Kalau Aku Serius, Kamu Mau Gimana?

1145 Words
“Saat itu saya tidak punya yang mencukupi untuk menyewa sebuah apartment. Tapi kemudian saya melihat ada sebuah lowongan pekerjaan di rumah sakit ayahmu. Saya tidak menyangka akan diterima disana bahkan diberi penawaran oleh beliau untuk tinggal sementara di apartment ini sebagai gantinya.” “Kenapa kamu sampai tidak menyangka? Wajar sekali kamu diterima karena kinerjamu bagus.” “Tapi faktanya adalah orangtua tunggal,” sahut Thea dengan senyuman muram. “Kebanyakan tempat kerja tidak menerima orang yang memiliki tanggung jawab sepertiku. Karena dinilai tidak akan bisa professional dalam bekerja dan jujur saja bagi saya memang sulit. Melakukan banyak hal sendirian tanpa dukungan betul-betul mimpi buruk. Apalagi saya datang kemari juga karena satu alasan.” “Bukannya mudah? Maksudku segalanya berjalan lancar hingga saat ini? hanya perlu membereskan persoalan pengasuhan anak, segalanya akan beres bukan?” ungkap Dieter polos. Sejujurnya dia tidak pernah memikirkan persoalan seperti ini, karena itu pendapat yang dia utarakan juga murni spontanitas karena sebelumnya dia bahkan tidak peduli soal urusan rumah tangga sama sekali. Thea hanya mendesah pasrah, kedua matanya berbinar geli. “Ciri khas omongan seorang bujangan yang tidak punya anak. Percayalah bahwa situasinya jauh lebih rumit daripada yang kamu katakan barusan. Sangat jauh sekali dari baik-baik saja dan tidak beres begitu saja. Bekerja dan mengasuh anak adalah dua hal yang berbeda, itu berarti perlu penyesuaian karena satu tubuh terbelah menjadi dua kewajiban.” “Kenapa seperti itu?” Dieter mencondongkan tubuhnya ke depan, ekspresi wajah yang dia buat sekarang betul-betul penasaran dan penuh dengan tanda tanya besar. “Bukankah saat di tempat kerja kau hanya perlu bekerja, dan begitu Teddy pulang sekolah kamu sudah ada dirumah.” Tidak rumit, membagi peran adalah hal yang biasa bagi Dieter. Malah sangat sederhana. Tapi tampaknya Thea tidak sependapat dengannya dalam hal ini. “Wajar bagimu untuk tidak paham, tapi bagi saya sendiri tidak semua hari berjalan sama dan serapi itu,” Thea menghela napas panjang, kemudian meletakan sumpit yang dia kenakan. “Ada beberapa situasi yang tidak bisa kita tebak terjadi di rumah sakit. Pasien tidak memperhatikan soal jam, dan saya menyadri bahwa kinerja saya cukup buruk bial berhadapan dengan situasi tersebut karena keterbatasan saya. Saya mengecewakan rumah sakit karena tidak bisa memberikan sumbangsih dan loyalitas yang sama besar seperti para perawat lajang lain. Sebab jika ada pasien tambahan saya terkadang sering menolak dan melemparkannya pada perawat lain untuk ditangani. Saya sadar itu adalah sebuah hal yang buruk, saya juga terkadang frustasi. Ada pula situasi dimana Teddy sakit, maka pembagian waktu yang telah dokter Gustav rancang menjadi berantakan karena saya tidak bisa datang ke rumah sakit. Saya terus mengecewakan banyak pihak karena mengkhawatirkan Teddy yang sakit, dan disisi lain saya mengecewakan pasien yang saya tangani.” Dieter kini menutup mulutnya, memandangi wajah cantik Thea seraya mencerna baik-baik perkataan panjang lebar wanita itu dengan sangat cermat. “Aku tidak pernah memikirkan hal itu, maaf karena menganggap enteng peranmu,” akunya pelan. “Tapi aku bisa mengerti bahwa ini adahal pembagian peran dan tanggung jawab yang cukup membuatmu stress.” “Betul,” sahut Thea sambil tertawa singkat. “Untung saja dokter Gustav memiliki pemikiran bijaksana dengan memberikan saya jam khusus untuk bekerja dan semua karyawan di rumah sakitnya sangat suportif dan baik. Itu menjadikan saya kerasan disini. Dia orang paling baik yang pernah aku temui. Seandainya saya tidak bertemu dengan beliau maka saya—” Dia terdiam, sementara Dieter mengerutkan dahi mendengar hal itu dari Thea. Dia membenci keadaan dimana Thea merendahkan dirinya sendiri seperti itu demi memuja ayahnya. Mungkin cemburu? Ya, Dieter cemburu Thea melihat sosok ayahnya sebagai pahlawan sedangkan Dieter butuh banyak sekali pengorbanan dan usaha untuk mendapatkan perhatian didepan Thea sebagai seorang pahlawan. “Asal kamu tahu ayahku tidak menerimamu karena iba. Kamu perawat yang luar biasa, Thea. Dan meskipun aku belum lama mengenalmu, aku sudah bisa melihat bahwa kamu melakukan semua hal dengan sangat baik di jam kerjamu dibandingkan kebanyakan orang yang bekerja dua kali lebih lama. Itu hal yang menakjubkan. Ayahku tidak harus kau lihat sebagai sosok pahlawan,” ujar Dieter panjang lebar. Thea tersenyum simpul. “Saya rasa saya juga pernah mendengar hal yang sama. Ayahmu juga mengatakan hal yang sama persis, tapi—” “Tidak! ini tidak sama karena aku yang mengatakannya. Oh, dan juga tidak ada tapi. Jangan mencemaskan hal yang belum terjadi, juga tetaplah percaya diri. Aku lebih suka kau yang seperti itu. Kalau untuk urusan Teddy yang tiba-tiba sakit aku bisa membantumu karena aku adalah dokter. Kita bisa menghadapinya bersama. Malah segalanya akan jadi lebih mudah kalau kita berdua yang jalani.” Mata Thea membelalak. “Kita?” Dieter berdeham, sama terkejutnya dengan Thea karena mulutnya secara sembarangan mengatakan sesuatu yang diluar kendali cuma gara-gara cemburu pada ayahnya yang dipuja oleh Thea. Apa sih sebenarnya yang dia rencanakan? Mestinya dia baca situasi dan paham betul kalau Thea ini statusnya masih istri orang dan belum resmi berpisah dari si b*****h. Ingin merangsek masuk ke dalam rumah tangga orang dan membahagiakan istri anaknya? Mendadak Dieter menyadari bahwa dia bisa saja melakukan hal itu, seandainya bisa dan Thea tidak keberatan menerima bantuannya. Pebinor? Tidak masalah dia di cap begitu. Suruh siapa si b******n tidak menjaga istrinya dengan baik dan malah pergi tanpa pamit kan? “Kamu bagian dari tim kami, Thea. Aku yakin semua orang berpikir sama sepertiku.” ujar Dieter berupaya sebisa mungkin agar membuat perbincangan ini tidak ambigu, sekaligus tidak membuat Thea makin menjaga jarak darinya. Sejujurnya Dieter memang tulus dan ingin membantu, tapi kalau dia bilang ini inisiatifnya pasti Thea tidak akan mau terima. “Bukan hanya aku, tapi salah satu dari kami pasti akan membantu, dan kalau memang perlu aku bisa menjadi salah satu dari orang yang bersedia menjaga Teddy.” Raut muka curiga mulai beralih kembali santai, Thea tertawa lirih seraya menggelengkan kepalanya pelan. “Apa yang akan kamu lakukan? Mengajaknya melakukan pemeriksaan pasien saat sedang bertugas?” Dieter mempertimbangkan ide gila itu dalam hati. “Ya, kalau tidak kita bisa kan menidurkan dia di ruang resepsionis bersama Ranti. Aku yakin Ranti tidak akan keberatan, lagipula dia pernah melakukan hal yang sama untuk adikku yang sakit.” “Tidak, jangan libatkan orang lain. Dia punya banyak tugas dan kamu pun sama.” Thea menepis dan mulai tertawa. “Terima kasih atas usaha dan penawaranmu utnuk membantu saya. Tapi ini sudah lebih dari cukup, sisanya biar saya yang urus karena ini bukan ranah anda mencampuri urusan saya, dokter Dieter.” Dieter memandang ke arah dua bola mata wanita itu yang kini terlihat dua kali lipat lebih serius. Keanggunan, dan betapa elegannya Thea saat ini membuat Dieter begitu terpesona. Dia jauh lebih cantik dua kali lipat daripada figurnya beberapa saat yang lalu. Berpikir bahwa pasti akan jadi lebih luar biasa lagi bila Thea bisa memberikannya sebuah senyuman manis untuk dia lihat setiap hari. Itu akan jadi surga untuknya. “Kalau aku serius dan ingin menjadikanmu sebagai urusanku, kamu mau bagaimana Thea?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD