarkan mu terlebih dahulu setelah itu aku akan mengecek keadaan putra kita" Vallery menghembuskan nafas nya mendengar keinginan sang suami setelah itu ia segera bersiap untuk pergi ke rumah sakit. *** "Jangan lupa dengan Mathew" ucap Vallery kala sang suami hendak kembali ke penthouse. "Kau tenang saja, aku akan menjaga putra kita dengan baik" ucap Brian lalu mengecup kening sang istri. "Jaga Arthur" ucap nya kembali membuat Vallery mengangguk, kini mereka seperti pasangan yang bercerai saja yang harus membagi tugas untuk mengurus putra mereka, ia yang menjaga Mathew dan sang istri yang menjaga Arthur. "Hati-hati" ujar Vallery kala sang suami telah memasuki mobil, Brian hanya tersenyum seraya mengangguk setelah itu ia melajukan mobilnya kembali ke gedung apartement milik Dave. Sesampainya di depan pintu apartement sang putra Brian segera memencet bel, tak lama kemudian Mathew membukakan pintu dengan wajah yang kusut serta selimut yang bertengger di pundak pria itu. "Dad?" gumam Mathew seraya mengusap wajahnya sedangkan Brian segera menyentil dahi Mathew dengan keras dan hal itu membuat Mathew membuka matanya yang masih berat akibat mengantuk. "Awwh!" pekik Mathew lalu mengusp keningnya. "Sakit, Dad" ujar Mathew. "Berapa kali Daddy peringatkan untuk menjaga jadwal makan mu, huh?!" bentak Brian membuat Mathew terkejut. "I'm sorry, Dad" lirih Mathew seraya menunduk sedangkan Brian menghela nafas nya dengan kasar. Bukan tanpa sebab ia membentak putra bungsu nya tersebut, satu tahun yang lalu ia menyaksikan bagaimana penyakit itu menyerang sang putra ketika sedang kambuh, bahkan Mathew harus menghabiskan waktu selama satu minggu di rumah sakit akibat penyakit tersebut dan hal itu tentu saja membuat ia begitu cemas. "Jangan pernah melupakan jadwal makan mu, kau membuat Daddy dan Mommy cemas" ucap Brian dengan pelan dan hal itu membuat Mathew mengangguk menjawab perkataan sang ayah. "Good boy" ucap Brian lalu mengusap surai milik Mathew setelah itu ia masuk ke dalam apartement sang putra yang dibeli oleh pria itu semenjak satu tahun yang lalu dengan alasan jika ia berkunjung menemui sang kekasih maka ia akan menginap di apartement tersebut. "Perutmu sudah baikan?" tanya Brian yang berjalan menuju sofa dan diikuti oleh Mathew di belakang nya. "Masih sedikit sakit, Dad" ucap Mathew saat mereka sudah duduk di sofa. "Hmmm" gumam Brian menggelengkan kepalanya. "Maaf, aku melupakan jadwal sarapan ku" ucap Mathew. "Mommy berkata bahwa ia sudah memasak untuk mu, kau sudah makan malam, bukan?" "Sudah, Dad" jawab Mathew sekenanya. "Ah, aku hampir lupa, Maxim mengatakan jika Mr. Gerald mengajak kita kerjasama, Dad. Menurut Daddy apakah kita harus berkejasama dengannya?" Brian nampak berpikir mendengar penuturan Mathew, ia kembali mengingat kepada sosok Gerald Wickson. "Setujui saja, Daddy mengenal baik pria itu" ucap Brian membuat Mathew mengangguk. "Kau kembali tidur saja, Daddy akan menjaga mu" lanjut Brian kembali seraya mengusap puncak kepala Mathew. "Ya, tapi aku ingin membuat s**u terlebih dahulu, Dad. Aku lupa belum meminum s**u malam ini" ucap Mathew, belum juga Brian menawarkan untuk membuatkannya namun Mathew sudah bergegas menuju dapur membuat Brian menggelengkan kepalanya kembali, putranya itu tidak pernah absen meminum s**u setiap malam. Ketika sang putra tengah sibuk di meja pantry Brian bergidik kala terpaan angin menyentuh lengannya, ia menoleh dan mendapati pintu balkon apartement yang tidak tertutup, lagi-lagi Brian menggelengkan kepalanya karna sang putra selalu membiarkan pintu balkon terbuka setiap malam, pria itu berkata jika ia menyukai sejuknya angin malam dibandingkan dengan hawa AC. Brian berjalan menuju pintu balkon guna menutup pintu tersebut namun tanpa sengaja ia mengamati sebuah kamar apartement yang ada di hadapan nya, kamar apartement itu berada di bangungan apartement yang dibangun tepat di samping gedung apartement milik Dave, tanpa sengaja ia melihat seorang pria yang tengah memukul pria lain hingga hal yang sudah ia duga terjadi, pria itu menusuk lawan nya menggunakan pisau. Setelah itu pria itu menoleh ke arah Brian, menatapnya begitu lama lalu keluar dari apartement tersebut. Melihat pria itu yang menatapnya lalu keluar meninggalkan orang yang baru saja ia tusuk membuat Brian segera mengamati arloji yang berada di pergelangan tangan kiri nya, menghitung kapan pria itu akan menghampirinya. Selang sepuluh menit kemudian ia menoleh kala Mathew memanggilnya. "Dad" panggil Mathew membuat Brian menoleh. "Kau belum tidur?" tanya Brian sedangkan Mathew menghampiri ayahnya tersebut tanpa menjawab pertanyaan dari sang ayah, justru ia bertanya selanjutnya.. "Daddy sedang apa?" tanya Mathew yang sudah berdiri di samping Brian. "Menghitung waktu" jawab Brian sekenanya. "Untuk apa?" tanya Mathew dengan alis bertaut. "Menunggu seseorang" jawab Brian, ia terlihat begitu santai sedangkan beberapa menit yang lalu ia baru saja menyaksikan sebuah pembunuhan secara langsung. "Siapa yang kau tunggu, Dad?" tanya Mathew kembali, entahlah, ia merasa ada yang aneh dengan sikap sang ayah. "Seorang pria yang keluar dari kamar itu, dia akan menemui Daddy" tunjuk Brian ke arah kamar apartement yang berada di seberang apartement milik Mathew, Mathew menoleh menatap kamar tersebut. Jawaban sang ayah membuat Mathew semakin mengernyit. "Daddy mengenal dengan orang yang tinggal di apartement itu?" Brian menggeleng menjawab pertanyaan sang putra. "Tidak" jawab Brian semakin membuat Mathew bingung. "Lalu mengapa orang itu ingin bertemu dengan Daddy?" tanya Mathew membuat Brian tersenyum. "Sepuluh menit yang lalu Daddy melihatnya membunuh seorang pria dan ia tahu jika Daddy memergokinya, setelah itu ia keluar dari sana dan mungkin saat ini ia sedang kemari" jawab Brian dengan tenang membuat Mathew melebarkan matanya, ia melotot tidak percaya mendengar cerita sang ayah. "Dad!" pekik Mathew lalu menoleh ke arah pintu, ia kembali terkejut kala bel apartement nya berbunyi, jantungnya berdetak begitu cepat saat ia menduga bahwa seseorang yang memencet bel apartement nya adalah pelaku pembunuhan yang ayahnya lihat sepuluh menit yang lalu. Jika Mathew tengah ketakutan dengan pemikirannya saat lain maka lain hal nya dengan Brian yang berjalan menghampiri pintu tersebut, langkah sang ayah membuat Mathew kembali melebarkan matanya, ia kemballi terkejut kala sang ayah berjalan menghampiri pintu, ia segera menarik lengan sang ayah. "Dad, jangan bukakan pintu itu!" ucap Mathew dengan nada bergetar ketakutan sedangkan Brian hanya menggelengkan kepalanya, ia mengusap punggung tangan sang putra yang membelit lengan kiri nya. "Kau tenang saja" ucap Brian membuat Mathew ingin menangis rasanya. "Dad!" pekik Mathew kembali. "Jangan bukakan pintu itu! Pembunuh itu ada di depan pintu!" teriak Mathew dengan ketakutan, bahkan ia sudah memeluk tubuh ayahnya dan hal itu sukses membuat Brian terkekeh. "Kenapa kau begitu ketakutan?" rahang Mathew terasa akan jatuh ke lantai saat mendengar pertanyaan dari sang ayah. "Dad! Bagaimana kau bisa setenang ini?!" tanya Mathew tidak habis pikir. "Kita di sini saja, Dad. Jangan bukakan pintu itu, aku tidak mau mati sekarang, aku belum menikah, Daddy. Aku belum memiliki anak yang lucu-lucu dengan Arianna, aku tidak ingin hal buruk terjadi pada Daddy jika Daddy membuka pintu itu" ucap Mathew yang membuat Brian tertawa, Mathew semakin memeluk Brian dengan erat kala suara bel apartement miliknya belum berhenti juga. "Bagaimana jika bukan pria itu yang memencet bel apartement mu?" tanya Brian lalu mengacak-acak rambut sang putra. "Ku mohon, Dad. Untuk saat ini jangan bukakan pintu itu" ucap Mathew membuat Brian menggelengkan kepalanya, ia tidak menyangka jika putra bungsu nya itu begitu ketakutan, bagaimana jika Mathew menyaksikan pembunuhan secara nyata di depan matanya? Bagaimana jika pria itu melihat ia membunuh seseorang seperti yang sudah-sudah? Bagaiman jika putranya itu mengetahui bahwa ayahnya sendiri adalah psikopat selama ini? Mungkin putranya itu tidak berani untuk memeluknya begitu erat seperti sekarang ini. "Tenanglah" ucap Brian. "Kau di sini saja, biar Daddy yang membukakan pintu" ucapnya kembali membuat Mathew lagi-lagi menggeleng, bahkan ia sudah menitikkan air matanya, dipikirannya saat ini adalah keselamatan sang ayah, bagaimana jika pembunuh itu menodongkan senjata ketika sang ayah membukakan pintu? Ia tidak bisa membayangkan jika sang ayah meninggal karena pembunuhan tersebut, jika hal itu terjadi maka malam ini adalah mimpi buruk seumur hidupnya. Mathew mengeratkan pelukan nya pada tubuh sang ayah kala pria itu mencoba untuk melepaskan kedua lengannya sedangkan Brian menghembuskan nafasnya dengan kasar kala melihat putra bungsu nya menangis. "Daddy!" pekik Mathew kala Brian menyeret tubuh mereka berdua menuju pintu, penglihatannya saat ini bahkan sudah kabur akibat kaca matanya yang berembun belum lagi air mata yang kembali menetes di wajahnya. "Astaga" gumam Brian yang dengan terpaksa menyeret kakinya menuju pintu apartement, dengan susah payah ia melangkahkan kakinya dengan tubuh sang putra yang menempel, bagaimana ia tidak kesusahan jika tubuh Mathew setara dengan besar tubuhnya? "No, Daddy!" teriak Mathew yang bahkan sudah meluruh, ia tidak berdiri tegak ketika memeluk sang ayah saat ini, kakinya terseret di setiap langkah sang ayah yang menuju pintu apartement. Ceklek. "Hei, ada apa?" tanya seorang pria yang bediri di depan pintu apartement, pria itu mengernyit melihat pemandangan di hadapan nya, di mana sang keponakan memeluk kakaknya begitu erat. Mathew mendongakkan kepalanya kala mendengar suara yang begitu familiar di telinganya, ia segera bangkit dan melepaskan kedua lengannya yang membelit tubuh sang ayah. Ia melepaskan kaca mata yang bertengger di wajahnya lalu mengusap wajahnya menghapus air mata yang sempat mengalir. "Uncle Vinic?" tanya Mathew seraya mengerjap. "Kau menakuti putraku" bisik Brian yang hanya terdengar oleh Vinic sedangkan Mathew masih menatap wajah sang paman, mendengar perkataan dari sang kakak membuat Vinic mengernyit belum sempat ia mengerti dengan perkataan Brian ia sudah dikejutkan dengan sang keponakan yang menarik lengannya begitu kuat hingga ia terhuyung masuk ke dalam apartement tersebut. Mathew segera menutup pintu apartement nya dengan nafas yang memburu, dadanya terlihat naik turun, ia berpikir bahwa ia harus menarik lengan sang paman sebelum pembunuh yang diceritakan oleh ayahnya berada di lorong yang terletak di depan apartement miliknya. "Jika ada yang memencet bel apartement jangan dibukakan" ucap Mathew seraya menatap wajah sang ayah dan pamannya, Brian hanya terkekeh melihat ketakutan sang putra sedangkan Vinic menatap bingung ke arah keponakan nya tersebut. "Tenanglah" ucap Brian seraya mengusap surai milik Mathew, berusaha untuk menenangkan putra bungsu nya tersebut. "Lebih baik kau kembali tidur, kau berkata bahwa perut mu masih terasa sedikit sakit bukan?" tanya Brian membuat Mathew mengangguk, ia sedikit tenang setelah mendapatkan usapan lembut dari sang ayah. "Tidurlah, Daddy ingin berbincang-bincang dengan pamanmu" ucap Brian. "Temani aku sebentar, Dad" lirih Mathew membuat Brian menggelengkan kepalanya untuk yang kesekian kali. "Kau ini kenapa?" tanya Vinic yang tidak mengerti dengan tingkah Mathew sedari tadi. "Tadi.. tadi.." "Come on" ucap Brian memotong perkataan Mathew, ia segera membimbing putranya untuk memasuki kamar pria itu sedangkan Vinic hanya mengendikkan bahunya. Vinic segera berjalan menuju kulkas dan mengambil dua kaleng soda setelah itu ia berjalan menuju sofa dan menyalakan televisi yang ada di hadapan nya sedangkan Brian tengah mengusap puncak kepala sang putra yang saat ini sudah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Daddy jangan pergi sebelum aku terlelap" ucap Mathew membuat Brian terkekeh. "Baiklah" ucap Brian dengan tenang di tengah-tengah tangannya yang megusap puncak kepala Mathew, ia berpikir apa yang akan terjadi jika putranya tersebut mengetahui jati dirinya dan juga Vinic. Beberapa menit telah berlalu dan saat ini Mathew telah terlelap. "Good night, my little pumpkin" ucap Brian lalu mengecup kening sang putra sebelum ia keluar dari kamar Mathew. Kini Brian melangkah menghampiri Vinic yang tengah menonton pertandingan tenis di televisi. "Ada apa dengan keponakan ku?" tanya Vinic kala Brian sudah duduk di samping nya. "Kau meninggalkan pria itu sendiri?" tanya Brian kepada Vinic, Vinic menenggak soda nya kembali sebelum menjawab pertanyaan sang kakak. "Sudah ada Royal yang mengurus mayat pria itu" jawab Vinic membuat Brian menganggukkan kepalnya berulang kali dengan perlahan. "Aku mengatakan pada Mathew bahwa aku melihat pembunuhan yang kau lakukan, yaaa walaupun putraku itu tidak mengetahui jika kau adalah pelakunya. Aku mengatakan bahwa kau tahu saat aku memergoki mu setelah itu mungkin saja kau akan menghampiri ku, setelah mengatakan hal itu kau memencet pintu bel apartement dan itu yang membuat Mathew ketakutan, ia menduga bahwa pelaku pembunuhan itu menghampiri ku, yaaa meskipun kenyataannya memang begitu" Vinic sukses tertawa terbahak-bahak kala mendengar penuturan dari Brian, ia kembali mengingat wajah sang keponakan yang berderai air mata kala ia berdiri di depan pintu apartement tersebut, pantas saja Brian mengatakan bahwa ia menakuti keponakannya tersebut. "Apa yang akan terjadi jika Mathew mengetahui bahwa aku memang pria itu?" tanya Vinic lalu kembali tertawa sedangkan Brian hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sang adik. "Bahkan putraku tidak mengetahui jika kita adalah psikopat" ucap Brian seraya mendengus. "Kenapa kau membunuh pria itu?" tanya Brian ingin tahu. "Ia menghalangi jalan ku, aku ingin mengunjungi mu namun ia mencari masalah dengan ku, aku bahkan mengejarnya hingga ke kamarnya" ucap Vinic tanpa mengetahui bahwa Mathew mendengarkan pembicaraan mereka dengan wajah yang pucat pasi. ----- Untuk membuka part selanjutnya kalian harus pakai koin ya... Koin yang harus dipakai buat buka part nominalnya berbeda-beda, kenapa bisa begitu? Misal part selanjutnya kalian harus bayar pakai 20 koin, itu artinya di part tersebut memiliki 2000 kata atau setara dengan 16 halaman di aplikasi dreame. Total koin yang dibutuhkan untuk membuka semua part di cerita My Sexy Prince 2 sebanyak 477 koin, itu kalo diliat harganya kisaran Rp 70.000,- Jadi jangan kaget kalau cerita My Sexy Prince 2 ini agak panjang and lumayan harga koin nya ya karna kalau di total secara keseluruhan dari part 1-46, cerita ini memiliki total 70.000 kata yang kalau dijadiin halaman itu jadi 230 halaman n****+ cetak... Semoga di antara kakak-kakak para pembaca ini ada yang mau baca sampai part akhir cerita karna konfliknya dimulai dari part yang terkunci dan cerita My Sexy Prince 2 ini memiliki sequel yaitu My Masked Queen... Terima kasih...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD