“Dia adalah perempuan yang nyaris aku tabrak semalam. Itu adalah pertemuan pertama kami.”
“Dimana kamu menabraknya? Dia tidak apa-apa kan?”
“Untungnya tidak apa-apa dan kejadiannya tidak jauh dari persimpangan rumah sakit,” sahut Dieter.
Sementara para pria berfokus pada situasi jalanan, Ranti lebih tertarik menyikut Dieter yang bisa lolos dari introgasi hanya dengan sedikit bumbu pengalih. “Ngomong-ngomong dia cantik tidak?”
“Eh?” Dieter sedikit bingung dengan pertanyaan mendadak dari si resepsionist bertubuh gitar spanyol itu.
“Perempuan itu, dia cantik tidak?” Ranti kembali memperjelas pertanyaannya.
Dieter tiba-tiba langsung memamerkan seringainya. Senyuman yang begitu lebar. “Sangat,” ujarnya singkat.
“Kamu suka pada dia?” tebak Ranti kembali mengorek informasi.
“Aku tidak bisa bilang tidak.”
“Astaga, cinta pada pandangan pertama!” pekik Ranti yang membuat perhatian para dokter pria kembali beralih padanya. Menatap Ranti dengan penuh tanda tanya atas teriakannya yang mendadak. “Dieter jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap wanita yang nyaris dia tabrak. Gila ini sungguh gila, kejadian di dalam film benar-benar terjadi pada kehidupan orang sepertimu. Sungguh menarik,” jelas Ranti yang begitu menggebu-gebu, penuh semangat menambahkan bumbu dramatis terhadap pernyataannya.
“Benarkah itu?” Gustav sang ayah langsung tak kalah bersemangat dari Ranti. Pria paruh baya itu langsung mendekat dan memberondongi putranya dengan banyak pertanyaan. “Siapa namanya? Apa pekerjaannya? Apa dia tinggal di kota ini? berapa umurnya? kamu sudah minta nomor telepon dan alamat rumahnya?”
Dieter hanya bisa pasrah dan menarik napas dalam-dalam. Dia sungguh tidak mengira bahwa ayahnya akan bereaksi begitu heboh hanya karena hal seperti ini. Tapi, mestinya Dieter sudah bisa menduga mengingat antusiasme ini sudah terjadi sejak Dieter digosipkan dengan banyak perempuan di Amerika ketika dia menuntut ilmu dan magang disana. Tapi berhubung sekarang pikirannya tertumbuk pada si gadis berambut hitam, dia jadi melupakan banyak detail seperti ini.
“Aku tahu namanya, dan tahu pekerjaannya. Hanya saja aku tidak tahu apakah dia tinggal di kota ini atau tidak. Aku juga tidak sempat meminta nomor telepon dan alamatnya, karena dia buru-buru pergi saat aku mengajaknya bicara. Dia terlihat tidak mau dekat-dekat denganku,” jawab Dieter jujur sembari mengingat moment pertemuan pertama mereka malam itu.
“Baru kali ini aku dengar kisah dimana ada perempuan yang tidak mau dekat-dekat denganmu,” ujar Arfan menanggapi sambil menaikan sebelah alis. “Dia pasti sangat hebat sampai tidak terpengaruh oleh rayuan gombal murahanmu.”
“Justru itu point penting dari pesona seorang wanita,” sahut Ranti berkomentar, lalu arah pandangnya kembali pada Dieter. “Kurasa sekarang kamu perlu usaha sedikit ekstra untuk mendapatkan moment pertemuan kedua dengannya.”
“Sebenarnya tidak perlu karena aku sudah bertemu dengan dia lagi pagi ini.” Senyum kecil muncul dari wajah Dieter saat memikirkan kemungkinan untuk mendekati Thea setelah dia keluar dari ruangan ini. Dia bisa membayangkan ekspresi terkejut gadis itu saat mengetahui bahwa Dieter adalah seorang dokter muda tampan yang otomatis menjadi atasannya. Memikirkan hal itu membuatnya jadi makin tidak sabar.
“Dimana?”
“Disini.”
“Disini? maksudmu di rumah sakit ini? Dia salah satu pasien?” kali ini Dr. Danuja yang kalem tampak ingin ikut dalam perbincangan.
“Bukan pasien. Dia seorang perawat. Perawat di rumah sakit ini.”
“Perawat di rumah sakitku?” Gustav menggumam, sedikit berdehem untuk mulai mengingat satu persatu dari beberapa perawat lajang dirumah sakit yang dia pimpin. Kemudian entah mengapa feeling pria itu mengingatkan dia pada satu perawat yang kemarin dia ajak bicara. “Apa maksudmu, Thea? Apa wanita yang sedang kamu bicarakan sejak tadi adalah Thea?”
“Ya. Dia bilang namanya Thea.”
Jawaban Dieter kontan langsung membuat raut muka dari keempat orang lainnya di ruangan itu berkerut. Ekspresi super serius mereka agak terlihat sedikit menyeramkan, membuat Dieter mempertanyakan reaksi mereka yang terkesan tidak ramah. Dieter menatap mereka semua bergantian, sorot mata si pemuda dipenuhi tanda tanya besar. “Apa ada masalah? Kenapa raut wajah kalian berubah drastis begitu?”
“Sudahlah Dieter, lupakan saja usahamu. Lagipula dia bukan tipemu,” jawab Ranti cepat sambil menggelengkan kepala. “Aku ingatkan untuk tidak mendekatinya, kamu hanya akan membuat dia tidak nyaman,” tambahnya lagi dengan penuh penekanan.
“Kenapa begitu? Apa dia sudah bersuami? Kenapa aku harus melupakan dia?” sanggah Dieter tidak setuju. Dia merasa aneh dengan cara Ranti menatap matanya sekarang. Kilatan yang tidak familiar itu sedikit banyak membuat Dieter tidak nyaman. “Bagiku dia adalah tipeku. Jika dia masih lajang aku berhak mendekatinya.”
“Tidak!” Ranti menggelengkan kepala dengan tegas. “Dia tidak cocok untukmu. Thea tidak akan bisa tahan bersamamu.”
“Kenapa tiba-tiba menghakimiku? Biarkan saja dia yang memutuskan soal itu.”
“Jangan coba-coba Dieter. Memikirkannya pun jangan! Menyerah adalah hal yang terbijak yang bisa kamu ambil.”
Sayangnya Dieter si pemuda berdarah panas tentunya tidak akan langsung mau mengikuti apa kata orang. Satu-satunya hal yang terlintas di kepalanya adalah bagaimana saat dia menyentuh kulitnya, bagaimana ekspresinya, dan juga suaranya. Dia sudah kepalang jatuh cinta.
“Dia datang kemari untuk mendapatkan kedamaian, sekaligus untuk menyelesaikan urusannya. Jika kamu tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya kamu hanya akan menganggu.” Dr. Danuja angkat bicara, pria paruh baya itu terlihat serius dan menatapnya dengan ekspresi yang sama seperti Ranti. Hanya saja penyampaian itu jauh lebih tenang sehingga Dieter bisa menangkapnya dengan lebih positif. “Jadi biarkan dia, dia sedang tidak membutuhkan tambahan masalah darimu.”
Dieter menatap mereka berdua bergantian. Ayahnya tidak berkomentar, begitu juga dengan Arfan. Hanya saja dari cara Dr. Danuja dan Ranti mati-matian menyuruhnya untuk berhenti. Hal itu cukup mengganggu pikirannya. Mengapa kedua orang itu terkesan begitu protektif terhadap Thea? Bahkan Ayahnya saja tampak mati-matian protektif kepada salah satu pekerjanya yang satu itu.
“Aku tidak pernah berniat memberinya masalah.”
“Tentu saja kamu tidak berniat begitu, kamu hanya punya niat memacari dia untuk sementara waktu, lalu saat kamu bosan kamu mematahkan hatinya,” sahut Ranti sinis. “Lupakan saja dia, kalau kamu berani menyentuh dia, maka aku adalah orang pertama yang akan maju untuk menghajarmu. Thea bukanlah perempuan yang bisa kamu sentuh. Dia tidak pantas disakiti.”
Mata Dieter langsung berkilat marah, dia sungguh tidak terima dengan tuduhan yang pedas dari Ranti. Tinjunya terkepal di kedua sisi tubuh. “Aku tidak pernah punya niatan untuk menyakitinya.”
“Memang. Tapi jika bersamamu dia jelas akan tersakiti, Dieter. Jadi aku mohon padamu, jangan dekati dia,” mohon Ranti.
“Ada apa sebenarnya dengan kalian ini? belum lama kalian heboh mengorek siapa perempuan yang telah memenangkan hatiku. Lalu setelah aku memberitahukan kepada kalian siapa yang aku maksud kalian mati-matian menyuruhku untuk berhenti mendekati Thea. Ada yang bisa menjelaskan secara pasti mengapa aku tidak boleh mendekatinya?” Dieter menatap mereka satu persatu, lalu kemudian terhenti pada ayahnya yang memiliki ekspresi paling suram diantara yang lain. “Ayah?”
Tepat diantara ketegangan tersebut, seorang perawat masuk dan mengetuk pintu. “Ada dua panggilan mendesak, Thea membutuhkan seorang dokter untuk memeriksa keadaan pasiennya.”
“Masukan panggilan itu dalam daftarku,” ujar Arfan sambil berdiri dari tempatnya.
“Aku akan mengurus panggilan yang satunya,” kata Dr. Danuja yang juga bergegas pergi dari posisinya.
“Aku akan kembali ke posisiku,” tambah Ranti yang juga pergi mengikuti kedua orang yang telah lebih dulu menghilang.
Dieter hendak mengikuti mereka, tapi Gustav melarang putranya untuk bertindak. Dia mengerutkan dahi, mencoba untuk menenangkan situasi. “Dieter ….”
“Apa? aku juga dokter disini. Aku harus memulai pekerjaanku sesegera mungkin. Bukankah itu yang kamu katakan? Ini saat yang tepat untuk memulainya. Aku akan pergi menangani pasiennya Thea.”
“Dieter, kamu harus mendengarkan ayah. Aku tahu kalau kamu tidak setertarik itu kepada Thea, dan apa yang dikatakan oleh Danuja dan Ranti adalah benar. Dia bukan tipemu.” Nada bicara ayahnya tiba-tiba menajam. “Kamu tidak boleh menganggu dia.”
Dieter menatap wajah sang ayah dengan intens. “Kalau begitu beri aku penjelasan yang akurat mengapa aku harus menuruti kalian? Adakah alasan masuk akal atas larangan ini?”
“Kamu tidak membutuhkan Thea, Nak. Sama halnya seperti dia yang tidak membutuhkanmu.”
“Hanya itu? tidak ada penjelasan lebih lanjut?”
Gustav mendesah, putranya mengingatkan dia pada sang istri yang begitu keras kepala. Tapi bagaimana pun juga, dia punya tanggung jawab untuk mempertahankan kenyamanan di lingkungan kerja. Termasuk menahan putranya untuk bertindak bodoh. “Thea tidak ingin kami mencampuri urusan pribadinya dan tidak ingin kami bertanya. Kami semua paham dan menghargai keputusannya. Meski aku kurang lebih tahu, tapi aku perlu menjaga janji kami. Tapi yang perlu kamu ingat adalah mustahil bagi wanita sepertinya menginginkan pria sepertimu.”
Dieter menyipitkan matanya. “Pria sepertiku? Apa maksudmu?” Dia menunduk untuk melihat dirinya sendiri. “Apa yang salah denganku? Aku adalah seorang pemuda normal yang jatuh cinta. Aku tidak menderita gangguan apa-apa yang bisa membuat dia kesulitan dan terbebani. Aku pria yang sehat.”
“Aku tahu. Memang tidak ada yang salah padamu.” Pria itu tersenyum lemah menatap postur tegap putranya yang diatas rata-rata bahkan nyaris sempurna. “Sama sekali tidak ada yang salah.”
“Lalu kenapa?”
Gustav mendesah seraya menggelengkan kepala. “Dia tidak menginginkan siapa pun masuk ke dalam kehidupan pribadinya, Dieter. Sekarang aku peringatkan kamu untuk tidak berani mendekatinya. Aku tidak mau kamu bermain-main dengan dia. Dia sudah cukup mengalami banyak hal. Jadi tolong, jangan buat dia terbebani lagi dengan perasaan yang kamu punya untuk dia.”
Memangnya apa yang sebenarnya telah wanita itu alami hingga terdapat tembok yang sangat tinggi?