PUTRA SULUNG

1668 Words
Setelah kejadian tadi pagi di mana istrinya menangis, saat ini Brian tengah termenung menatap kolam renang yang berada di depan mansion miliknya, jemari tangan kanan nya masih setia mengenggam smartphone, ia ragu untuk menelfon Arthur saat ini. Diamatinya kembali smartphon etersebut lalu ia kembali menghembuskan nafasnya secara perlahan guna menenangkan dirinya sendiri, tadi pagi ia mengatakan bahwa apapun akan ia lakukan untuk Vallery meskipun hal itu menyakiti hatinya namun saat ini ia merasa seperti seorang pengecut yang tidak dapat memegang perkataannya sendiri. Ia belum siap jika harus merasakan sakit hati kembali akibat penolakan dari Arthur karna selama ini ia sudah menurunkan ego dan harga dirinya untuk mendekati putra sulung nya tersebut namun tidak membuahkan hasil sama sekali, Arthur selalu menghindarinya tanpa alasan yang tidak ia ketahui mengapa putranya tersebut mneghindarinya selama ini. Brian menghembuskan nafasny dengan kasar dan tanpa pikir panjang ia segera menghubungi Arthur, tidak peduli dengan penolakan yang akan dilakukan putranya tersebut, yang pikirkan saat ini adalah bagaimana caranya membujuk Arthur agar kembali ke mansion atau sekedar berkunjung, jika putranya tersebut tetap dengan pendiriannya maka ia akan membawa Arthur secara paksa seperti yang ia katakan kepada Vallery dan juga Mathew tadi pagi. Brian masih setia menempelkan smartphone tersebut di telinganya kala Arthur belum mengangkat panggilan tersebut hingga akhirnya hanya suara operator yang ia dengar, Brian kembali menelfon Arthur, berharap di panggilan kedua ini putranya tersebut akan mengangkat panggilan itu namun yang ia dapati justru suara seorang operator yang mengatakan bahwa putranya tersebut tidak dapat diganggu saat ini yang tidak lain adalah Arthur menolak panggilan tersebut. Brian menatap nanar ke arah smartphone miliknya, ia begitu frustasi dengan sikap sang putra selama dua puluh tahun ini. "Oh Tuhan..." erang Brian dengan frustasi, ia mengusap wajahnya dengan kasar, memikirkan apa yang membuat putranya menghindarinya selama ini, bahkan rafael yang ia tugaskan untuk mencari perkembangan Arthur di masa kecil pun belum membuahkan hasil. "Tell me, what's my fault?" gumam Brian seraya memejamkan mata, ia kembali menatap kolam renang dengan pikiran yang berkecamuk hingga apa yang ia lamunankan menghilang kala ia merasakan tepukan di pundaknya, ia segera menoleh dan mendapati sang istri tengah menatapnya saat ini. "Apa yang sedang kau lamunkan di sini?" tanya Vallery seraya mengusap lengan Brian. "Nothing" ucap Brian membuat Vallery menyipitkan matanya, mencari kebohongan di kedua mata sang suami meskipun begitu sulit karna selama ini ia tidak dapat mengetahui kapan suaminya tersebut berbohong, bahkan dulu ketika Brian memintanya untuk menggugurkan Arthur pun ia tidak mengetahui sama sekali bahwa perkataan yang terlontar dari bibir suaminya tersebut adalah sebuah kebohongan. "Mengapa begitu susah untuk membaca perkataan dan pemikiran mu?" tanya Vallery dengan frustasi membuat Brian terkekeh. "Sudah ku katakan jika tidak ada yang ku lamunkan" Vallery melipat kedua lengannya di depan d**a kala mendengar penuturan dari Brian. "Anggap saja bahwa aku percaya" "Of course, kau harus selalu percaya kepada suamimu ini" ucap Brian dengan senyuman yang menghiasi wajahnya meskipun rasa resah masih saja bersarang di hatinya ketika memikirkan Arthur. "Aku mendapatakan telefon dari Mathew baru saja, ia mengatakan bahwa ia akan menginap di kantor dan besok pagi akan menuju Chicago untuk melakukan pertemuan dengan klien" ucap Vallery membuat Brian mengangguk. "Anak itu terlihat sangat rajin" ucap Brian seraya terkekeh sedangkan Vallery hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Aku sedang membuat cheese cake untuk mu" ucap Vallery. "Really?" "Ya, dan kau harus menghabisinya" ucap Vallery membuat Brian tersenyum, tentu saja ia akan menghabiskan semua makanan yang dibuat dari tangan istrinya tercinta. "Tentu saja" ucap Brian lalu menggiring Vallery untuk memasuki mansion. "Bersihkan tubuhmu terlebih dahulu, aku akan menyiapkan makanan" Brian mengernyit mendengar perintah dari sang istri. "Sejak kapan aku mengijinkan mu untuk melakukan tugas itu?" tanya Brian. "Sudah ada beberapa maid yang akan menyiapkan makan malam kita" lanjut Brian. "Sudahlah, kau hanya perlu menuruti perintah ku" ucap Vallery membuat Brian terdiam, jika tadi ia yang menggiring sang istri untuk memasuki mansion, kini justru sang istri yang menggiringnya untuk memasuki kamar mandi yang berada di dalam kamar mereka. "Kau tidak mau bergabung?" goda Brian membuat Vallery menggelengkan kepalanya. Suaminya tersebut seolah melupakan umurnya sendiri ketika berkata seperti itu. "No" tegas Vallery lalu menutup pintu kamar mandi tersebut, selang lima belas menit kemudian Brian keluar dari kamar mandi tersebut, ia mengernyit kala melihat tuxedo miliknya yang tergeletak di atas ranjang. Ia berjalan menghampiri ranjangnya dan mengangkat tuxedo tersebut. "Honey" panggilnya seraya menatapi tuxedo tersebut lalu menatap ke arah pintu, berharap bahwa sang istri akan datang memasuki kamar. "Ya?" teriak Vallery dari luar kamar membuat Brian semakin mengernyit. "Kau menyiapkan tuxedo untuk ku? For what? Apa kita akan menghadiri acara pernikahan teman mu lagi?" tanya Brian namun Vallery tak kunjung masuk ke dalam kamar mereka. "Ya" jawab Vallery kembali dari luar kamar seraya berteriak, Brian mengangkat bahunya dengan cuek dan segera memakai tuxedo tersebut, mungkin istrinya lupa untuk mengatakan padanya tentang acara tersebut seperti dua minggu yang lalu kala ia dipaksa memakai tuxedo untuk datang ke acara pernikahan teman istrinya tersebut. Setelah semuanya selesai mulai dari memakai tuxedo, menata rambut hingga mengenakan fantofel shoes kini Brian berjalan menuju lantai satu. "Honey" panggil Brian membenarkan letak arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia mendongakkan wajahnya kala teringat dengan cheese cake buatan sang istri, saat ia hendak memanggil kembali wanita itu ia dikejutkan dengan penampilan sang istri saat ini. Vallery mengenakan gaun berwarna tosca yang begitu indah, melekat sempurna di tubuhnya yang menurut Brian begitu sexy meskipun gaun tersebut tidak terlalu terbuka namun ia masih dapat melihat lekukan tubuh sang istri di balik gaun tersebut. "You look so beautiful, Honey" ucap Brian lalu berjalan menghampiri sang istri, ia segera merengkuh pinggang wanita tersebut seraya tersenyum. "Kapanpun dan di manapun kau selalu cantik di mataku" ucap Brian kembali membuat wajah Vallery semakin merona. "Kau terlalu banyak membual malam ini" ujar Vallery namun Brian hanya bisa menggelengkan kepala meskipun senyuman tidak pernah luntur di wajah tampan nya namun senyuman itu menghilang ketika sang istri mengecup bibirnya, ia terperangah dengan sikap sang istri. "Happy anniversarry" ucap Vallery kembali membuat Brian terperangah, ia segera menoleh ke arah belakang ketika ia mendengar dentingan suara piano yang berasal dari music player yang diletakkan oleh Vallery di atas nakas dekat meja makan, lagi-lagi ia terperangah kala melihat beberapa lilin ada di atas meja makan tersebut dengan beberapa hidangan. "Oh, honey" lirih Brian kehilangan kata-kata untuk mengungapkan bagaimana perasaannya saat ini, yang dapat ia lakukan hanyalah mengecup bibir sang istri berulang kasih seraya menggumamkan kata terima kasih. "Kau selalu lupa dengan tanggal pernikahan kita" Vallery menekukkan wajahnya ketika mengucapkan kalimat tersebut. "Tanggal bukanlah sebuah patokan, yang terpenting aku selalu mencintai mu" ujar Brian membuat Vallery mau tak mau tersenyum. "Kau selalu bisa membuat mood ku membaik" Brian tersenyum mendengar perkataan sang istri. "Mana cheese cake untuk ku?" tanya Brian membuat Vallery tertawa. "Come on" ajak Vallery lalu menuntun sang suami berjalan menghampiri meja makan. *** Entah mengapa malam itu Vallery sangat mencemaskan putra sulung nya, sedari tadi ia berjalan mondar-mandir di balkon kamar. Jujur saja ia sangat marah ketika Brian membawa smartphone miliknya tanpa ijin tadi pagi, pria itu mengatakan ketika sudah berada di balik kemudi dan berteriak ke arah Vallery yang berdiri di teras mansion. "Aku membawa ponsel mu, Honey" teriak Brian ketika sudah memasuki mobil pagi itu, belum sempat Vallery memprotes kelakuan sang suami, pria itu telah lebih dulu berlalu. "Untuk apa ia membawa ponsel ku?" tanya Vallery bermonolog ketika mobil Brian telah menghilang di balik pagar mansion. Ia ingin sekali menghubungi Arthur saat ini namun ia tidak mengingat ID number milik putra sulung nya tersebut, sempat terbesit di fikirannya untuk meminjam smartphone milik putra bungsu nya namun Mathew sedang dalam perjalanan menuju Chicago untuk bertemu dengan klien perusahaan. Vallery menghentikan langkahnya ketika ia berpikiran untuk menelpon Brian melalui telepon rumah, ketika ia hendak menuruni tangga mansion langkahnya kembali berhenti ketika ia melihat tubuh Brian berdiri di ujung tangga. "Hi, Honey" senyum Brian mengembang ketika tatapan matanya bertemu pandang dengan sorot mata Vallery yang menajam saat ini, merasa ada yang janggal dengan sikap istrinya membuat alis Brian terangkat meminta penjelasan. "Brian, kau dari mana saja?!" pekik Vallery seraya berlari menuruni tanggan, Brian yang melihat hal itu seketika menjadi khawatir. "Pelan-pelan" ujar Brian seraya menaiki tangga agar istrinya itu tidak berlari menuju tempatnya berdiri tadi. "Kau dari..." perkataan Vallery terhenti ketika Brian mengecup bibirnya. "Saat ini jam enam sore dan aku selalu pulang di jam ini, Honey. Kenapa kau bertanya dari mana saja aku?" tanya Brian lalu merengkuh pinggang Vallery. "Di mana ponsel ku? Kenapa kau membawa ponsel ku?" tanya Vallery dengan geram. "Aku sengaja membawanya karna akan ku ganti dengan yang baru?" mata Vallery melotot mendengar penjelasan Brian. "Ponsel mu sudah ketinggalan jaman dan aku sudah menggantinya dengan yang baru" ujar Brian seraya mengangkat paper bag yang ia jinjing sejak tadi. "Bagaimana data-data ku? Ya Tuhan" guman Vallery seraya mengusap wajahnya. "Tidak akan hilang, aku sudah menyalin nya dalam memory card milikku" Vallery berhenti mengusap wajahnya ketika ia kembali teringat dengan Arthur, spontan ia mengenggam erat kedua lengan Brian. "Brian, hubungi Arthur, aku sangat mencemaskannya" ujar Vallery dengan sorot mata memohon dan juga cemas. Raut wajah Brian seketika berubah menjadi datar ketika mendengar permintaan Vallery. Ia segera melepas rengkuhan nya pada pinggang ramping sang istri. Brian hanya bergeming lalu meninggalkan Vallery dan kembali menaiki tangga. Vallery terkesiap ketika Brian meninggalkannya. "Brian ku mohon hubungi Arthur, aku sangat mencemaskannya saat ini, kau bahkan sudah berjanji untuk membawa Arthur kembali ke mansion ini" pinta Vallery seraya mengikuti langkah Brian. Perkataan Vallery membuat langkah Brian terhenti. Ia menoleh ke belakang, menatap mata sang istri yang sudah berkaca-kaca, bagaimanapun juga ia sadar sepenuhnya bahwa Vallery sangat merindukan putra mereka selama ini. Brian menghela nafas panjang lalu meraih smartphone miliknya yang ada di balik jas. Ia segera menghubungi putranya saat itu juga. Tak membutuhkan waktu lama, panggilan itu segera terangkat, membuat Brian mengernyit karna selama ini putranya tidak pernah mau mengangkat panggilan darinya, namun setelah ia terkejut setengah mati setelah mendengar suara di seberang telefon. "Hallo, Sir. Saya Harley, putra anda mengalami kecelakaan dan saat ini sedang berada di Belle*** Hospital Center"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD