Pertemuan Dieter dengan Anak Thea

1315 Words
Dieter mengemudikan mobil milik ayahnya dengan lihai menyusuri jalanan kota, memanfaatkan dengan baik ingatannya setelah Thea mengatakan dimana anaknya bersekolah. Dieter semestinya sudah menduga hal ini sejak semula. Tepat dimana orang-orang disekitarnya sangat aneh dan protektif berlebihan terhadap Thea dan bagaimana cara mereka mati-matian melarang Dieter untuk mendekatinya. Dia harusnya tahu bahwa alasan bahwa dibalik semua itu adalah fakta bahwa Thea rupanya sudah menikah dan memiliki seorang anak. Sekarang barulah dia paham arti dari maksud perkataan ayahnya tentang ‘banyak penyesuaian’. Tentu saja Dieter membutuhkan banyak penyesuaian dan pengorbanan jika menyangkut seorang anak. Dieter melirik perempuan yang duduk di sampingnya, sejak mereka bersitegang dan Dieter memutuskan untuk memberi bantuan dengan mengantarnya dia mendadak menjadi pendiam dan tidak mau bicara. Hal yang memaksa Dieter secara tergesa meminjam mobil ayahnya tanpa memberikan alasan jelas. Sekarang barulah dia paham segalanya. Soal dia dan Thea yang tidak cocok. “Kita akan segera sampai,” kata Dieter memecah hening. Untuk sesaat hanya itu saja kalimat yang mampu keluar dari mulutnya setelah keheningan panjang diikuti dengan tepukan pelan di bahu. “Setahun penuh,” bisik Thea nyaris seperti tidak bermaksud mengajak Dieter bicara. “Setahun penuh aku berusaha sebisaku untuk memastikan hal ini tidak terjadi. Bahwa aku tidak akan pernah terlambat menjemputnya, tapi sekarang aku ….” Thea menelan ludahnya sendiri sementara Dieter memutuskan untuk tidak ambil bagian dalam percakapan itu. Dia memilih untuk berkonsentrasi pada jalanan. Dalam hati mengutuk karena sepertinya dia terlalu tergesa-gesa dalam bertindak mendekati Thea. “Tenang saja,” timpal Dieter pada Thea. Nada bicara Dieter terdengar tegas dan mantap. “Kita hampir sampai dan kita cuma terlambat sekitar dua puluh menit.” Thea menoleh cepat pada Dieter, air mukanya terlihat kesal dan berkilat marah. “Mudah bagimu berkata begitu karena kamu tidak mengerti.” Yah, itu memang benar, pikir Dieter. Dia memang tidak memahami apa-apa soal Thea tapi nekat mendekatinya secara ugal-ugalan dan menerabas apa saja yang menghalangi tanpa tahu resiko dan dinding besar yang menanti. Tapi terserahlah, yang pasti jika sudah kepalang basah seperti ini maka Dieter akan menceburkan dirinya sekalian. Dia akan menggali semuanya hingga ke dasar sampai titik dimana dia bisa memahami duduk perkara perempuan yang duduk disebelahnya kini. Tak lama mobil yang dikendarai oleh Dieter melambat, mengantarkan mereka tepat pada sebuah bangunan sekolah yang telah lumayan sepi. Dia menarik rem tangan tapi sebelum dia mematikan mesin mobil, Thea sudah lebih dulu turun dari sana tanpa mengatakan apa-apa dan berlari menuju pintu depan dengan tergesa-gesa. Dieter mengikuti, melangkah dengan tenang sambil mengamati. Ketika mereka masuk ke kelas, Dieter melihat seorang wanita keluar. Raut wajah wanita itu menyiratkan kekhawatiran ketika bertatap muka dengan Thea. “Thea—” “Maafkan saya,” ungkap Thea cepat-cepat memandang pada wanita itu dengan serba salah, dia mendesah lelah. “Dia ada di ruang kelas, tapi dia—” “Saya bisa membayangkan bagaimana keadaannya. Izinkan saya masuk.” Tanpa perlu banyak berbincang lebih lama, Thea bergegas membuka pintu ruang kelas sementara Dieter hanya mengamati segalanya dari jauh. Mengintip dari balik jendela. Disana Dieter bisa melihat ekspresi Thea yang sebenarnya, perempuan itu memandang satu-satunya anak kecil yang tersisa di kelas tersebut dengan mata yang berkaca-kaca. Bocah itu sedang duduk di meringkuk di sudut, wajahnya bersimbah air mata jelas seperti habis menangis, sedangkan bahunya telah melorot karena kelelahan. “Teddy!” Anak yang dipanggil namanya oleh Thea mengangkat kepala dan wajahnya langsung mengerut. Thea sendiri langsung menghambur melintasi ruangan dan jatuh berlutut memeluk tubuh gemetar bocah itu erat-erat dalam dekapan. Dieter menyaksikan segalanya dan merasa tenggorokannya tercekat. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa bocah itu harus sesedih itu? “Teddy pikir Mommy—Mommy ….” Kata-kata itu terlontar di sela-sela isakan si bocah dan Thea langsung bereaksi mengeratkan pelukannya. “Mommy tahu apa yang kamu pikirkan,” bisik Thea sembari membelai lembut rambut sang putra dengan tangannya yang bebas. “Mommy minta maaf karena datang terlambat menjemputmu.” “Mommy kan sudah janji tidak akan pernah terlambat.” Thea memejamkan matanya erat-erat dan Dieter nyaris bisa merasakan rasa bersalah wanita itu dari tempatnya melihat sekarang. “Mommy tahu, tapi—” “Mommy bilang tidak akan ada apa-apa, tidak akan ada alasan bagi Mommy untuk bisa menghalangi Mommy menjemputku. Aku percaya pada Mommy, tapi Mommy berbohong padaku,” ungkap bocah itu meluapkan seluruh kemarahannya kepada Thea. Dari sudut tempat Dieter berada dia bisa melihat sorot mata menuduh dari bocah bernama Teddy tersebut kepada ibunya. “Mommy tahu kamu kecewa, tapi tadi Mommy ketinggalan bus.” Tidak sanggup melihat wajah pilu Thea, Dieter tanpa sadar sekali lagi melewati batas dan melangkah maju mendekati keduanya. Duduk bertumpu dengan satu lutut di sebelah mereka sehingga kini mata Dieter bisa sejajar dengan bocah laki-laki itu. Sebenarnya Dieter tidak tahu apa yang mesti dia katakan, yang dia ketahui hanyalah bahwa jika sudah seperti ini maka setidaknya dia perlu buka mulut dan mengatakan sesuatu. “Hai, Teddy. Aku Dieter,” ujar pria itu sambil berdehem dan tertegun. Sejujurnya dia benar-benar sudah gila dan nekat. Dia tidak tahu apa-apa tentang anak kecil, kecuali jika mereka sakit. Tapi sekarang dia berlagak seperti dia tahu segalanya. Dieter benar-benar sudah kelewat hilang akal sepertinya. “Aku tidak mau bicara dengan orang asing,” sahut anak itu ketus yang membuat semangat membara Dieter langsung padam. “Anu, sebenarnya aku adalah teman ibumu di tempat kerjanya. Keterlambatan ini bukan salah ibumu tapi salahku. Tadi aku terpaksa menahan ibumu saat dia ingin pulang, alhasil dia jadi ketinggalan bus. Aku tidak tahu kalau ibumu harus menjemputmu makanya aku memaksa dia bicara tentang pekerjaan kami. Andai aku tahu lebih awal soal ini, aku tidak akan menahannya. Jadi bisakah kau memaafkan kesalahanku, Teddy?” Teddy mengawasi Dieter dengan sorot mata selidik. Ekspresi yang mirip dengan Thea tiap kali Dieter mencoba mendekatinya. Agak sedikit lucu sebetulnya, mengingat bocah ini adalah copy-an ibunya. Meski masam, wajah anak itu sudah jauh lebih baik dan kini dia melirik kearah Thea. “Benar apa yang dikatakan om om aneh ini Mommy?” “Benar,” jawab Thea cepat sambil menganggukan kepala. Dalam jarak sedekat ini, Dieter takjub bahwa Thea yang selalu waspada disekitarnya bisa jadi begitu lemah lembut di depan anaknya. Bahkan sekarang Dieter bisa melihat langsung wanita itu mati-matian menahan diri agar tidak menangis. “Sekarang kita harus pulang, sayang. Kita akan bicara lagi nanti.” Bocah cilik itu kemudian sekali lagi gemetar. Seolah sikap masam dan kasarnya pada Dieter tadi hanyalah sebuah topeng. “Aku pikir Mommy tidak akan datang. Aku pikir aku nakal dan Mommy jadi tidak suka padaku lagi.” Dieter merasa seolah ada sesuatu yang berat menimpa dadanya. Bagaimana bisa seorang anak kecil yang polos bisa sampai memiliki pemikiran semacam itu? Thea mengambil napas dalam-dalam lagi, mencengkram bahu si bocah laki-laki setengah memaksa bocah itu untuk menatapnya. “Teddy, tolong dengarkan Mommy baik-baik.” Meski bulu matanya agak lembab, suara Thea terdengar tegas dan mantap ketika bicara dengan putranya. “Tidak ada satu pun perbuatanmu yang akan membuat Mommy tidak suka padamu. Mommy tidak akan pernah meninggalkanmu.” “Tapi Papa—” Wajah Thea langsung berubah, sorot matanya memancarkan banyak emosi disana. “Kita tidak sedang membicarakan orang itu,” ujarnya dengan tegas dan lugas. “Kita sedang membicarakan soal Mommy. Teddy, dengar Mommy tahu kalau hari ini Mommy datang terlambat, tapi seharusnya tahu dan percaya kalau apa pun yang terjadi Mommy akan datang padamu. Mommy tidak akan selalu datang untukmu.” Dieter merasakan sesuatu yang menyumbat tenggorokannya, bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi kepadanya. Tanpa dia sadari dia merenung dan dia tidak pernah merasa begitu ingin menangis. Tapi cara Thea bicara pada putranya dan bagaimana reaksi Teddy kepada ibunya membuat Dieter teringat kembali pada mendiang sang ibu yang telah berpulang lebih dulu sejak dia kecil. Kesengsaraan itu menguliti bagian dari dirinya. Memaksa dia memutar kilas balik dikepala soal hal pedih yang telah dia lupakan sedemikian rupa. Sial, apa yang sudah dilakukan pria b******k itu kepada Thea dan bocah laki-laki yang tidak berdosa ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD