kosongkosongkosongkosong kosongkosongkosong

kosongkosongkosongkosong kosongkosongkosong

book_age18+
4
FOLLOW
1K
READ
drama
city
wife
husband
naive
like
intro-logo
Blurb

kosongkosongkosongkosongkosongkosongkosongkosongkosongkosongkosongkosong kosongkosongkosong kosong kosong kosong kosong kosong kosong kosong kosongkosong kosong k osongkosong kosong kosong kosong kosongk osong kosong kosong

chap-preview
Free preview
Aku kembali bertemu dengannya
Selepas kejadian itu, aku berubah menjadi pribadi yang sangat pendiam. Kabar berita tentang putusnya hubungan kami berdua juga sudah menyebar luas ke seantero sekolah. Bahkan, banyak berita miring yang tercetus perihal keretakan hubungan kami. Salah satunya, bahwa Nevan telah membuangku. Reaksiku? Tidak ada. Aku lebih memilih tetap berdiam diri tanpa berniat sedikitpun menampik atau mengiyakan berita-berita tak jelas seperti itu. Terserah apapun pendapat mereka, aku tidak peduli. Aku hanya ingin melupakan semua ini. Semuanya. Hanya pada ketiga sahabatku, Jovanka, Kayla dan Zoya aku menceritakan semua cerita pahit ini. Mereka menghargaiku dengan tidak bertanya soal apapun lagi lebih lanjut. Walau bisa kutebak, ada sejuta pertanyaan yang pasti melekat di benak mereka. Aku beruntung memiliki ketiganya, mereka selalu setia berada di sampingku, menemani hari-hariku yang mulai terasa sulit. Selama beberapa waktu, berada di dalam kelas merupakan siksaan tersendiri bagiku. Sudah lebih dari dua kali aku mengajukan pindah ke kelas lain pada Bu Anita, wali kelasku. Namun, beliau selalu menolaknya dengan alasan kurang dari enam bulan lagi kami akan lulus dari sekolah. Mau tak mau, aku hanya bisa menuruti perkataan Beliau. Tak berapa lama, aku sudah mulai kembali menjadi Zenaya yang biasanya. Aku memilih berdamai dengan hatiku sementara. Namun sepertinya, Tuhan tidak memberikan kedamaian yang lama untuk diriku. Entah mengapa, Nevan secara tiba-tiba selalu saja mencoba mengambil alih perhatianku. Beberapa kali dia bahkan berusaha untuk mendekatiku, tapi aku selalu sukses menghindarinya. Tak jarang pula, dia memperlihatkan ekspresi penyesalannya ketika kami tengah berpapasan secara tak sengaja. Entahlah, aku benar-benar tak bisa menebak apa yang ada di dalam pikirannya. Yang jelas, aku tak pernah sekalipun perduli lagi padanya. Aku benar-benar sangat membencinya. Rasa benciku bahkan melebihi rasa cintaku padanya, dulu. *** Hari kelulusan sekolahku tiba. Aku sudah mendaftarkan diri di Universitas yang sama dengan kak Evan. Aku akan berkuliah kedokteran di Yogyakarta. Sejujurnya, sangat berat meninggalkan Jakarta, Kota kelahiranku ini. Terlalu banyak kenangan manis yang tercipta di tempat ini. Meski ada beberapa kenangan pahit yang salah satunya tak akan pernah bisa kulupakan selama sisa hidupku. Ini semua kulakukan, karena aku ingin menggapai kesuksesan. Aku ingin menjadi anak yang bisa dibanggakan seperti kakakku. Kak Evan, sembari menyelesaikan tugas akhirnya sudah bekerja di sebuah perusahaan ternama dengan posisi yang cukup menjanjikan. Maka dari itu, aku rela meninggalkan Jakarta agar bisa sukses seperti dirinya. Bukan berarti berada di sini aku tak bisa hidup sukses. Aku hanya ingin lebih fokus menata masa depan. Aku ingin menciptakan hidup yang baru di sana, meninggalkan semua kejadian tak mengenakan di sini, termasuk– "Zenaya," lamunanku buyar. Aku tersentak mendapati Nevan kini berdiri di hadapanku. Tak kurasakan lagi detak jantung yang bergemuruh seperti dulu. Tak kurasakan lagi semu merah yang menghiasi kedua pipiku saat aku berpapasan dengannya seperti dulu. Aku menatapnya dengan ekspresi penuh kebencian. "Aku, ingin–" Perkataannya terhenti, saat tiba-tiba aku melayangkan sebuah tamparan sekuat tenaga. Aku tahu, rasanya pasti sangat menyakitkan. Tetapi, tak akan pernah sebanding dengan rasa sakitnya hatiku. Pijakan kakinya goyah sesaat karena tak siap menerima perlakuan dariku. Ekspresinya sama sekali tidak terkejut. Barang kali, dia sudah bisa menebak apa yang akan kulakukan padanya jika dia mencoba mendekatiku, lagi. Kudongakkan kepalaku sembari memasang raut angkuh. Aku menatap tajam matanya yang tengah memandangku sendu. Cih! Apa dia ingin bersandiwara lagi? Maaf saja, kali ini aku tak akan terjebak lagi pada sandirawamu yang memuakkan! Telunjukku terarah pada wajahnya, "Jangan pernah menggangguku lagi! Aku benar-benar membencimu!" desisku sadis dengan penuh penekanan disetiap katanya. Tak perlu menunggu respon darinya, aku segera melangkahkan kaki pergi berlalu. Kutabrakan bahuku pada lengan laki-laki b******k itu, membuat dia nyaris saja membentur tempat sampah yang terletak tak jauh dari sana. Ya, salah satu alasanku pergi menempuh pendidikan di Yogyakarta adalah dia. Nevan Fabian Adhitama. *** 15 tahun kemudian. Saat ini usiaku sudah menginjak 33 tahun. Aku sukses lulus dari universitas di Yogyakarta dengan nilai yang cukup gemilang. Gelar dokter kusandang dengan penuh perjuangan dan airmata. Setelah beberapa lama bekerja di salah satu rumah sakit besar di Yogyakarta, aku memutuskan pindah ke Jakarta. Sebenarnya, Ayah dan Ibuku yang memintaku untuk kembali pulang ke rumah. Aku tak kuasa menolak, sebab sudah terlalu lama juga aku merantau ke Kota lain dan meninggalkan mereka. Dan hari ini, tepat bulan ketigaku bekerja di Jakarta. "Terima kasih ya, dok? kalau begitu saya permisi," ujar seorang Ibu muda padaku. Saat ini aku sedang praktek dan baru saja selesai memeriksa pasien terakhirku, seorang batita cantik berusia 3 tahun yang tengah terserang demam. "Sama-sama." Jawabku ramah. Aku tersenyum lembut seraya mengelus gemas pipi gembil si batita lucu tersebut. Setelah pasien terakhirku keluar, aku langsung merenggangkan otot-ototku yang mulai terasa kaku dan memijit-mijit sedikit pelipisku. Lelah, tapi ini adalah pekerjaan yang sangat kucintai dan kudambakan sejak dulu Suara ketukan terdengar di pintu ruanganku. Tak perlu kupersilahkan masuk, pintu ruanganku akan terbuka dengan sendirinya. Aku sudah tahu siapa yang akan menggangguku setiap jam istirahat tiba. Jovanka menampakkan dirinya sembari tersenyum lebar. Salah satu sahabat baikku semasa SMA ini berprofesi sama denganku. Dia bahkan merupakan salah satu kandidat dokter bedah muda terbaik di rumah sakit ini. Sedangkan Zoya berhasil menjadi desainer yang cukup terkenal, dan Kayla sukses membangun beberapa restourant bersama Suaminya. Aku bangga pada mereka. "Makan siang?" tanyanya riang. Aku tersenyum dan langsung bangkit dari kursiku. "Hari ini banyak pasien, Jo?" tanyaku ketika kami berdua sedang berjalan di koridor rumah sakit, menuju kantin. "Tak perlu kujawab, kau pasti sudah tahu, Nay." jawabnya lesu. Aku terkikik, dia memang sedikit lebih sibuk dariku. Sedang asyik-asyiknya kami berbincang, kami dikejutkan dengan beberapa orang perawat yang tengah berlarian sambil mendorong brankar kosong dari arah berlawanan. Salah satu perawat bahkan sampai menyenggol lengan Jovanka. "Maaf, dok," ujar perawat tersebut dengan gesture terburu-buru. "Ahh, kebetulan dok, tolong–" belum selesai perawat tersebut berbicara, Jovanka yang mengerti langsung memohon diri pada Naya, "Sorry, Nay," "Tak apa." Jawabku sembari mendorong bahunya pelan. Tanpa menunggu lama dia segera berlari bersama perawat tersebut. Aku menatap Jovanka yang sedang berlari menuju lobby rumah sakit. Dia mengarahkan para perawat untuk mendorong brankar masuk ke ruang UGD lewat pintu dalam. Kebetulan UGD berada tepat di depanku. Brankar itu melewatiku dengan cepat. Kakiku seketika terpaku. Aku tak mampu bergerak meski hanya sekedar menjentikkan jari-jari tanganku. Meski brankar tersebut berjalan cepat, namun aku bisa melihat dengan sangat jelas siapa Pria yang tergeletak tak sadarkan diri di atasnya. Tiga orang, dua orang pria dan seorang wanita yang kupastikan adalah keluarganya, mengikuti Jovanka dan para perawat dari belakang dengan penuh kekhawatiran. Wanita itu bahkan menangis histeris memanggil nama pasien tersebut. "Nevan!" Meski telah 15 tahun berlalu, meski wajah itu tengah berlumuran darah sekarang, tetapi aku masih tetap bisa mengenalinya. Dia, Nevan Fabian Adhitama. *** Aku sekarang sedang berada di kantin umum rumah sakit. Nasi goreng dan teh hangat pesananku belum sama sekali tersentuh. Aku sibuk memikirkan apa yang baru saja kulihat. Di satu sisi jantungku berdetak kencang entah kenapa, tetapi disisi lain aku benar-benar merasakan kembali kemarahanku. Kejadian 15 tahun yang lalu masih sangat jelas terekam diingatanku. "Nay?" panggilan Jovanka menyadarkanku dari lamunan. Dia menggeser kursi di depanku dan duduk di sana. Melirik makanan yang ada di hadapanku kemudian menghela napasnya, "Kenapa kau ada di sini? Aku mencarimu di kantin kita, tapi ternyata kau malah ada di sini." Matanya menatapku gelisah. "Kau melihatnya, ya?" Aku mengangguk pelan. "Lalu?" tanyanya lagi dengan nada sedikit ragu. "Lalu?" aku mengulang pertanyaan Jovanka seraya meliriknya heran. Dia kembali menghela napas. "Kau, tak ingin menem–" "Tidak!" jawabku cepat. Aku tak ingin Jovanka menyelesaikan kalimatnya. Jovanka memperlihatkan ekspresi prihatinnya padaku, "Dia mengalami kecelakaan saat sedang berangkat ke kantornya." Aku terdiam, tak berniat sedikitpun untuk menanggapi ocehannya, meski kedua telingaku mendengar semua penjelasannya dengan begitu jelas. "Mobilnya hancur tertimpa Dump Truck yang mencoba mendahuluinya. Lengannya patah dan dia mengalami pendarahan. Aku sedang menunggu, dia akan segera menjalani operasi." Jovanka menjelaskan padaku panjang lebar. Aku tersentak, namun berusaha agar raut wajahku tak terlihat berubah. "Aku tak peduli." kataku dingin. "Astaga, Nay! Demi Tuhan, itu sudah 15 tahun berlalu dan kau masih membencinya?" aku bisa melihat raut kekesalan Jovanka. "Bicara memang hal yang mudah, Jo," aku menggeser kursiku ke belakang kemudian menatapnya dingin. Kepalaku tiba-tiba berdenyut hebat. Aku tak ingin berdebat dengan Jovanka lebih jauh lagi dan memilih pergi meninggalkannya "Nay?" Jovanka menahan tanganku, aku menatapnya sekilas lalu menyentakkan tangannya dan pergi berlalu begitu saja.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Marry Me If You Dare

read
226.5K
bc

Secret Marriage

read
947.7K
bc

(Not) Sweet Revenge || Indonesia

read
45.7K
bc

MOVE ON

read
98.0K
bc

f****d Marriage (Indonesia)

read
7.1M
bc

Chandani's Last Love

read
1.4M
bc

Rise of Love

read
354.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook