Pagi menjelma.
Adam yang baru sampai, langsung saja menemui Keisya yang juga sepertinya baru selesai mengecek kondisi pasien dalam ruang perawatan intensif.
"Morning, Kei," sapa Adam.
"Hey, morning! Baru sampai, ya?" tanya Keisya sekedar basa-basi biasa.
Adam mengangguk cepat "Bagaimana tadi malam? Sibuk?" Sekali lagi Adam melontarkan pertanyaan.
"Ada beberapa pasien darurat, tapi kondisi masih aman saja," jawab Keisya bangga.
Kedua dokter itu lantas berjalan sambil beriringan menuju eskalator untuk naik ke lantai satu, lantai dimana ruangan Adam dan ruang istirahat para dokter berada.
"Oh iya, laporan untuk tadi malam sudah aku siapkan dan sebentar lagi aku bakalan kirim via email. Ada satu orang pasien ibu hamil yang masih butuh pemantauan intensif," cetus Keisya kemudiannya.
Adam mengangguk pelan. "Oke …," jawab Adam. "Oh iya, shift Kamu sudah selesai sekarang pulanglah," bicara Adam sambil menoleh sekilas ke samping menatap pada wajah lesu Keisya.
"Iya, ini aku mau pulang, setelah aku ambil tas di ruang istirahat,” balas Keisya cepat.
Setelah itu, keduanya jalan terpisah arah, Adam terus berlalu ke ruangannya sementara Keisya lanjut ke ruangan istirahat untuk mengambil tas.
Keisya keluar lagi sambil menenteng tas tangannya. Belum jauh melangkah, ponselnya berbunyi, membuat Keisya harus menghentikan langkah. Ada nama ‘Sania’ yang tertulis dalam panggilan tersebut. Ia segera merespon dengan menggeser tombol hijau ke samping.
“Halo, Mbak?” sapa Keisya pada wanita di seberang telepon.
“Kei, boleh tolong antarkan Mbak pulang ke rumah?” tanya satu suara wanita dari ujung sana.
Keisya mengernyit. “Hmm … gimana , ya, Mbak …”
“Apa shift kamu belum selesai, ya?” tanya suara itu lagi. Kali ini dengan sedikit ragu.
“Sudah kok. Posisi Mbak Sania ada di mana sekarang?” tanya Keisya dengan menghela napas panjang.
“Di lobi, Kei.”
“Baik. Tunggu aku di sana, ya.”
Setelah memutuskan sambungan telepon, Keisya langsung bergegas menuju parkiran mobil. Untung saja mama dan papanya berangkat menggunakan satu mobil. Jadi, Keisya bisa memakai mobil sang mama untuk berangkat kerja.
“Bismillah,” ucap Keisya, menyalakan mesin mobilnya dan meluncur laju menuju drop point lobi PHI.
Tak lama, Keisya pun bisa melihat Sania yang tengah berdiri menunggunya. Namun, Sania sudah berlari ke arahnya dan membuka pintu samping pengemudi setelah mobil berhenti dengan benar.
“Maaf banget Kei jadi ngerepotin,” ucap Sania sembari mengenakan sabuk pengaman setelah menutup rapat pintu mobil sampingnya.
“Nggak papa kok, Mbak,” jawab Keisya cepat. “Mau langsung pulang, Mbak?” tanya Keisya kemudian.
“Iya, Kei,” balas Sania cepat. “Selamat, ya, Kei! Akhirnya kamu bisa menjadi dokter. Mbak bangga sekali sama kamu. Yah, meski kamu udah putus tunangan sama Dimas juga. Namun, Mbak tetap anggap kamu seperti adik sendiri,” bicara Sania panjang lebar. Ucapannya terdengar cukup ikhlas.
“Makasih, Mbak,” ujar Keisya singkat. Ia memilih untuk menghindar dari topik yang terkait masa lalunya dengan Dimas. “Kapan kontrol susulan?” tanya Keisya kemudian mengubah arah pembicaraan.
“Minggu depan, Kei.”
“Cepat sembuh, ya. Mbak, juga harus jaga kesehatan. Tidak boleh berpikir yang aneh-aneh sampai bisa mengakibatkan stress,” nasihat dari Keisya barusan membuat Sania tertawa lucu.
“Iya, Dokter!” canda Sania dan akhirnya membuat Keisya juga ikutan tertawa kencang.
Setelah itu, tidak ada lagi pembicaraan yang terjadi antara kedua wanita itu. Hingga mobil Keisya berbelok dan masuk ke pekarangan sebuah rumah mewah. Kenangan tiga bulan yang lalu muncul di pikiran Keisya, kenangan di mana ia diusir seperti anjing.
“Maaf, Kei,” cicit Sania yang merasa bersalah, setelah menyadari wajah tegang Keisya.
Sambil berusaha untuk terlihat baik-baik saja. “It’s okay, Mbak. Aku ga papa, kok,” bohong Keisya. Meski di dalam hatinya, luka akibat penghinaan dari Tante Marissa kembali berdarah. Namun, Keisya tidak mau menunjukkan pada semua orang jika dirinya saat ini sedang rapuh.
Setelah mengucapkan terima kasih pada Keisya, Sania akhirnya melangkah keluar dari mobil. Namun sial sekali, sebelum sempat Keisya meluncur pergi dari sana, muncul mobil Dimas dari arah belakang menghalangi jalan keluarnya, membuat gadis itu terpaksa harus berhenti.
“Bisa minggir nggak? Aku mau keluar,” pinta Keisya dengan cara baik-baik.
“Kenapa kamu masih disini lagi, hah? Mau pamer kalau sudah punya pekerjaan?” sarkas Dimas yang masih enggan mengalihkan mobilnya.
“Astaga ... Dimas! Aku ke sini buat nganterin Mbak Sania. Lagian kamu sebagai adiknya kenapa tidak kamu jemput sendiri kakakmu?” semprot Keisya, menatap kesal pada mantannya.
“Alasan! Padahal tujuan kamu mau pamer!”
Dengan tangan yang mengepal di kedua sisi tubuhnya dan napas yang sedikit terengah, Keisya menahan diri untuk tidak meledak dalam amarahnya yang sedang memuncak dan hampir saja melewati ambang kesabarannya. Dengan melayangkan tatapan membunuh, gadis itu kembali angkat bicara.
“Dimas, aku capek karena baru selesai shift jaga malam dan aku mau pulang untuk istirahat. Jadi, aku tidak punya waktu berdebat dengan kamu. Sekarang, minggir atau aku tabrak saja mobil kamu?!” ancam Keisya dengan menegaskan setiap kalimat yang terlontar dari bibirnya.
“Kamu!”
“Dimas! Sampingkan mobil kamu, Mama tidak sudi membiarkan perempuan itu berlama-lama di sini!” Marissa yang baru saja keluar dari dalam rumah menyela pembicaraan Dimas dan Keisya.
“Ma! Keisya itu bukan sengaja mau main ke sini. Itu karena aku yang meminta dia buat nganterin aku pulang!” serobot Sania yang mulai kesal dengan sikap tidak terpuji mama dan adik laki-lakinya itu.
“Lagian kamu punya adik! Punya suami! Kenapa minta diantar pulang sama dia, hah!?”
“Itu karena kalian semua pada sibuk sendiri! Tidak ada yang merespon saat aku menelpon, termasuk mama!” pekik Sania dalam pusaran emosi yang melelahkan. Matanya berkaca-kaca, sementara bibirnya tegang menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
“Mbak, Mbak Sania tidak boleh emosi, sekarang Mbak masuk saja, ya? Aku juga udah mau pulang,” bujuk Keisya yang merasa kasihan melihat Sania yang sepertinya sedang emosi.
“Maafkan semuanya yang terjadi Kei, Mbak malu ….”
“Hush! Udah, udah! Aku tidak memasukkan semuanya ke dalam hati, kok. Mbak bisa hubungi aku kapan saja kalau Mbak butuh pertolongan,” bujuk Keisya lagi dengan memotong cepat ucapan Sania barusan.
Setelah Dimas akhirnya mau mengalihkan mobil yang menghalangi jalan keluar Keisya, Sania juga pun masuk ke rumahnya.
“Sekarang pergi kamu!” usir Marissa pada Keisya.
“Tanpa Tante minta juga saya mau pergi!”
Kali ini Keisya tidak hanya berdiam diri. Sudah cukup selama ini wanita paruh baya itu merendahkan harga dirinya karena berharap tante Marissa bisa berubah. Namun, nyatanya wanita paruh baya itu semakin menjadi dengan sikap materialistik dan sombong. Sungguh membuat eneg melihat wajah arogannya.