Not Bad But Not Good

1438 Words
“Kamu pernah muncul di televisi?” Thea tergelitik untuk bertanya dan mereka masih berada di ruangan yang sama dengan pasien. “Begitulah,” sahut Dieter, jelas tidak mau memberi penjelasan lebih lanjut. Bahkan bisa dibilang dia tidak begitu antusias dengan itu. “Kamu tidak menontonnya?” Ibu dari si gadis cilik tampak terkejut karena ketidaktahuan Thea yang mengkonfirmasi hal tersebut kepada Dieter. “Semua orang menontonnya, Thea.” “Kurasa tidak semua orang karena saya tidak menontonnya,” ujar Thea kemudian sedikit memberikan sanggahan dan itu merupakan sebuah kejujuran. Dieter terkekeh mendengar jawaban polos dari si perawat cantik bertubuh mungil tersebut. “Dokter Dieter pernah mengisi sebuah acara ‘Dr.D’ yang tayang setiap malam senin di televisi. Acara yang terbilang menarik karena membahas seputar masalah kesehatan, pencegahan, sekaligus penanganan pertama untuk beberapa penyakit sebelum dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi darurat. Kurasa karena acara tersebut pula dokter Dieter menjadi sangat terkenal. Tapi sayangnya acara tersebut sudah tidak seseru saat dokter Dieter yang menjadi pengisi acaranya. Aku tidak tertarik dengan dokter yang baru,” jelas ibu dari pasien tersebut dengan panjang lebar seolah Thea perlu tahu secara mendalam soal itu. Thea hanya menyimak apa yang dikatakan oleh ibu itu sebagai tanda bahwa dia menghargainya. Dieter sendiri tidak terganggu dengan itu, dia justru lebih fokus kepada si gadis cilik yang tampaknya sedikit ceria karena rupanya Dieter cukup bagus mengatasi anak kecil. Mereka bisa nyaman satu sama lain dan itu adalah yang lebih dari luar biasa untuk ukuran seorang dokter muda. “Sudah lima hari dia demam tinggi, dan dia rewel sekali. Aku pusing menghadapinya,” ujar si ibu yang mulai menjelaskan perihal kondisi putrinya ketika Dieter memeriksa kondisi mulut dan juga mata dari si gadis cilik. “Apa dia terserang diare?” “Ya, beberapa kali dia sering bolak balik kamar mandi,” sahut si ibu lagi tapi kali ini dia tampak mengerutkan dahi. Kekhawatiran jelas terlihat dari wajahnya yang ayu. “Menurut Anda putriku sakit apa?” Dieter meluruskan punggungnya di kursi, setelah melakukan beberapa pemeriksaan. “Ada banyak kemungkinan,” sahutnya dengan lembut dan berusaha sebaik mungkin menjelaskan dengan intonasi yang ramah sehingga tidak memberikan kepanikan kepada si Ibu. “Suster Thea sempat mendiskusikan kepadaku salah satu kemungkinan dari penyakit putri Anda. Tapi sayangnya kami tidak bisa mendiagnosisnya begitu saja. Aku menyarankan putri Anda melakukan beberapa tes untuk meyakinkan kami.” “Tes apa, Dokter?” Si Ibu tampak kaget. “Sebagian besar tes darah,” jelas Dieter lugas. Namun ekspresinya yang panik dan bingung karena cemas membuat Thea sedikit merasa bersalah. Dia bisa memahami perasaan Ibu itu sekarang. “Aku tadinya cuma memintamu memeriksa mengapa bibir anakku berubah warna juga kukunya.” Si Ibu mengigit bibirnya. “Aku tidak mengira kalau—” “Barangkali itu bukan apa-apa. Kami hanya perlu darahnya diambil saja. Ibu harus tenang ya,” sela Thea pelan. “Lebih baik kita lakukan anjuran yang dokter Dieter katakan. Saya yakin bahwa putri Anda tidak apa-apa.” Selesai dengan itu, mereka kemudian langsung melakukan langkah mengambil sample darah yang selanjutnya segera di setorkan kepada laboratorium untuk diperiksa. Karena proses yang cukup lama, Thea menganjurkan mereka untuk rawat inap tapi si ibu menolak dan lebih memilih untuk pulang dan beristirahat dirumah. Sempat terjadi sedikit perdebatan, tapi karena si ibu keukeuh untuk membawa pulang putrinya, maka rawat inap tidak dijadikan sebagai keputusan final. Thea membantu prosesnya dan mengikuti wanita itu ke area parkir setelah diputuskan mereka akan pulang dan menunggu hasilnya. Dieter sendiri tak lama menyusul dan berjalan melintasi area parkir untuk sekadar menyerahkan selembar kertas yang adalah kartu namanya sendiri kepada si ibu. “Jika sesuatu terjadi tolong hubungi nomor ini. Itu adalah nomor pribadi jadi Anda bisa langsung terhubung denganku. Jangan sungkan jika Anda butuh bantuan. Aku sangat berharap bahwa putri Anda tidak apa-apa.” “Terima kasih, dr. Dieter.” Ibu itu telah duduk di kursi kemudi lalu memundurkan mobil dengan hati-hati keluar dari area parkir sementara Dieter dan Thea mengawasi kepergian mereka hingga mobil tersebut tidak lagi terlihat. Wajah Thea tampak sedikit muram. “Padahal seharusnya bisa bisa ditangani lebih cepat bila dia tidak menolak rawat inap. Aku merasa bersalah,” gumam Thea lebih untuk dirinya sendiri. “Kamu sudah melakukan pekerjaanmu dengan baik, tidak ada yang perlu disesalkan, si ibu yang bersikeras membawa putrinya pulang,” sahut Dieter blak-blakan sembari mengamit lengan Thea dan membimbingnya kembali ke klinik. “Cepat masuk, ada banyak hal yang perlu dikerjakan di dalam.” “Apa menurutmu dia betul-betul terkena pneumonia?” Dieter mengerutkan dahi. “Mungkin saja. Dilihat dari pemaparanmu dan bagaimana kamu tahu perkembangan anak itu, menurutku mungkin saja diagnosismu akurat. Aku sejujurnya terkesan.” Wajah Thea merona di bawah tatapan hangat Dieter. Pemuda itu serta perlakuannya sekarang jauh berbeda dengan bayangan yang telah dia sematkan kepadanya dan sejujurnya Thea menjadi merasa sedikit bersalah kepadanya tentang itu. Beberapa saat yang lalu dia berpikir bahwa mustahil mereka bisa berkerja sama, tapi sekarang tampaknya dia tidak seburuk itu malah performanya nyaris menyamai Dr. Danuja yang telah lama bergelut dalam bidang ini. Yang pasti, Thea hanya perlu memperlakukannya sebagai seorang dokter dan rekan kerja yang solid. Bukan memandangnya dengan cara berbeda atau menganggap dia pria dewasa karena usia Dr. Dieter pastinya jauh lebih muda darinya. Tetapi masalahnya disini adalah dia belum pernah bekerja sama dengan seorang dokter muda yang memiliki senyuman dengan pengaruh kuat terhadap pernapasan dan detak jantungnya seperti ini. *** “Kenapa kamu tidak mengabari dulu kalau kamu mau datang? Kalau tahu kamu datang aku mungkin akan mempersiapkan sesuatu untukmu.” Sang nyonya rumah baru, Rike. Seorang wanita yang dinikahi oleh ayahnya sejak dia lulus sekolah SMA dan memilih melanjutkan pendidikan di Amerika. Hingga detik ini Dieter tidak pernah bisa menganggapnya sebagai nyonya rumah. Meskipun wanita itu telah berada di kediamannya bertahun-tahun lamanya. Dieter sempat mencuri pandang pada seorang tamu laki-laki yang tidak pernah dia lihat dan bagaimana terkejutnya Rike tatkala menyadari kehadirannya di rumah itu saat dia pulang. Apa yang ayahnya pikirkan saat menikahi perempuan itu? “Kenapa harus repot-repot? Aku kemari hanya ingin bertemu dengan adikku. Sebaliknya, bukankah kamu punya tamu yang harus kamu layani?” sahut Dieter menyeringai pada wanita itu sambil menatap sang tamu pria yang usianya mungkin lebih tua sedikit darinya tapi lebih muda dari ibu tirinya. “Oh ya, kamu mengurus adikku dengan baik kan? dia tidak kelaparan kan? Padahal aku ingin sekali membawanya tapi Ayah pasti tidak akan suka kalau aku membawa Cheryl bersamaku. Apa kamu senang karena ketiadaanku dirumah ini? pasti menyenangkan berfoya-foya dengan uang Ayah hanya dengan cara membuka kedua kakimu untuknya,” jelas Dieter yang cukup provokatif untuk menarik kemarahan. Lucunya, bukan Rike yang bereaksi atas hal itu melainkan tamu laki-laki yang datang berkunjung. Ekspresi yang dia buat terlihat kesal pada Dieter. Tapi siapa dia? Kenapa dia harus marah? Ini sangat menarik. “Kamu masih saja bermulut pedas. Kapan kamu akan menerima kenyataan kalau ibumu sudah mati? Aku adalah ibumu sekarang jadi hormatilah aku. Meski sudah lebih dewasa kamu masih saja seperti berandalan. Pantas saja Ayahmu selalu mengeluh tidak ada perempuan yang mau menikah denganmu. Caramu bicara padaku saja tidak sopan. Mestinya kamu sadar kalau aku—" “Kenapa? Menurutku kakakku terlihat seksi dibandingkan berandalan yang kau bicarakan. Terutama dia lebih baik dari tamu laki-laki yang kau bawa ke rumah ini, Rike.” Cheryl, adik perempuan Dieter yang sepertinya baru pulang dari sekolahnya tiba-tiba saja memotong perkataan Rike. Ujaran yang terbilang kasar itu membuat si wanita tampak kesal dan hasilnya dia menggandeng keluar laki-laki itu dari rumah mereka. Melewati Cheryl dengan sedikit mendepak bahunya. Dieter menatap adiknya dan terkekeh. Merasa bangga sebelum akhirnya memeluk gadis itu erat-erat di pelukan. “Selamat datang di rumah, Kak Dieter. Aku merindukanmu.” “Tadi itu narasi yang bagus, Cheryl.” Dieter mengedipkan sebelah matanya pada sang adik. “Aku hanya mengatakan apa yang terlihat, kamu memang terlihat seksi kok, dan pendapatku mewakili sembilan puluh persen dari populasi wanita di dunia,” kata Cheryl. “Sepuluh persennya lagi?” tanya Dieter setelah melepaskan pelukannya. “Sepuluh persennya lagi mengatakan kau cocok menjadi mempelai pria mereka,” jawab Cheryl yang membuat tangan kakaknya langsung terangkat dan mengacak pelan rambutnya. “Kau memang adikku yang paling baik,” puji Cheryl. “Ngomong-ngomong siapa laki-laki tadi?” tanya Dieter yang sedikit tergelitik untuk mengetahui tamu tak diundang di kediaman mereka. “Entahlah, tapi yang jelas dia sering kemari. Kadang masih mengenakan pakaian perawat juga, tapi disaat Ayah kerja lembur dia akan datang menjemput. Aku jijik dengan kelakukannya. Aku pernah bilang pada Ayah, tapi dia tidak percaya dan malah memarahiku. Dia memihak pada si jalang itu!” celoteh Cheryl penuh semangat dan berapi-api yang kontan langsung membuat Dieter mengerutkan kening.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD