Dieter dipikiran Thea

1362 Words
Sebelum berangkat kerja, Thea menyempatkan diri untuk mengunjungi tetangganya yang sudah lansia. Hanya sekadar untuk memastikan kondisi wanita itu sudah jauh lebih stabil dari terakhir kali. “Halo, saya kemari karena ingin melihat keadaanmu,” ungkap Thea ketika si wanita tua membukakan pintu untuknya. Dia tidak banyak bicara, selain menganggukan kepala dan kemudian mempersilahkan Thea untuk masuk ke dalam rumahnya. Pagi ini kebetulan sedikit berangin dan agak hujan rintik sehingga cuacanya jauh lebih dingin dari biasanya, tapi rumah wanita tua ini justru sangatlah hangat, rapi, dan nyaman untuk ditinggali. Bisa disimpulkan bahwa meski tidak lagi muda dia sangat pandai merawat diri. “Aku baik-baik saja, setidaknya aku ingin terlihat seperti itu paling tidak di depanmu dan juga anak-anakku,” aku sang wanita kemudian yang mempersilahkan Thea untuk duduk di ruang tamunya yang sederhana. Ketika Thea melihat wajahnya menampakan banyak gurat lelah dan juga kesepian. “Apa kamu tahu kalau aku dan suamiku hanya diberi waktu sepuluh tahun untuk bersama?” Thea menggelengkan kepala, dia tahu bahwa kini pasien lansianya mulai membicarakan mendiang suaminya lagi. “Saya tidak tahu. Anda belum pernah menceritakan sedetail itu kepada saya sebelumnya.” “Kamu tahu Nak, saat kita ditinggalkan pasangan hidup di usia tujuh puluhan, orang lain kebanyakan akan menganggap bahwa kami telah hidup bersama selamanya. tetapi tidak demikian dengan aku dan mendiang suamiku,” tutur wanita itu pelan. Dia memegang cangkir teh di tangan dengan asap yang masih mengepul, Thea sendiri menyimak perkataan wanita itu dengan cermat. Tidak berani memotong atau bahkan menjawab. Membiarkan wanita itu menyelesaikan rangkaian kisahnya hingga usai. “Asal kamu tahu, Nak Thea. Sebelum bersama dengan mendiang suamiku yang sekarang aku pernah menikah dengan orang lain dan aku pikir saat itu aku sudah cukup bahagia. Setidaknya menurutku. Aku tidak pernah tahu bahwa ada kehidupan dengan babak baru yang hendak dimulai saat dia meninggal dan aku kemudian bertemu dengan meninggal suamiku yang sekarang. Kemudian aku menyadari apa yang tidak pernah aku dapatkan dari suamiku terdahulu, dan suamiku yang sekarang dia menyempurnakan seluruh kisah dalam hidupku.” Ketika cerita itu meluncur dari bibirnya, Thea bisa melihat matanya yang berkaca-kaca dan juga genangan air di pelupuk mata. Sejatinya sedikit sulit bagi Thea untuk tidak terpengaruh emosi akan hal itu. Namun Thea tetap bertahan. “Bisa dibilang kisahku dan dia nyaris seperti dongeng. Kamu mungkin tidak akan percaya bila aku katakan bahwa kebahagiaan sejatiku justru aku temukan saat aku sudah masuk usia enam puluh.” Thea menggigit bibir bawahnya dia merasa ada gumpalan mencekat di tenggorokannya. Kisah itu nyaris familiar tapi tidak seragam dengan miliknya. “Ini pasti sangat sulit bagi Anda, terlebih karena kalian belum lama hidup bersama,” ujar Thea pada akhirnya. Wanita tua itu hanya tersenyum sendu. “Aku pribadi lebih memilih menjalani hidup bersama dengan pria yang sungguh-sungguh aku cintai dibandingkan hidup dengan seorang pria yang tidak mencintaiku. Seumur hidup terlalu lama bila bukan dengan orang yang tepat. Setidaknya sepuluh tahun itu sudah cukup bermakna.” Wanita itu kemudian terisak pilu, dia jelas sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi dan larut dalam kisah sedihnya. “Sebagian besar orang menjalani hidup tanpa pernah tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya benar-benar dicintai. Aku bersyukur mendapatkan keduanya, tapi setelah aku kehilangan aku tidak sanggup hidup tanpa dia. Aku seolah melihat dia dimana-mana, di ruangan ini, di taman, di kamar tidur kami ….” Thea secara refleks melingkarkan sebelah tangannya ke bahu wanita itu dan mengelusnya dengan sayang. “Apa putri Anda pernah datang berkunjung?” “Oh ya, dia sesekali datang kemari. Dia sangat baik.” Wanita itu menghapus air mata dan tersenyum sedikit. “Terakhir dia bilang padaku untuk ikut dan tinggal bersamanya.” “Anda bersedia?” “Entahlah, tempat itu terasa asing walau itu rumah anakku,” sahutnya pelan. “Mungkin saja aku akan mempertimbangkan untuk pergi, tapi aku tidak yakin bisa meninggalkan rumah yang penuh kenangan ini. Memang menyakitkan, tapi aku juga tidak bisa hidup bila tanpa kenangan itu.” Thea menganggukan kepala, memberikan respon persetujuan. “Kalau begitu, Anda tidak usah buru-buru memberikan keputusan. Pikirkan yang terbaik untuk Anda. Jangan khawatir, saya akan sering berkunjung untuk memastikan kondisi kesehatan Anda.” Wanita tua itu lantas menatap Thea lekat-lekat. “Kamu ini wanita yang baik hati, menyempatkan waktu untuk menengok nenek cerewet sepertiku saat kamu sendiri sangat sibuk.” “Saya tidak sesibuk itu kok,” kilah Thea berdusta. “Sebenarnya saya mau berkunjung kemarin, tapi saya terpaksa tidak melakukannya karena ada hal darurat yang saya tangani. Maaf ya.” “Aku bisa membayangkannya, sebenarnya datang kemari bukanlah kewajibanmu. Aku justru merasa terharu karena kamu mau menengok kemari tiap punya waktu luang,” komentar si wanita tua. “Siapa lagi pasien daruratmu saat itu?” Thea sedikit muram mengingat kejadian si gadis cilik yang terlambat mendapatkan perawatan kemarin. “Seorang gadis cilik, mudah-mudahan dia sudah ditangani kemarin. Untungnya, putra sulung Dr. Gustav membantu saya merawat gadis cilik itu. Jadi dia sudah mendapatkan penanganan terbaik.” “Ah, dokter muda itu. Kalau tidak salah namanya Dieter kan?” wajah si wanita tua tiba-tiba menjadi sedikit lebih melembut. “Bocah itu, dari yang aku tahu dari televisi pacarnya lebih banyak daripada jumlah jari tangan dan kakiku. Tapi dari semua wanita yang dekat dengannya tidak ada tanda-tanda bahwa dia mau menikah dengan salah satu perempuan yang dia kencani. Dia pasti yang membuat rambut ayahnya cepat berubah. Meski begitu, selebihnya dia bocah yang sangat baik.” Bocah? Dieter sama sekali tidak terlihat seperti bocah, renung Thea. Kini dia sudah keluar dari rumah si wanita tua dan segera berangkat ke rumah sakit dengan berjalan kaki menuju halte bus terdekat. Isi kepalanya berputar soal Dieter dan komentar dari sang pasien lansia. Bagi Thea, Dieter memang masih muda tapi jelas-jelas dia adalah pria dewasa. Seluruh jengkal tubuhnya memperlihatkan hal itu dan bagaimana dia bersikap ketika bekerja sudah cukup menunjukan seberapa mumpuninya dia. Memang bukan hal yang mengejutkan pula saat Thea tahu tentang seberapa buruknya dia dalam berhubungan dengan wanita. Bukan soal memperlakukan, tapi lebih pada sangat payah soal komitmen yang jelas dan serius tentang sebuah hubungan dengan ikatan sakral. Namun berdasarkan pengalaman Thea yang terbatas, baginya itu wajar karena semua pria barangkali seperti itu. Seperti dirinya yang adalah korban atas seberapa payah seorang pria terhadap komitmen hubungan. Membuatnya terlunta-lunta tanpa status jelas hingga nekat datang ke Bandung sendirian untuk mencari penghidupan. Ketika tiba di halte bus, tak lama yang dinanti menampakan diri. Wanita itu langsung masuk dan segera menghapus seluruh pemikiran masa lalu. Dia harus tetap fokus pada kehidupan baru, mencari petunjuk dan pelan-pelan mencari tahu. Meski belum terlihat hasilnya tapi siapa tahu akan segera terkuak. *** “Ibu dari pasein cilikmu kemarin menghubungiku, dan memberitahu soal kondisi putrinya. Diagnosismu akurat. Gadis cilik itu terkena pneumonia. Terus terang aku terkesan denganmu, tapi disaat yang sama merasa prihatin dengan kondisi gadis cilik itu.” Saat itu menjelang makan siang, dan Dieter tiba-tiba saja mendatangi Thea yang sedang melahap makan siangnya di kafetaria. “Oh.” Terus terang Thea tidak tahu harus berkomentar seperti apa. Dia langsung merona mendengar pujian dari Dieter dan sedikit salah tingkah karena mendapati adanya sorot mata penuh kekaguman dari pria itu. Tapi Thea segera menepis semua itu dengan mengingatkan dirinya sendiri bahwa Dieter tidak ada bedanya dengan Dr. Gustav dan Dr. Danuja. Mereka hanya sebatas rekan kerja. Tapi tentu saja, itu jadi terdengar seperti omong kosong dan pembelaan yang lemah. Sebab jujur saja, sosok Dieter ini sangat jauh berbeda dari pembanding yang ada di dalam kepalanya. Sejak pertemuan pertama mereka yang aneh, dan saat Thea melihat bagaimana cara kerja Dieter sebagai dokter saat itu pula dia dipengaruhi oleh pria itu dan hal tersebut cukup untuk membuatnya merasa cemas sekaligus bingung. Dia menatap pria itu dan sejak membuka topik soal pasien dia tidak henti buka suara dan menceritakan apa saja. Thea memperhatikan penampilan Dieter hari ini. Pria itu mengenakan celana panjang berpotongan rapi berwarna gelap dengan sweater berwarna denim dengan kerah tinggi. Apakah penyebab mengapa Thea terpengaruh adalah karena pria itu amat sangat tampan tak tertolong? Para pasien wanita kerap membicarakan Dieter dan semua bilang kalau Dieter adalah tokoh yang terkenal di masyarakat. Apakah yang Thea rasakan sekarang ini hanyalah sekadar dari bentuk kekaguman khas wanita normal tatkala menghadapi pria keren mapan yang terkenal?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD