Delapan

1165 Words
Happy reading and hope you like it.  Jangan lupa follow i********: aku.  Ay.tarigan ***** Tepukan lembut di pipi Zuhra mengusik tidur nyenyaknya, matanya bahkan masih terasa amat lengket untuk sekedar terbuka. Karena itu bibirnya hanya bergumam sambil berbalik dan tidur lagi. Namun, hal itu tidak bertahan lama saat indera pendengarannya menangkap suara khas seseorang. "Kamu mau sholat shubuh bareng atau saya tinggal?" Zuhra bahkan langsung terduduk setelah mendengar suara Dirgam. Ia meringis menahan malu karena sebagai istri harusnya dia yang membangunkan Dirgam, bukan malah sebaliknya. Memang, hal terberat bagi Zuhra selama ini adalah bangun subuh, bahkan bundanya harus rajin-rajin menggedor pintu agar dirinya tidak tidur lagi. "Mas duluan aja, Zuhra belum mandi," ucapnya seraya mengamati Dirgam yang sudah tidak mengenakan piyama tidur, itu artinya pria itu sudah mandi. "Sepuluh menit, saya tunggu." Setelah mengatakan hal itu, Dirgam berjalan keluar kamar meninggalkan Zuhra yang hanya mampu mengedipkan mata, ada getaran aneh yang berdesir lirih di dalam dirinya. Namun entah apa. ✏✏✏ Zuhra duduk termangu di atas ranjang, mengingat-ingat kembali saat tadi pagi Dirgam menjadi imam sholatnya. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Zuhra bahwa seseorang seperti Dirgam akan menjadi suaminya. Tipe pria idaman Zuhra adalah seseorang seperti Reno, meskipun sedikit nakal tapi Reno itu humoris, selalu bisa membuat Zuhra tertawa bahkan dalam keadaan sedih sekali pun. Itulah sebabnya saat Reno memintanya untuk jadi kekasih pria itu, Zuhra tidak menolak, karena menurutnya Reno itu memang keren, dan pintar. Tapi ternyata keren saja tidak cukup, terbukti ketika dengan kekerenannya itu dia meninggalkan Zuhra tanpa memikirkan nasib wanita itu dan anaknya. Keren tanpa tanggungjawab sama dengan nol. Dirgam Arhab, beberapa hari tinggal bersama pria itu membuat Zuhra memahami sedikit demi sedikit tentang Dirgam. Pria kaku, yang sulit mengekspresikan diri. Hal itu bukan sesuatu yang Dirgam buat-buat, laki-laki itu memang sedikit pendiam dan tertutup. Tok ... tok ... tok …. Zuhra membuka pintu kamar dan mendapati seorang wanita paruh baya berdiri di sana. "Kenapa, Mbok?" tanya Zuhra sambil mempersilahkan masuk. "Makan siangnya, Nyonya." Zuhra menautkan alis tidak suka. "Panggil Zuhra aja, Mbok." Sebelum berangkat ke kantor pagi tadi, Dirgam mendatangkan seorang pelayan yang ditugaskannya untuk menjaga wanita itu selama ia tak di rumah. Hal itu tentu saja membuat Zuhra cemberut tak suka, dia bukan anak kecil yang harus di asuh, tapi Dirgam tidak bisa dibantah, dan Zuhra bersungut-sungut karenanya. "Maaf, Nyonya … tapi--" "Zuhra ngerasa nggak sopan kalau Mbok panggil begitu gitu," keluh wanita itu. "Ehm … Mbok juga nggak sopan kalau manggil nama begitu," ucap Mbok Darmi, Wanita itu akan datang pagi-pagi sekali untuk memasak dan membereskan apartemen, lalu sore hari akan kembali ke rumah besar orang tua Dirgam yang jaraknya dekat dari apartemen ini. Pria itu sengaja agar Zuhra tidak kelelahan membereskan apartemen, Zuhra cukup mengurus keperluan dirinya saja. "Yasudah, Mbok panggil neng saja, ya?" tawar Mbok Darmi. Zuhra mengangguk setuju, tidak terlalu buruk dibanding panggilan nyonya. "Zuhra belum lapar, Mbok," ucap wanita itu seraya melirik nampan di atas nakas. "Tuan yang perintahkan, katanya Neng harus makan dan minum vitamin." Zuhra mengangguk. "Yasudah, tinggal aja, Mbok, nanti Zuhra makan." Mbok Darmi menuruti perintah nyonya-nya dan beranjak keluar. Zuhra melirik botol kecil yang terletak di nampan yang dibawa oleh Mbok tadi, Zuhra tidak merasa pernah membeli vitamin karena dia memang jarang mual. Tapi memang dua hari ini badannya terasa sedikit lemas. Mungkinkah pria itu yang membelinya untuk Zuhra? Zuhra mendengar suara pintu kamarnya kembali di buka, kali ini tanpa ketukan. "Loh, kok?" Zuhra bingung mendapati Dirgam berdiri di sana. "Kenapa belum dimakan?" "Ehm … ini Zuhra mau makan, Mas." Zuhra mengambil nampan dan memindahkan ke pangkuannya. Dirgam mengangguk seraya berlalu menuju lemari, menarik kaos dan celana pendeknya. "Mas … kenapa pulang?" tanya Zuhra saat Dirgam sudah mengganti pakaian di kamar mandi. “Kenapa? Nggak mau lihat saya di sini?” tanyanya balik. “Bukan gitu,” sangkal Zuhra. “Mas nggak balik ke kantor lagi? Memangnya nggak sibuk?” Dirgam menggeleng. "Kenapa?" tanya Zuhra lagi sembari menyuapkan makanannya. Bukannya menjawab, Dirgam malah duduk di hadapan Zuhra sambil menatap lekat istrinya itu membuat Zuhra gugup setengah mati. "Ke-kenapa? Mas juga mau?" tanya Zuhra seraya menyodorkan sesendok nasi beserta lauknya. Dirgam lagi-lagi menggeleng, tapi tatapannya masih sama saja. "Kamu menyesal menikah dengan saya?" Zuhra menghentikan gerakan sendok di tangannya, menyesal? Dirgam memang bukan seseorang yang dicintainya, bukan seseorang yang masuk ke dalam kriteria calon suami Zuhra. Namun, sejauh ini Zuhra tidak pernah merasa menyesal, atau memang dia tidak memikirkannya. Entahlah Zuhra juga bingung, dan lebih bingung lagi ketika melihat ekspresi menuntut jawaban di wajah suaminya itu. "Zuhra nggak tahu, Mas, yang jelas Zuhra nggak pernah sampai kepikiran soal itu." Lama Dirgam terdiam mendengar jawaban Zuhra, sampai akhirnya pria itu menghembuskan napas panjang, entah karena lega atau lelah. "Saya tau kamu masih bertanya-tanya alasan saya menikahi kamu, tapi satu yang pasti, saya benar-benar serius," ucapnya tegas. “Saya tidak janjikan selalu ada kebahagian, Ra, tapi saya bisa janji akan menjadi tempat kamu menyandarkan segala keluh kesah serta rasa sakit yang kamu alami." Zuhra menatap mata kelam itu yang menyorotkan kesungguhan. Perlahan kepalanya mengangguk, hatinya tersentuh dengan ungkapan Dirgam, ini lebih manis dari sekedar janji-janji kosong yang sering Reno ucapkan. "Mas juga harus mulai terbiasa dengan kehadiran Zuhra," pinta wanita itu. Dirgam mengangguk. "Saya selalu berusaha untuk itu." Zuhra meletakkan nampan di atas nakas, entah keberanian darimana yang didapatnya sehingga dengan lancang kedua tangannya menggenggam tangan Dirgam. "Mas juga bisa cerita apapun ke Zuhra, bahagia, sedih, sakit, muak, bosan, dan apa pun yang mau Mas bagi, Zuhra siap, karena sekarang Zuhra istri Mas," ucap Zuhra lugas, "ajari Zuhra, Mas, ajari Zuhra jadi istri yang baik untuk Mas, jadi istri yang selama ini Mas impikan." Tanpa aba-aba tubuh Zuhra tertarik ke depan, merasakan hangatnya pelukan Dirgam yang menyebabkan perasaan membuncah di hati. "Saya akan berusaha sekuatnya," janji pria itu. Hembusan napas Dirgam menyadarkan keterpakuan Zuhra beberapa detik lalu. Keningnya berkerut karena baru menyadari panas yang tidak biasa di badan Dirgam. "Mas sakit?" paniknya seraya melepaskan pelukan Dirgam. Tangannya menempel di dahi Dirgam dan semakin terpekik lah dirinya menyadari bahwa Dirgam demam. Pantas saja pria itu pulang cepat dari kantor. "Kenapa nggak bilang dari tadi, sih?" omel Zuhra seraya bangkit dari duduknya. "Mau kemana?" tanya Dirgam saat melihat pergerakan Zuhra. "Mau ambil kompres sama ...." Zuhra berfikir sejenak, “air panas atau air dingin, ya?" gumamnya. Dirgam menggeleng sambil tersenyum tipis. "Minta Mbok Darmi yang siapin, kamu disini aja," pintanya. Zuhra yang tadi sempat menangkap sudut bibir Dirgam tertarik ke atas menjadi tercenung sejenak. "Mas ganteng kalau senyum kaya tadi," celetuknya. "Kapan saya senyum?" tanya Dirgam datar. Zuhra berani taruhan kalau dia tadi tidak salah lihat, Dirgam benar-benar tersenyum. "Kenapa senyum aja gengsi, sih?" gerutu Zuhra. "Kenyataannya memang saya tidak senyum, tapi kalau kamu pingin lihat bisa saya lakuin kok." "Huh, Edan," geram Zuhra seraya berlalu meninggalkan Dirgam, berjalan ke dapur mencari Mbok Darmi. Hari ini Zuhra tahu, bahwa Dirgam adalah manusia biasa yang bisa sakit dan tersenyum juga. Zuhra menarik sudut bibir tipis ketika mengingat hal itu. Oh, suaminya yang super gengsi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD